Moderasi Beragama dalam Perspektif Ulama Klasik dan Kontemporer
Oleh: Lukmanul Hakim
Di tengah arus radikalisasi dan intoleransi yang menguat di berbagai belahan dunia, wacana tentang moderasi beragama (wasathiyyah) kembali mengemuka. Namun, tak sedikit yang menganggap konsep ini sebagai wacana baru yang diproduksi oleh negara atau lembaga internasional semata. Padahal, bila menengok khazanah pemikiran Islam, jejak moderasi justru telah menjadi fondasi penting sejak masa klasik.
Artikel ini mencoba menelusuri bagaimana wasathiyyah dipahami dan dipraktikkan oleh para ulama klasik, serta bagaimana para ulama kontemporer merevitalisasinya dalam konteks zaman modern.
Wasathiyyah dalam Al-Qur'an dan Hadis
Istilah wasathiyyah berasal dari kata wasath yang berarti tengah, adil, atau seimbang. Al-Qur'an menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (QS. Al-Baqarah [2]: 143), yang oleh para mufasir diartikan sebagai umat yang berada di tengah—tidak ekstrem kanan maupun kiri.
Nabi Muhammad SAW pun memperingatkan tentang bahaya ghuluw (berlebihan) dalam beragama. Dalam hadis riwayat An-Nasa’i, Rasulullah bersabda, “Jauhilah oleh kalian sikap ghuluw dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena sikap ghuluw dalam agama.”
Ulama Klasik: Moderasi sebagai Inti Syariat
Konsep moderasi bukanlah produk modernitas. Ulama seperti Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menekankan pentingnya keseimbangan antara aspek zahir dan batin dalam agama. Ia menolak pendekatan legalistik semata, dan juga mengkritik ekses mistik yang menafikan syariat.
Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat menjelaskan bahwa tujuan syariat (maqashid al-shari'ah) adalah untuk menjaga lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Menurutnya, pemahaman agama yang ekstrem akan merusak maqashid ini.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah, meskipun dikenal sebagai murid Ibnu Taimiyah, menulis dalam I’lam al-Muwaqqi’in bahwa “agama itu adil, rahmat, maslahat, dan hikmah”. Jika sebuah fatwa menyimpang dari nilai-nilai ini, maka ia bukan bagian dari agama.
Ulama Kontemporer: Revitalisasi Moderasi dalam Dunia Modern
Di era kontemporer, gagasan wasathiyyah kembali digaungkan untuk merespons krisis kekerasan atas nama agama. Syaikh Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya Fiqh al-Wasathiyyah menjadikan moderasi sebagai prinsip dasar berislam di dunia modern. Ia menolak liberalisme agama, tetapi juga menentang literalitas yang mengabaikan maqashid dan konteks sosial.
Begitu pula dengan Prof. Muhammad Abu Zahrah dan Syaikh Muhammad al-Ghazali yang menekankan ijtihad yang kontekstual, toleransi antar mazhab, serta perlindungan terhadap hak minoritas dalam masyarakat plural.
Di Indonesia, tokoh-tokoh seperti K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), K.H. Sahal Mahfudh, dan Prof. Quraish Shihab adalah contoh ulama yang konsisten menyuarakan pentingnya Islam yang inklusif, toleran, dan berakar kuat pada tradisi klasik. Bagi mereka, moderasi bukan berarti mencairkan identitas keagamaan, tetapi justru memperteguhnya dalam bingkai kemanusiaan.
Moderasi sebagai Jalan Keislaman yang Otentik
Moderasi bukan sekadar jargon politik atau proyek globalisasi. Ia adalah representasi Islam yang otentik, seperti yang diteladankan Rasulullah: rahmatan lil ‘alamin. Moderasi juga bukan kompromi terhadap prinsip-prinsip Islam, melainkan penerapan prinsip-prinsip itu secara adil, proporsional, dan kontekstual.
Maka, dalam menghadapi tantangan zaman—entah itu radikalisme, sekularisme ekstrem, atau fanatisme mazhab—umat Islam perlu menoleh kembali ke khazanah klasik dan membacanya dengan lensa kontemporer. Di situlah moderasi menemukan relevansi dan urgensinya.
Penutup
Moderasi beragama bukanlah bid’ah intelektual modern, melainkan bagian dari esensi ajaran Islam itu sendiri. Para ulama klasik telah merumuskannya, dan para ulama kontemporer merevitalisasinya. Kini, tugas kita adalah mewujudkannya dalam ruang kehidupan nyata—dari mimbar ke media sosial, dari ruang kelas ke ruang keluarga—agar Islam benar-benar hadir sebagai rahmat bagi semesta.
Daftar Pustaka
- Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
- Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari‘ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Ibn Qayyim al-Jawziyyah, I‘lam al-Muwaqqi‘in, Kairo: Maktabah al-Khanji.
- Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Shuruq.
- Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat, Mizan.
- Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, LKiS.
- Azyumardi Azra, Islam Substantif, Mizan.
- Muhammad al-Ghazali, As-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits, Kairo.
Komentar
Posting Komentar