Membangun Ekosistem Belajar Sepanjang Hayat di Era 5.0
Oleh: Lukmanil Hakim
Era Revolusi Industri 5.0 bukan lagi konsep masa depan. Kita sedang mengalaminya sekarang, ditandai dengan integrasi antara teknologi cerdas dan humanisme. Dalam lanskap ini, pendidikan tidak cukup berhenti di bangku sekolah. Yang dibutuhkan adalah ekosistem belajar sepanjang hayat (lifelong learning ecosystem)—sebuah sistem sosial dan budaya yang memungkinkan setiap orang untuk terus belajar, berkembang, dan beradaptasi di segala usia dan situasi.
Namun, bagaimana kondisi ekosistem belajar kita hari ini? Apakah Indonesia sudah siap beralih dari sistem belajar berbasis ijazah ke pembelajaran berbasis kebutuhan hidup dan perkembangan zaman?
📘 Belajar Sepanjang Hayat: Dari Konsep ke Keharusan
Konsep lifelong learning pertama kali diperkenalkan secara formal oleh UNESCO pada tahun 1972 melalui laporan Faure Report yang menekankan bahwa pendidikan harus dilihat sebagai proses berkelanjutan sepanjang hidup seseorang. Pendidikan tidak boleh terbatas pada lembaga formal, tetapi juga harus mencakup pembelajaran informal dan nonformal.
Dalam konteks Indonesia, semangat ini diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 5 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan sepanjang hayat.
Namun dalam praktiknya, kebanyakan sistem pendidikan kita masih berorientasi pada tahap usia dan kelulusan formal, bukan pada pengembangan kapasitas jangka panjang. Banyak lulusan yang tidak siap menghadapi dinamika dunia kerja karena proses belajarnya berhenti setelah keluar dari sekolah atau perguruan tinggi.
🌐 Tantangan Era 5.0: Belajar Bukan Lagi Opsi, Tapi Kebutuhan
Di era 5.0, manusia dituntut untuk memiliki kecakapan ganda: literasi digital dan kecerdasan emosional, keterampilan adaptif dan karakter tangguh. Perubahan teknologi begitu cepat sehingga apa yang dipelajari lima tahun lalu bisa jadi usang hari ini.
Menurut laporan World Economic Forum (2023), lebih dari 40% tenaga kerja global perlu reskilling dalam waktu 3–5 tahun ke depan untuk tetap relevan di dunia kerja. Di Indonesia, laporan Bappenas dan Bank Dunia (2022) mengungkapkan bahwa mismatch antara kompetensi lulusan dan kebutuhan pasar kerja mencapai lebih dari 50%.
Hal ini menunjukkan bahwa belajar tidak bisa hanya dilakukan di awal kehidupan, tetapi harus menjadi kebiasaan hidup. Namun, untuk mewujudkan itu, kita butuh sistem yang mendukung.
🧩 Ekosistem Lifelong Learning: Elemen yang Harus Diperkuat
Untuk membangun ekosistem belajar sepanjang hayat yang utuh, setidaknya ada lima komponen utama yang harus diperkuat:
-
Kebijakan Pemerintah yang Inklusif dan Adaptif
Pemerintah perlu mengembangkan regulasi dan insentif yang mendukung akses pendidikan fleksibel, termasuk bagi orang dewasa, lansia, dan pekerja informal. -
Kelembagaan Pembelajaran Nonformal yang Terintegrasi
Keberadaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), rumah baca, pesantren, serta komunitas digital harus diakui dan diberdayakan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. -
Pemanfaatan Teknologi untuk Pembelajaran Terbuka dan Fleksibel
Platform seperti Ruang Guru, Prakerja, MOOCs (Massive Open Online Courses), dan e-learning madrasah harus dikembangkan secara lebih inklusif dan tidak hanya menyasar kelompok urban. -
Kultur Belajar dalam Masyarakat
Budaya belajar harus ditumbuhkan dari keluarga, tempat kerja, hingga komunitas. Literasi digital dan literasi kritis harus menjadi bagian dari gaya hidup. -
Pengakuan terhadap Pembelajaran Informal
Sistem sertifikasi berbasis keterampilan (Recognition of Prior Learning) perlu dikembangkan, seperti yang dilakukan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
🧠 Pesantren, Madrasah, dan Komunitas Lokal: Pilar-Pilar Pembelajaran Kontekstual
Di tengah minimnya akses teknologi di beberapa daerah, lembaga tradisional seperti pesantren, madrasah diniyah, dan majelis taklim bisa menjadi motor pembelajaran sepanjang hayat. Mereka sudah terbukti mampu menghidupkan nilai keilmuan, diskusi, dan penguatan karakter tanpa terikat usia.
Menurut Azyumardi Azra (2005), pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling konsisten menjalankan prinsip ta’allam minal mahdi ilal lahdi (belajar dari buaian hingga liang lahat), yang sejalan dengan spirit lifelong learning.
🔚 Penutup: Dari Sekolah Menuju Masyarakat Belajar
Pendidikan masa depan bukan hanya soal kurikulum dan ujian, tetapi soal menciptakan masyarakat belajar. Era 5.0 menuntut kita membangun sistem yang tidak hanya mendidik anak, tetapi juga terus mengembangkan orang dewasa. Semua orang harus merasa diberdayakan untuk terus belajar, bukan merasa tertinggal.
Jika kita ingin Indonesia menjadi bangsa pembelajar, maka membangun ekosistem belajar sepanjang hayat adalah kunci. Pendidikan bukan lagi tanggung jawab sekolah semata, melainkan tanggung jawab bersama: keluarga, komunitas, negara, dan setiap individu yang ingin terus tumbuh.
📚 Daftar Pustaka
- UNESCO. (1972). Learning to Be: The World of Education Today and Tomorrow (Faure Report).
- Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
- World Economic Forum. (2023). The Future of Jobs Report 2023.
https://www.weforum.org - Bappenas & World Bank. (2022). Indonesia Skills Report: Addressing Skills Mismatch in the Labor Market.
- Azyumardi Azra. (2005). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.
- BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). (2023). RPL Guidelines.
https://bnsp.go.id - Tilaar, H.A.R. (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif. Jakarta: Grasindo.
- Dirjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud. (2020). Strategi Penguatan Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat.
Komentar
Posting Komentar