Sekolah Negeri atau Swasta? Pertarungan Gengsi di Atas Mutu

Oleh: Lukmanul Hakim

Setiap tahun ajaran baru, masyarakat Indonesia disuguhi drama tahunan: antrean panjang di sekolah negeri, panic buying formulir di sekolah swasta favorit, hingga praktik titip nama yang menyelusup di balik sistem zonasi. Di tengah semua itu, satu pertanyaan klasik terus bergema: mana yang lebih baik, sekolah negeri atau sekolah swasta?

Pertanyaan ini, sayangnya, sering kali tidak dijawab dengan analisis mutu pendidikan secara objektif, tetapi lebih didorong oleh gengsi, persepsi sosial, atau simbol status ekonomi. Gengsi yang dilekatkan pada label “favorit” atau “unggulan” seringkali menutupi diskusi mendalam tentang kualitas pembelajaran yang sesungguhnya.

🏫 Sekolah Negeri: Antara Akses dan Ketimpangan

Sekolah negeri masih menjadi pilihan utama banyak keluarga karena alasan biaya yang relatif lebih rendah dan status legal yang kuat. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023, lebih dari 65% siswa di Indonesia mengenyam pendidikan di sekolah negeri. Namun, kualitas sekolah negeri tidak seragam. Di kota besar, beberapa SMP dan SMA negeri unggulan memiliki input siswa dengan nilai tinggi, fasilitas lengkap, dan guru tersertifikasi. Tapi di daerah-daerah pinggiran, banyak sekolah negeri mengalami kekurangan guru, minim sarana prasarana, bahkan akses digital yang sangat terbatas.

Laporan World Bank (2020) menyebutkan bahwa kesenjangan antarsekolah negeri di Indonesia—baik dari segi kualitas SDM, pengelolaan anggaran, maupun pencapaian akademik—masih sangat besar. Sistem zonasi, yang dimaksudkan untuk pemerataan, justru memperjelas ketimpangan ini karena mutu sekolah sangat ditentukan oleh lokasi geografis dan daya dukung sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya.

🏢 Sekolah Swasta: Inovatif Tapi Elitis?

Sementara itu, sekolah swasta, terutama yang bertaraf nasional plus atau internasional, menawarkan berbagai inovasi pembelajaran: metode Montessori, Cambridge curriculum, STEAM education, hingga pendidikan berbasis karakter. Mereka juga biasanya memiliki kelas kecil, akses teknologi lebih baik, dan fleksibilitas kurikulum.

Namun, semua itu datang dengan harga yang tidak murah. Rata-rata biaya masuk sekolah swasta menengah ke atas di kota besar bisa mencapai puluhan juta rupiah, belum termasuk SPP dan biaya tahunan lainnya. Konsekuensinya, sekolah swasta kerap diasosiasikan dengan kelompok menengah ke atas—bukan hanya karena kualitas, tapi juga karena gengsi sosial.

Sosiolog pendidikan Arief Budiman dalam wawancaranya dengan Kompas (2021) menyatakan bahwa banyak orang tua memilih sekolah swasta bukan hanya karena mutu, tapi karena ingin “mengamankan kelas sosial” anaknya. Sekolah menjadi penanda kelas, bukan sekadar ruang belajar.

🎯 Masalah Utamanya: Mutu atau Persepsi?

Realitas menunjukkan bahwa baik sekolah negeri maupun swasta bisa sama-sama bermutu atau sama-sama bermasalah—bergantung pada kepemimpinan sekolah, kualitas guru, iklim belajar, dan partisipasi masyarakat. Artinya, label “negeri” atau “swasta” tidak menjamin kualitas.

Penelitian oleh Taniredja dan Haryati (2020) dalam Jurnal Evaluasi Pendidikan menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam hasil belajar siswa SMP negeri dan swasta jika dikontrol oleh variabel kualitas guru dan dukungan orang tua.

Namun persepsi publik tetap kuat. Sekolah negeri unggulan dianggap lebih prestisius, sementara sekolah swasta—terutama yang berbiaya tinggi—dilihat sebagai simbol modernitas dan status sosial. Akibatnya, pertimbangan rasional tentang mutu sering tersisih oleh motivasi gengsi.

💡 Rekomendasi: Menuju Pendidikan yang Inklusif dan Bermutu

  1. Mendorong kolaborasi negeri-swasta dalam pengembangan praktik baik dan inovasi pembelajaran.
  2. Menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana BOS dan BOP, agar sekolah negeri bisa benar-benar unggul tanpa bergantung pada “input” siswa semata.
  3. Menyusun indeks mutu sekolah yang komprehensif, mencakup indikator nonakademik seperti iklim inklusif, budaya sekolah, kepuasan siswa, dan partisipasi orang tua.
  4. Memutus logika “label favorit” melalui pemetaan dan penguatan mutu berbasis zonasi secara adil dan proporsional.
  5. Memberdayakan sekolah swasta berbasis komunitas, terutama yang berbasis agama dan kultural (madrasah, sekolah Kristen, sekolah Hindu), agar menjadi pilihan yang terjangkau dan tetap bermutu.

🔚 Penutup

Di tengah dunia pendidikan yang makin kompetitif, kita perlu menahan diri dari kecenderungan menilai sekolah hanya dari label, lokasi, atau biaya. Yang lebih penting dari status negeri atau swasta adalah apakah sekolah itu mampu membentuk anak yang cerdas, berkarakter, inklusif, dan siap hidup dalam keberagaman.

Jika gengsi menjadi penentu pilihan pendidikan, kita sedang mempertaruhkan masa depan anak-anak pada ambisi sesaat. Mari kembali menilai sekolah bukan dari gedung dan status hukumnya, tetapi dari kebermaknaan proses belajarnya.

📚 Daftar Pustaka

  1. Kemendikbudristek. (2023). Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
    https://dapo.kemdikbud.go.id
  2. World Bank. (2020). Indonesia Education Flagship Report: Transforming the System.
    https://documents.worldbank.org
  3. Taniredja, T. & Haryati, S. (2020). “Komparasi Hasil Belajar Siswa Sekolah Negeri dan Swasta di Bandung.” Jurnal Evaluasi Pendidikan, 10(1), 45–55.
  4. Kompas.com. (2021). Arief Budiman: Sekolah Sudah Jadi Simbol Kelas Sosial Baru.
    https://www.kompas.com
  5. Zakiah, Dja’far. (1982). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
  6. Tilaar, H.A.R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Jakarta: LP3ES.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa