Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2025

Perbedaan Masjid dan Mushalla: Telaah Fikih Berdasarkan Dalil dan Pendapat Ulama

Oleh: Lukmanul Hakim Dalam kehidupan umat Islam, tempat ibadah memiliki kedudukan yang penting, baik secara spiritual maupun sosial. Dua istilah yang sering digunakan adalah masjid dan mushalla . Meski keduanya berfungsi sebagai tempat shalat, keduanya tidak bisa disamakan begitu saja dalam syariat Islam. Perbedaan antara masjid dan mushalla bukan hanya bersifat struktural, tetapi juga memiliki implikasi hukum fikih yang cukup signifikan. 1. Definisi Masjid dan Mushalla Secara bahasa, masjid (مَسْجِد) berasal dari kata sajada yang berarti sujud. Secara istilah syar’i, masjid adalah tempat yang dibangun dan diniatkan serta diwakafkan secara permanen untuk pelaksanaan ibadah, terutama shalat lima waktu, dan memiliki status hukum tersendiri dalam Islam. Imam Nawawi menjelaskan bahwa masjid adalah "segala tempat yang diwakafkan secara sah untuk ibadah, dan berlaku padanya hukum-hukum khusus masjid." Adapun mushalla (مُصَلّى), secara bahasa berarti "tempat shalat....

Moderasi Beragama dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer

Oleh: Lukmanul Hakim Di tengah arus radikalisasi dan intoleransi yang menguat di berbagai belahan dunia, wacana tentang moderasi beragama ( wasathiyyah ) kembali mengemuka. Namun, tak sedikit yang menganggap konsep ini sebagai wacana baru yang diproduksi oleh negara atau lembaga internasional semata. Padahal, bila menengok khazanah pemikiran Islam, jejak moderasi justru telah menjadi fondasi penting sejak masa klasik. Artikel ini mencoba menelusuri bagaimana wasathiyyah dipahami dan dipraktikkan oleh para ulama klasik, serta bagaimana para ulama kontemporer merevitalisasinya dalam konteks zaman modern. Wasathiyyah dalam Al-Qur'an dan Hadis Istilah wasathiyyah berasal dari kata wasath yang berarti tengah, adil, atau seimbang. Al-Qur'an menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (QS. Al-Baqarah [2]: 143), yang oleh para mufasir diartikan sebagai umat yang berada di tengah—tidak ekstrem kanan maupun kiri. Nabi Muhammad SAW pun memperingatkan tentang bahaya ghuluw (berl...

Paulus, Yesus, dan Otoritas Injil: Menjawab Apologetisme secara Kritis dan Seimbang

Oleh: Lukmanul Hakim Pendahuluan Postingan yang dibagikan oleh Kornelius Ginting berjudul “Jika Paulus dianggap Tuhan Kristen, maka logika dan iman Anda sedang kritis—karena Anda sedang menyembah tafsiran, bukan kebenaran” mencoba menanggapi kritik terhadap dominasi ajaran Paulus dalam doktrin Kristen. Ia menegaskan bahwa Paulus hanyalah “juru bicara” yang membela Injil Kristus, bukan pusat iman itu sendiri. Secara umum, argumentasi tersebut valid dalam kerangka iman Kristen arus utama. Namun, untuk menjawabnya secara adil dan tidak bias, perlu ditelaah dari tiga sudut pandang: (1) sejarah perkembangan kekristenan , (2) posisi Paulus dalam penyusunan teologi Perjanjian Baru , dan (3) tanggapan terhadap tuduhan 'menuhankan Paulus'. 1. Paulus dan Yesus dalam Sejarah Kekristenan Awal Paulus memang bukan pendiri agama Kristen, tetapi ia memainkan peran paling dominan dalam pembentukan teologi Kristen pasca-Yahudi. Sementara Yesus tidak menulis apa-apa, Paulus menulis 13 dari ...

Bencana Adalah Ujian, Tapi Ketimpangan Adalah Pilihan: Krisis Sosial di Tengah Bencana Alam

Oleh: Lukmanul Hakim Bencana alam memang tak bisa kita tolak, tetapi dampak yang ditimbulkannya sering kali memperlihatkan satu kenyataan pahit: yang paling menderita adalah mereka yang paling miskin, paling lemah, dan paling terpinggirkan. Maka dari itu, ketika alam mengamuk, pertanyaannya bukan hanya “seberapa besar kerusakan yang terjadi?” melainkan “siapa yang paling kehilangan?” Bencana adalah ujian dari Tuhan. Namun, ketimpangan yang membuat sebagian orang jauh lebih rentan dari yang lain adalah hasil dari keputusan kolektif: pilihan kebijakan, pilihan pembangunan, dan pilihan untuk abai terhadap keadilan sosial. Ketika Alam Menggugat: Siapa yang Paling Terluka? Setiap bencana, dari gempa bumi hingga banjir dan longsor, memiliki kecenderungan memperparah struktur ketimpangan sosial yang sudah ada. Mereka yang tinggal di lereng gunung, bantaran sungai, atau rumah tidak layak huni adalah pihak pertama yang terkena dampaknya. Dalam laporan UNDP Indonesia (2023) , disebutkan ba...

Rukyat, Hisab, dan KHGT: Menyatukan Dua Kutub yang Lama Berseberangan

Oleh: Lukmanul Hakim Setiap kali Ramadhan dan dua hari raya Islam tiba, umat Muslim di seluruh dunia kembali menghadapi fenomena yang tak asing: berbedanya penetapan awal bulan hijriah . Ada yang telah berpuasa, sementara lainnya masih menikmati santapan sahur terakhir. Perbedaan ini seringkali bukan hanya bersifat geografis, tetapi mencerminkan perbedaan metodologi penanggalan : antara rukyat (pengamatan hilal secara langsung) dan hisab (perhitungan astronomis). Di tengah polemik tersebut, gagasan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) hadir untuk menjembatani dua kutub yang selama ini dipertentangkan. Rukyat vs. Hisab: Sejarah Perbedaan Pendekatan Perdebatan antara rukyat dan hisab sudah berlangsung sejak era klasik. Dalam hadis Nabi SAW disebutkan: "Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya..." (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sinilah muncul praktik rukyat: mencari hilal secara langsung di ufuk barat setelah matahari terbenam pada akhir...

KHGT dan Hisab Global: Saat Ilmu Langit Menyatukan Bumi

Oleh: Lukmanul Hakim Setiap tahun, umat Islam di berbagai penjuru dunia menghadapi kenyataan yang berulang: perbedaan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Fenomena ini bukan sekadar persoalan teknis keagamaan, tetapi telah menjadi simbol betapa dunia Islam masih kesulitan menyatukan kalender keagamaannya. Di tengah kerinduan akan persatuan umat, muncul inisiatif bernama Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang menawarkan jalan keluar melalui pendekatan ilmiah dan global: Hisab Global . KHGT: Gagasan Lama yang Menemukan Relevansi Baru Ide KHGT bukanlah barang baru. Sejak lama para ilmuwan falak dan ulama kontemporer telah menyuarakan pentingnya kalender hijriah yang bersifat global, bukan regional. KHGT bertujuan menyatukan penanggalan hijriah di seluruh dunia Islam, sehingga umat Islam bisa memulai dan mengakhiri bulan-bulan ibadah secara serentak, tanpa perbedaan yang mencolok antarnegara. Gagasan ini mendapatkan dorongan kuat dari resolusi Majma’ al-Fiqh al-Isl...

Anak Allah atau Hamba Allah? Membongkar Makna Teologis dalam Injil dan Al-Qur’an

Oleh: Lukmanul Hakim Istilah “Anak Allah” yang disandangkan kepada Yesus (Isa Al-Masih) telah menjadi pusat perdebatan teologis yang paling krusial antara umat Kristen dan umat Islam. Bagi mayoritas Kristen, sebutan ini mengandung makna ilahi: bahwa Yesus adalah pribadi kedua dari Tritunggal, Tuhan yang menjelma dalam rupa manusia. Sebaliknya, dalam Islam, Isa adalah hamba Allah (‘abdullah) dan utusan-Nya (rasul) , bukan Tuhan dan bukan pula anak biologis Tuhan. Namun, apakah istilah "Anak Allah" dalam Injil benar-benar bermakna literal dan ilahi? Atau justru simbolik, metaforis, dan konteksual sesuai budaya Semitik kala itu? Artikel ini akan menelusuri makna teologisnya dalam terang kitab suci dan sejarah. Makna "Anak Allah" dalam Konteks Yahudi Dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama), istilah “anak Allah” tidak eksklusif ditujukan kepada Yesus . Frasa ini kerap digunakan untuk menyebut: Bangsa Israel: “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesi...

Yesus dan “Allahu Akbar”: Menemukan Titik Temu dalam Kebesaran Tuhan

Oleh: Lukmanul Hakim Dalam dinamika dialog antaragama, muncul pernyataan menarik bahwa Yesus (Isa Al-Masih) pernah mengucapkan kalimat yang semakna dengan "Allahu Akbar". Kalimat ini, yang secara harfiah berarti “Allah Maha Besar”, adalah bagian tak terpisahkan dari ritus keislaman: dikumandangkan dalam azan, diulang dalam shalat, dan dilafalkan dalam berbagai momen spiritual. Namun benarkah Yesus, yang hidup lebih dari enam abad sebelum Nabi Muhammad SAW, pernah mengungkapkan hal serupa? Bahasa Boleh Berbeda, Makna Bisa Sama Yesus, sebagai figur sejarah dan nabi dalam Islam, diyakini hidup di wilayah Palestina dan berbicara dalam bahasa Aram, bahasa semitik yang memiliki akar yang sama dengan Arab dan Ibrani. Dalam bahasa Aram, frasa yang semakna dengan “Allahu Akbar” bisa diungkapkan sebagai “Elaha Rabba” atau “Elaha Gadol” —artinya “Allah Maha Agung” atau “Tuhan yang Besar”. Meskipun tidak ada bukti bahwa Yesus mengucapkan “Allahu Akbar” dalam redaksi Arab, namun sec...

Memulihkan Bumi, Merawat Nurani: Bencana Alam dan Kesalehan Sosial Kita

Oleh: Lukmanul Hakim Setiap kali bumi berguncang atau banjir melanda, kita sontak bersimpati. Namun di balik itu, tersimpan pertanyaan lebih dalam: apakah kita benar-benar sedang menolong bumi, atau sekadar menenangkan hati? Bencana alam bukan hanya soal gejala geologis atau klimatologis, melainkan juga refleksi tentang sejauh mana kita telah berlaku adil terhadap bumi dan sesama . Artikel ini mengajak kita melihat bencana bukan hanya sebagai peristiwa alam, tetapi sebagai panggilan moral untuk menumbuhkan kesalehan sosial dan spiritual yang berdampak nyata bagi lingkungan. Bumi yang Luka, Nurani yang Kian Tumpul Kita hidup dalam dunia yang makin kompleks: laju deforestasi terus meningkat, kawasan resapan air beralih fungsi, emisi karbon terus membumbung, dan produksi sampah menggunung. Dalam laporan UNEP (United Nations Environment Programme, 2023) , disebutkan bahwa sekitar 75% lahan dunia telah mengalami degradasi sedang hingga berat . Di Indonesia, laporan KLHK (Kementerian L...

Menguak Fenomena: Alasan Kristen Ortodoks di Indonesia Mendukung Israel

Oleh: Lukmanul Hakim Dukungan terhadap Israel di kalangan komunitas Kristen Ortodoks di Indonesia mungkin terasa sebagai sebuah anomali bagi banyak orang, mengingat sentimen pro-Palestina yang umumnya kuat di masyarakat Indonesia. Namun, fenomena ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ada serangkaian faktor historis, teologis, dan sosiologis yang mendasari pandangan ini, yang berbeda dari perspektif mayoritas Muslim di Indonesia dan bahkan sebagian besar kelompok Kristen Protestan atau Katolik. Memahami alasan-alasan ini memerlukan tinjauan komprehensif terhadap identitas dan pandangan dunia Kristen Ortodoks di Indonesia. Latar Belakang Komunitas Kristen Ortodoks di Indonesia Keberadaan Gereja Ortodoks di Indonesia relatif kecil jika dibandingkan dengan denominasi Kristen lainnya. Mereka umumnya terbagi dalam beberapa yurisdiksi, seperti Gereja Ortodoks Rusia di Luar Rusia (ROCOR), Patriarkat Ekumenis Konstantinopel (melalui Metropolis Singapura dan Asia Tenggara), dan beberapa komunitas ...

