Kala Alam Menggugat: Siapa yang Sebenarnya Bertanggung Jawab?
Oleh: Lukmanul Hakim
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dan berbagai belahan dunia mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam: banjir, longsor, kekeringan, gempa bumi, hingga kebakaran hutan. Setiap kali bencana datang, kita seolah terperangah, terkejut, bahkan pasrah—seakan-akan semuanya adalah takdir yang tak bisa dihindari. Namun benarkah semuanya murni musibah dari langit, ataukah kita perlu jujur menatap cermin dan bertanya: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab?
Antara Musibah dan Akibat Perbuatan
Dalam perspektif teologis Islam, bencana bisa menjadi ujian, peringatan, atau akibat dari ulah manusia. Al-Qur’an menegaskan:
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini memberikan pesan kuat bahwa kerusakan ekologi bukan semata kehendak Tuhan, tapi buah dari tangan-tangan manusia sendiri: pembalakan liar, pembetonan masif, eksploitasi tambang, dan buang limbah sembarangan.
Bencana Ekologis yang Dimanusiakan
Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa sekitar 90% bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan kekeringan—bencana yang sangat berkaitan dengan perubahan iklim dan kerusakan lingkungan (BNPB, 2024).
Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2023 menyatakan bahwa krisis iklim sudah berada pada tahap darurat. Pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan pola konsumsi yang tidak berkelanjutan membuat bencana ekologis menjadi kian sering dan mematikan (IPCC Sixth Assessment Report, 2023).
Kita Semua Bersalah, Tapi Tidak Sama
Meski seluruh umat manusia terdampak, tidak semua memiliki andil yang setara. Konsumsi dan produksi besar-besaran oleh industri, tata kelola kebijakan yang lemah, dan kapitalisme ekologi yang rakus mempercepat kerusakan bumi. Menurut laporan Oxfam (2020), 10% populasi terkaya dunia bertanggung jawab atas hampir 50% emisi karbon global. Di saat yang sama, masyarakat miskin di pesisir dan pegunungan menjadi korban pertama bencana iklim.
Di tingkat lokal, misalnya, banjir berulang di Jakarta dan kota-kota besar bukan hanya karena intensitas hujan tinggi, tetapi juga karena buruknya sistem drainase, penggundulan hutan di daerah hulu, dan pembangunan yang menutup daerah resapan air.
Saatnya Berubah: Dari Responsif ke Preventif
Selama ini, pendekatan kita terhadap bencana alam cenderung bersifat responsif, yaitu bergerak cepat hanya setelah bencana terjadi: membagikan bantuan, mendirikan tenda darurat, menggalang donasi, dan membentuk posko kemanusiaan. Tentu semua itu penting dan mulia. Namun jika kita berhenti di titik itu, kita hanya akan terus menjadi pemadam kebakaran tanpa pernah mencegah api muncul. Padahal, akar dari banyak bencana dapat dicegah sejak jauh hari jika kita mengubah pendekatan menjadi preventif dan antisipatif.
Pendekatan preventif menuntut kita berpikir jangka panjang, membangun kesadaran ekologis sejak dini, memperkuat literasi kebencanaan, dan—yang tak kalah penting—mereformasi tata kelola lingkungan dan pembangunan. Misalnya, daerah-daerah rawan longsor harus dihijaukan kembali, bukan justru dibuka untuk proyek perumahan atau perkebunan monokultur. Kota-kota besar harus memperluas ruang terbuka hijau dan sistem resapan air, bukan memperluas betonisasi tanpa batas. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga melibatkan peran aktif masyarakat sipil, dunia pendidikan, komunitas keagamaan, dan sektor swasta.
Dalam konteks kebijakan, pergeseran ini menuntut konsistensi dalam penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, serta integrasi mitigasi bencana ke dalam setiap rencana pembangunan. Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya membuat peta rawan bencana sebagai formalitas administratif, tetapi menggunakannya sebagai panduan nyata untuk menyusun kebijakan tata ruang yang berkelanjutan.
Lebih dari itu, pendekatan transformatif juga harus dikembangkan: bukan hanya mencegah kerusakan, tapi memulihkan ekosistem yang sudah rusak. Konsep seperti restorative ecology dan eco-village perlu mulai diperkenalkan dan dikembangkan sebagai model kehidupan alternatif yang lebih ramah bumi.
Seperti yang dikatakan oleh tokoh lingkungan Gus Mus dalam sebuah pengajian, “Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, tapi meminjamnya dari anak cucu.” Maka sudah semestinya kita berpindah dari kepanikan reaktif ke ketangguhan proaktif. Karena menyelamatkan bumi bukan hanya urusan sains dan teknologi, tapi juga soal iman, akhlak, dan tanggung jawab generasi.
Penutup: Jangan Salahkan Langit
Terlalu mudah menyalahkan langit ketika bumi murka. Padahal yang merusak bukan langit, tapi manusia. Jika kita tidak segera memperbaiki hubungan dengan alam—dengan sikap bijak dan bertanggung jawab—maka “amarah” alam hanyalah permulaan. Maka pertanyaan ini tetap menggema: “Siapa yang sebenarnya bertanggung jawab?” Mungkin jawabannya: kita semua.
Daftar Pustaka
- BNPB. (2024). Laporan Tahunan Kebencanaan Nasional. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
- IPCC. (2023). Sixth Assessment Report (AR6): Climate Change 2023. Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change.
- Oxfam. (2020). Confronting Carbon Inequality: Putting Climate Justice at the Heart of the COVID-19 Recovery. Oxford: Oxfam International.
- Al-Qur’anul Karim. Surah Ar-Rum: 41.
- Ali Yafie. (1994). Merintis Fiqih Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Idayu.
- Sahal Mahfudh. (2004). Fiqh Sosial: Percikan Pemikiran Islam. Yogyakarta: LKiS.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. (2023). Status Lingkungan Hidup Indonesia.
- Kompas.com. (2023). "Banjir Berulang di Jakarta: Bencana atau Kesalahan Tata Ruang?"
- Republika.co.id. (2024). "Ulama dan Lingkungan: Saatnya Khotbah Berbasis Ekologis".
Komentar
Posting Komentar