Bencana Alam dan Kehendak Ilahi: Perspektif Teologis dan Kemanusiaan

Oleh: Lukmanul Hakim

Setiap kali bencana alam datang—banjir bandang, gempa bumi, tanah longsor, atau kekeringan berkepanjangan—pertanyaan yang kerap muncul adalah: apakah ini murni kehendak Tuhan? Banyak yang pasrah menyebutnya sebagai musibah dari langit. Namun, dalam perspektif teologis yang lebih utuh, bencana bukan sekadar "azab", melainkan juga "peringatan", "ujian", bahkan konsekuensi dari ulah manusia.

Dalam konteks inilah penting kiranya kita menempatkan bencana alam dalam kerangka keimanan, etika sosial, dan tanggung jawab ekologis, bukan semata sebagai peristiwa yang bersifat fatalistik.


1. Antara Takdir dan Tanggung Jawab

Dalam akidah Islam, keyakinan terhadap takdir adalah rukun iman yang kelima. Namun, takdir bukanlah alasan untuk mengabaikan sebab-akibat duniawi. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia juga menjadi pelaku sejarah dan pembentuk realitas sosial:

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Demikian pula ketika terjadi kerusakan alam dan bencana, Al-Qur’an memberi sinyal keterlibatan manusia:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia..."
(QS. Ar-Rum: 41)

Artinya, bencana tidak melulu takdir yang datang tiba-tiba. Dalam banyak kasus, ia adalah hasil dari eksploitasi alam secara serakah, tata ruang yang salah urus, dan sistem pembangunan yang tak berpihak pada keberlanjutan.


2. Teologi Bencana: Peringatan atau Azab?

Dalam sejarah peradaban Islam, bencana sering dimaknai sebagai peringatan Tuhan atas kelalaian manusia. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa ketika masyarakat melampaui batas, lalai terhadap keadilan dan merusak tatanan alam, kehancuran akan datang sebagai bentuk koreksi sejarah.

Ulama kontemporer seperti KH. Ali Yafie juga menegaskan bahwa bencana alam hendaknya tidak dipandang sebagai azab semata, melainkan momentum untuk instrospeksi kolektif dan memperbaiki relasi manusia dengan lingkungan dan Tuhan. Dalam Fiqh Lingkungan yang beliau gagas, manusia bukan pemilik mutlak bumi, melainkan khalifah yang diberi amanah untuk menjaga dan merawatnya (QS. Al-Baqarah: 30).

Bencana juga mengandung aspek rahmah (kasih sayang), dalam arti memberikan peluang untuk kembali ke jalan yang benar, menguatkan solidaritas, serta menumbuhkan empati sosial dan kepedulian lintas batas.


3. Kemanusiaan dalam Pusaran Bencana

Dari perspektif kemanusiaan, bencana harus dipandang sebagai panggilan untuk bergerak bersama, bukan sekadar momen belas kasihan sesaat. Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya solidaritas sosial, sebagaimana sabdanya:

"Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi dan menyayangi bagaikan satu tubuh..."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ketika satu wilayah tertimpa bencana, maka seluruh masyarakat, bangsa, bahkan umat manusia berkewajiban mengulurkan tangan, tanpa melihat agama, suku, atau asal daerah. Sebab dalam derita, kita semua setara sebagai manusia.

Lebih jauh lagi, tanggung jawab kemanusiaan itu harus diterjemahkan dalam bentuk sistem mitigasi bencana yang kuat, edukasi publik, dan pembangunan berkelanjutan. Seperti disebut dalam laporan UNDRR (2022), negara-negara yang memiliki sistem mitigasi yang matang terbukti mampu mengurangi korban jiwa secara signifikan, meskipun bencana yang terjadi sangat besar.


4. Membangun Teologi Ekologis dan Tangguh Bencana

Sudah saatnya kita mengembangkan apa yang disebut sebagai “teologi ekologis”—suatu cara beragama yang tidak berhenti pada simbol dan ritus, tetapi menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap ciptaan Tuhan yang lain: bumi, air, hutan, dan makhluk hidup lainnya. Ini sejalan dengan visi Islam rahmatan lil ‘alamin yang tidak hanya mengayomi manusia, tetapi juga seluruh ekosistem.

Program mitigasi dan adaptasi bencana perlu dijiwai oleh nilai-nilai spiritualitas dan kesadaran ekologis. Masjid, pesantren, dan institusi keagamaan harus dilibatkan dalam pendidikan kebencanaan dan konservasi lingkungan. Gerakan seperti Green Hajj, Eco Masjid, atau Dakwah Ekologis bisa menjadi langkah strategis untuk menyinergikan iman dan aksi ekologis.


Penutup: Bumi Tidak Butuh Kita, Tapi Kita Butuh Bumi

Pada akhirnya, bencana alam adalah cermin dari relasi yang timpang antara manusia dan bumi. Jika kita terus menempatkan diri sebagai pemilik, bukan penjaga bumi, maka kerusakan hanya akan berulang. Maka dari itu, dalam menghadapi bencana, kita tidak cukup hanya menengadah ke langit, tetapi juga harus menunduk menatap bumi dan memperbaiki cara kita hidup di atasnya.


Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’anul Karim: QS. Ar-Rum: 41, QS. Ar-Ra’d: 11, QS. Al-Baqarah: 30
  2. Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim
  3. Ali Yafie. (1994). Merintis Fiqih Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Idayu.
  4. Ibnu Khaldun. Muqaddimah. Terj. Franz Rosenthal. Princeton University Press, 2005.
  5. UNDRR (United Nations Office for Disaster Risk Reduction). (2022). Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction.
  6. Sahal Mahfudh. (2004). Fiqh Sosial: Percikan Pemikiran Islam. Yogyakarta: LKiS.
  7. Republika.co.id. (2023). “KH Ali Yafie: Lingkungan Bukan Warisan, Tapi Amanah.”
  8. Kompas.com. (2023). “Bencana dan Ketimpangan Sosial.”
  9. Tempo.co. (2024). “Mitigasi Bencana di Indonesia Masih Lemah.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa