Perbedaan Masjid dan Mushalla: Telaah Fikih Berdasarkan Dalil dan Pendapat Ulama
Oleh: Lukmanul Hakim
Dalam kehidupan umat Islam, tempat ibadah memiliki kedudukan yang penting, baik secara spiritual maupun sosial. Dua istilah yang sering digunakan adalah masjid dan mushalla. Meski keduanya berfungsi sebagai tempat shalat, keduanya tidak bisa disamakan begitu saja dalam syariat Islam. Perbedaan antara masjid dan mushalla bukan hanya bersifat struktural, tetapi juga memiliki implikasi hukum fikih yang cukup signifikan.
1. Definisi Masjid dan Mushalla
Secara bahasa, masjid (مَسْجِد) berasal dari kata sajada yang berarti sujud. Secara istilah syar’i, masjid adalah tempat yang dibangun dan diniatkan serta diwakafkan secara permanen untuk pelaksanaan ibadah, terutama shalat lima waktu, dan memiliki status hukum tersendiri dalam Islam. Imam Nawawi menjelaskan bahwa masjid adalah "segala tempat yang diwakafkan secara sah untuk ibadah, dan berlaku padanya hukum-hukum khusus masjid."
Adapun mushalla (مُصَلّى), secara bahasa berarti "tempat shalat." Namun dalam praktiknya, mushalla adalah tempat yang difungsikan untuk shalat sesekali atau tidak diwakafkan secara permanen. Mushalla sering digunakan untuk shalat berjamaah harian di lingkungan kecil, shalat jenazah, atau bahkan untuk kegiatan sosial keagamaan. Ia tidak memiliki keistimewaan hukum sebagaimana masjid.
2. Penentuan Status Masjid Berdasarkan Niat dan Wakaf
Sebuah bangunan hanya bisa disebut masjid secara hukum syariat apabila pembangunannya diniatkan sejak awal sebagai masjid, dan disertai dengan akad wakaf. Tanpa niat tersebut dan tanpa wakaf, tempat itu hanya dianggap sebagai mushalla atau tempat shalat biasa.
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni menyatakan:
"Jika suatu tempat digunakan untuk shalat tetapi tidak diwakafkan secara khusus, maka tidak termasuk dalam kategori masjid menurut hukum syariat."
Karena itu, meskipun bentuk bangunannya megah dan kegiatan ibadah rutin dilaksanakan, tempat itu tidak otomatis memiliki status masjid kecuali disertai niat wakaf.
3. Masjid Digunakan untuk Shalat Jumat, Mushalla Tidak
Salah satu ciri khas dari masjid adalah digunakannya untuk pelaksanaan shalat Jumat. Ini merupakan salah satu indikator penting yang membedakan masjid dari mushalla.
Dalam fikih, shalat Jumat tidak sah kecuali dilakukan di masjid atau tempat yang disetarakan dengannya dan telah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti adanya jamaah, khatib, dan wilayah yang tetap.
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kalian mengingat Allah dan tinggalkan jual beli."
(QS. Al-Jumu’ah: 9)
Ayat ini menunjukkan kewajiban dan keagungan pelaksanaan shalat Jumat yang umumnya dilakukan di masjid, bukan di tempat ibadah biasa atau mushalla.
4. Hukum-Hukum Khusus yang Berlaku di Masjid
Masjid memiliki sejumlah hukum dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh mushalla. Berikut di antaranya:
a. I’tikaf Sah Hanya di Masjid
Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid."
(QS. Al-Baqarah: 187)
Para ulama sepakat bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid. Bahkan untuk perempuan, i’tikafnya pun harus di masjid, bukan di rumah atau mushalla. Ini menunjukkan betapa eksklusifnya hukum ini terhadap masjid.
b. Larangan Bagi Orang Junub Berdiam di Masjid
"Dan jangan pula (kamu dekati masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali hanya sekadar berlalu saja..."
(QS. An-Nisa: 43)
Larangan ini hanya berlaku bagi masjid, bukan mushalla. Oleh karena itu, orang yang sedang junub tidak boleh menetap di masjid kecuali lewat sekilas dengan kepentingan yang sah.
c. Wanita Haid Tidak Boleh Masuk Masjid jika Berisiko Menajiskan
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub.”
(HR. Abu Dawud, no. 232)
Menurut mayoritas ulama, wanita haid dilarang memasuki masjid karena berpotensi menajiskan tempat suci. Namun jika hanya lewat dan diyakini tidak akan menimbulkan najis, maka sebagian ulama membolehkannya.
d. Disunnahkan Shalat Tahiyyatul Masjid
Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila salah seorang dari kalian masuk ke masjid, maka janganlah duduk sebelum ia shalat dua rakaat."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Shalat sunnah ini hanya dianjurkan di masjid, dan tidak berlaku di mushalla atau tempat ibadah sementara.
5. Masjid Boleh Disebut Mushalla, Tapi Tidak Sebaliknya
Secara bahasa, masjid bisa disebut mushalla karena keduanya adalah tempat shalat. Namun secara hukum syariat, mushalla tidak bisa disebut masjid kecuali memenuhi syarat-syarat wakaf dan niat yang sah. Menyamakan keduanya dalam hukum dapat mengaburkan batasan antara tempat yang suci secara mutlak dan tempat yang hanya digunakan secara fungsional.
Simpulan
Perbedaan antara masjid dan mushalla tidak hanya terletak pada fungsi dan bentuk fisiknya, tetapi juga pada niat pembangunan, status wakaf, serta implikasi hukum syariat yang menyertainya. Masjid memiliki kedudukan suci yang mengikat dengan aturan-aturan khusus, seperti larangan bagi orang junub dan wanita haid, keutamaan shalat tahiyyatul masjid, hingga syarat sahnya i’tikaf dan shalat Jumat. Sementara mushalla, meskipun berfungsi sebagai tempat ibadah, tidak memiliki kekuatan hukum tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk mengetahui dan membedakan keduanya agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan ibadah dan penerapan hukum fikih.
Daftar Referensi
- Al-Qur’an al-Karim, QS. Al-Baqarah: 187, QS. An-Nisa: 43, QS. Al-Jumu’ah: 9
- Shahih Bukhari dan Muslim
- Sunan Abu Dawud
- Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
- Ibnu Qudamah, al-Mughni
- Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu
- Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
Komentar
Posting Komentar