Bukan Sekadar Donasi: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Korban Bencana?

Oleh: Lukmanul Hakim Setiap kali bencana melanda—entah banjir, gempa bumi, atau kebakaran hutan—respon masyarakat Indonesia selalu cepat. Donasi dikumpulkan, bantuan dikirim, dan simpati dituangkan dalam berbagai bentuk. Ini adalah cerminan mulia dari solidaritas sosial yang masih hidup. Namun setelah euforia kepedulian mereda, muncul pertanyaan penting: apa sebenarnya yang paling dibutuhkan oleh para korban bencana? Apakah cukup dengan donasi uang dan sembako? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa bantuan instan seringkali tidak menjawab kebutuhan riil , bahkan dalam beberapa kasus justru menimbulkan tumpang tindih dan ketidakefisienan. Maka, sudah saatnya kita bergerak dari simpati sesaat ke empati berkelanjutan, dari aksi insidental ke strategi sistemik. Donasi: Penting Tapi Tak Cukup Dalam Islam, memberi bantuan kepada yang membutuhkan adalah bagian dari ajaran iman. Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, Allah akan membantu kebutuhannya...

Bersinar Bersama Darul Ulum

[Verse 1] Di kaki langit desa yang indah Berdiri pesantren penuh berkah Ponpes Darul Ulum tercinta Tempat tumbuh iman dan takwa Dari er.a sampai em.a Ilmu formal nan bermakna Asrama pondok mendidik jiwa Majlis taklim dakwah bersatu rasa [Reff] 🌟 Mari bersama menuntut ilmu Dengan adab dan hati yang syahdu Solat, tahfiz, kitab kuning Silat dan khitobah pun jadi pembimbing Bersinar bersama Darul Ulum Tempat iman dan ilmu menyatu Guru berintegritas, sarana memadai Lulusannya sukses, penuh prestasi 🌟 [Verse 2] Hari dimulai subuh berjamaah Bangun tahajjud, mendekat Alloh Belajar formal dan diniyah Menata masa depan cerah Hadroh, pramuka, tilawah suci Menjadi insan sejati Maju bersama tak henti Darul Ulum menuntun hati [Reff – ulang] 🌟 Mari bersama menuntut ilmu Dengan adab dan hati yang syahdu Solat, tahfiz, kitab kuning Silat dan khitobah pun jadi pembimbing Bersinar bersama Darul Ulum Tempat iman dan ilmu menyatu Guru berintegritas, sarana memadai Lulusannya sukses, penuh prestasi 🌟 [B...

Bencana Alam dan Kehendak Ilahi: Perspektif Teologis dan Kemanusiaan

Oleh: Lukmanul Hakim Setiap kali bencana alam datang—banjir bandang, gempa bumi, tanah longsor, atau kekeringan berkepanjangan—pertanyaan yang kerap muncul adalah: apakah ini murni kehendak Tuhan? Banyak yang pasrah menyebutnya sebagai musibah dari langit. Namun, dalam perspektif teologis yang lebih utuh, bencana bukan sekadar "azab", melainkan juga "peringatan", "ujian", bahkan konsekuensi dari ulah manusia . Dalam konteks inilah penting kiranya kita menempatkan bencana alam dalam kerangka keimanan, etika sosial, dan tanggung jawab ekologis , bukan semata sebagai peristiwa yang bersifat fatalistik. 1. Antara Takdir dan Tanggung Jawab Dalam akidah Islam, keyakinan terhadap takdir adalah rukun iman yang kelima. Namun, takdir bukanlah alasan untuk mengabaikan sebab-akibat duniawi. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia juga menjadi pelaku sejarah dan pembentuk realitas sosial: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengu...

Kala Alam Menggugat: Siapa yang Sebenarnya Bertanggung Jawab?

