Air Kencing Unta dalam Hadis Nabi: Antara Konteks Medis dan Kesalahpahaman Publik
Oleh: Lukmanul Hakim
(Pemerhati Studi Islam dan Budaya Arab)
Belakangan ini, perdebatan di ruang publik kembali mencuat terkait hadis Nabi Muhammad ﷺ yang menganjurkan sekelompok orang untuk meminum air susu dan air kencing unta sebagai pengobatan. Sebagian kalangan menanggapinya dengan ejekan dan skeptisisme, bahkan menjadikannya sebagai bahan olok-olok terhadap ajaran Islam. Namun, apakah hadis ini memang harus dipahami secara literal dan ditelan mentah-mentah di luar konteks zaman dan ilmu?
Hadis tersebut tercatat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, yang secara sanad tergolong otentik. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, sekelompok orang dari kabilah ‘Ukl atau ‘Urainah datang ke Madinah dan jatuh sakit akibat tidak cocok dengan iklimnya. Nabi ﷺ lalu menyuruh mereka untuk keluar ke kandang unta milik baitul mal dan meminum susu dan air kencing unta. Mereka pun sembuh.
Bagi masyarakat modern yang hidup dalam lingkungan medis yang klinis dan saintifik, anjuran ini tentu terdengar ganjil, bahkan menjijikkan. Tapi sebelum buru-buru menolaknya atau menjadikannya bahan satir, ada baiknya kita menelusuri lebih dalam konteks sejarah, budaya, dan ilmu yang melatarinya.
Pengobatan Tradisional Arab
Dalam pengobatan tradisional masyarakat Arab kuno, air kencing unta memang dipercaya memiliki khasiat tertentu, terutama untuk penyakit hati, pencernaan, dan kulit. Ulama sekaligus dokter Muslim ternama, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, dalam kitabnya Zad al-Ma’ad, menyebutkan bahwa kencing unta, terutama dari unta betina muda yang memakan tumbuhan padang pasir, digunakan dalam terapi pengobatan lokal.
Dengan demikian, anjuran Nabi ﷺ tersebut bukan bentuk ibadah atau sunnah dalam pengertian ritual, melainkan respon terhadap situasi medis pada zamannya. Ini penting untuk dipahami agar tidak terjadi penyalahpahaman atau bahkan pengaburan pesan kenabian secara keseluruhan.
Perspektif Fikih: Bukan Anjuran Umum
Para ulama fikih klasik pun memberikan perhatian terhadap hadis ini, dengan menggarisbawahi bahwa itu adalah kasus khusus. Mayoritas mazhab fikih (Syafi’i, Hanafi, Hanbali) memandang air kencing hewan sebagai najis, termasuk air kencing unta. Namun mereka memberikan kelonggaran (rukhsah) dalam konteks pengobatan, jika ada manfaat yang dibuktikan secara empiris.
Mazhab Maliki sedikit berbeda. Mereka menganggap air kencing hewan yang halal dimakan—seperti unta—adalah suci, sehingga boleh digunakan baik dalam pengobatan maupun lainnya.
Dengan kata lain, tidak ada satu pun mazhab yang menganjurkan umat Islam untuk secara umum mengonsumsi air kencing unta. Hadis tersebut berlaku dalam ruang “ijtihadi” dan bukan sebagai norma ajaran universal.
Perspektif Sains Modern
Beberapa penelitian dari Timur Tengah, khususnya Arab Saudi dan UEA, memang menemukan bahwa air kencing unta memiliki kandungan antibakteri dan antitumor. Di antaranya adalah studi yang menyebutkan adanya zat bioaktif seperti “lactoferrin” yang berpotensi sebagai agen antikanker.
Namun, hingga saat ini, klaim tersebut belum diakui secara luas dalam komunitas medis internasional. World Health Organization (WHO) bahkan memperingatkan adanya risiko infeksi zoonosis seperti MERS-CoV yang berpotensi menular melalui kontak langsung dengan unta, termasuk cairan tubuhnya.
Artinya, walaupun ada indikasi medis, penggunaannya tetap harus dikaji lebih lanjut melalui pendekatan ilmiah, dan tidak bisa dijadikan alasan pembenaran sembarangan dalam konteks umum atau keagamaan.
Jangan Buru-buru Menertawakan Hadis
Salah satu kerugian besar dalam diskursus publik saat ini adalah kecenderungan untuk menertawakan hal-hal yang belum dipahami secara utuh. Hadis tentang air kencing unta adalah bagian dari praktik kedokteran tradisional yang wajar dalam konteks abad ke-7. Menilainya dengan standar kedokteran abad ke-21 tanpa menyertakan konteks akan menyebabkan distorsi sejarah dan keilmuan Islam.
Islam adalah agama yang mendorong ilmu pengetahuan, kemajuan, dan ijtihad sesuai zaman. Anjuran Nabi Muhammad ﷺ dalam konteks medis tertentu tidak berarti menolak kemajuan sains. Justru, umat Islam diajak untuk mengembangkan ilmu dan mencari pengobatan terbaik yang relevan dengan zaman dan tempat.
Penutup
Hadis mengenai air kencing unta bukanlah ajaran sakral yang harus diamalkan oleh setiap Muslim sepanjang zaman, melainkan respons kenabian terhadap situasi medis yang dihadapi masyarakatnya kala itu. Oleh karena itu, polemik yang membesar hanya karena pembacaan yang tekstual dan lepas konteks justru berbahaya, baik bagi citra Islam maupun semangat ilmiah itu sendiri.
Alih-alih mencemooh, mari jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran untuk mengedepankan sikap ilmiah, kritis, dan kontekstual dalam memahami ajaran agama. Sebab pada akhirnya, Islam adalah agama yang selalu terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan maslahat manusia.
Daftar Referensi:
- Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Kitab al-Tibb.
- Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Qasamah.
- Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Zad al-Ma’ad, Beirut: Muassasah al-Risalah.
- Al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
- Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Dar al-Ma’rifah.
- WHO, “Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV)”, World Health Organization, 2020.
Komentar
Posting Komentar