Oleh: Lukmanul Hakim Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan berbagai belahan dunia mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam: banjir, longsor, kekeringan, gempa bumi, hingga kebakaran hutan. Setiap kali bencana datang, kita seolah terperangah, terkejut, bahkan pasrah—seakan-akan semuanya adalah takdir yang tak bisa dihindari. Namun benarkah semuanya murni musibah dari langit, ataukah kita perlu jujur menatap cermin dan bertanya: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab? Antara Musibah dan Akibat Perbuatan Dalam perspektif teologis Islam, bencana bisa menjadi ujian , peringatan , atau akibat dari ulah manusia . Al-Qur’an menegaskan: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41) Ayat ini memberikan pesan kuat bahwa kerusakan ekologi bukan semata kehendak Tuhan, tapi bu...

Air Kencing Unta dalam Hadis Nabi: Antara Konteks Medis dan Kesalahpahaman Publik

Oleh: Lukmanul Hakim (Pemerhati Studi Islam dan Budaya Arab) Belakangan ini, perdebatan di ruang publik kembali mencuat terkait hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menganjurkan sekelompok orang untuk meminum air susu dan air kencing unta sebagai pengobatan. Sebagian kalangan menanggapinya dengan ejekan dan skeptisisme, bahkan menjadikannya sebagai bahan olok-olok terhadap ajaran Islam. Namun, apakah hadis ini memang harus dipahami secara literal dan ditelan mentah-mentah di luar konteks zaman dan ilmu? Hadis tersebut tercatat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim , yang secara sanad tergolong otentik. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, sekelompok orang dari kabilah ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah dan jatuh sakit akibat tidak cocok dengan iklimnya. Nabi ﷺ lalu menyuruh mereka untuk keluar ke kandang unta milik baitul mal dan meminum susu dan air kencing unta . Mereka pun sembuh. Bagi masyarakat modern yang hidup dalam lingkungan medis yang klinis dan saintifik, anjuran ini tentu ter...

Membangun Ekosistem Belajar Sepanjang Hayat di Era 5.0

Oleh: Lukmanil Hakim Era Revolusi Industri 5.0 bukan lagi konsep masa depan. Kita sedang mengalaminya sekarang, ditandai dengan integrasi antara teknologi cerdas dan humanisme. Dalam lanskap ini, pendidikan tidak cukup berhenti di bangku sekolah. Yang dibutuhkan adalah ekosistem belajar sepanjang hayat (lifelong learning ecosystem) —sebuah sistem sosial dan budaya yang memungkinkan setiap orang untuk terus belajar, berkembang, dan beradaptasi di segala usia dan situasi. Namun, bagaimana kondisi ekosistem belajar kita hari ini? Apakah Indonesia sudah siap beralih dari sistem belajar berbasis ijazah ke pembelajaran berbasis kebutuhan hidup dan perkembangan zaman? 📘 Belajar Sepanjang Hayat: Dari Konsep ke Keharusan Konsep lifelong learning pertama kali diperkenalkan secara formal oleh UNESCO pada tahun 1972 melalui laporan Faure Report yang menekankan bahwa pendidikan harus dilihat sebagai proses berkelanjutan sepanjang hidup seseorang. Pendidikan tidak boleh terbatas pada lembaga ...

Sekolah Negeri atau Swasta? Pertarungan Gengsi di Atas Mutu

Oleh: Lukmanul Hakim Setiap tahun ajaran baru, masyarakat Indonesia disuguhi drama tahunan: antrean panjang di sekolah negeri, panic buying formulir di sekolah swasta favorit, hingga praktik titip nama yang menyelusup di balik sistem zonasi. Di tengah semua itu, satu pertanyaan klasik terus bergema: mana yang lebih baik, sekolah negeri atau sekolah swasta? Pertanyaan ini, sayangnya, sering kali tidak dijawab dengan analisis mutu pendidikan secara objektif, tetapi lebih didorong oleh gengsi, persepsi sosial, atau simbol status ekonomi. Gengsi yang dilekatkan pada label “favorit” atau “unggulan” seringkali menutupi diskusi mendalam tentang kualitas pembelajaran yang sesungguhnya. 🏫 Sekolah Negeri: Antara Akses dan Ketimpangan Sekolah negeri masih menjadi pilihan utama banyak keluarga karena alasan biaya yang relatif lebih rendah dan status legal yang kuat. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, lebih dari 65% siswa ...