Anak Allah atau Hamba Allah? Membongkar Makna Teologis dalam Injil dan Al-Qur’an

Oleh: Lukmanul Hakim

Istilah “Anak Allah” yang disandangkan kepada Yesus (Isa Al-Masih) telah menjadi pusat perdebatan teologis yang paling krusial antara umat Kristen dan umat Islam. Bagi mayoritas Kristen, sebutan ini mengandung makna ilahi: bahwa Yesus adalah pribadi kedua dari Tritunggal, Tuhan yang menjelma dalam rupa manusia. Sebaliknya, dalam Islam, Isa adalah hamba Allah (‘abdullah) dan utusan-Nya (rasul), bukan Tuhan dan bukan pula anak biologis Tuhan. Namun, apakah istilah "Anak Allah" dalam Injil benar-benar bermakna literal dan ilahi? Atau justru simbolik, metaforis, dan konteksual sesuai budaya Semitik kala itu? Artikel ini akan menelusuri makna teologisnya dalam terang kitab suci dan sejarah.

Makna "Anak Allah" dalam Konteks Yahudi

Dalam Alkitab Ibrani (Perjanjian Lama), istilah “anak Allah” tidak eksklusif ditujukan kepada Yesus. Frasa ini kerap digunakan untuk menyebut:

  • Bangsa Israel:

    “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku.” (Hosea 11:1)

  • Raja-raja Israel:

    “Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku.” (2 Samuel 7:14, untuk Raja Salomo)

Dalam dunia Yahudi, “anak Allah” adalah gelar kehormatan yang menunjukkan kedekatan spiritual dan otoritas utusan, bukan hubungan biologis atau ontologis (esensi ketuhanan).

Yesus dalam Injil: Anak Allah yang Tunduk kepada Allah

Injil memperlihatkan bahwa Yesus sendiri tidak mengklaim dirinya sebagai Tuhan, melainkan mengakui keberadaan Tuhan sebagai otoritas tertinggi:

  • “Bapaku lebih besar daripada aku.” (Yohanes 14:28)

  • “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri...” (Yohanes 5:30)

  • “Mengapa kau sebut aku baik? Tidak ada yang baik selain dari Allah saja.” (Markus 10:18)

Bahkan dalam situasi getir seperti di kayu salib, Yesus berseru:

“Eli, Eli, lama sabakhtani?” (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?) – Matius 27:46

Ucapan ini menunjukkan bahwa Yesus memposisikan dirinya sebagai hamba yang bergantung kepada Tuhan, bukan sebagai bagian dari Tuhan itu sendiri.

Pandangan Al-Qur'an: Isa sebagai Hamba Allah

Al-Qur'an dengan tegas menolak konsep “anak Allah” dalam makna biologis atau ilahi:

  • “Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia.” (QS. Maryam [19]:35)

  • “Sesungguhnya Al-Masih tidak enggan menjadi hamba Allah.” (QS. An-Nisa [4]:172)

  • “Dia hanyalah seorang hamba yang Kami beri nikmat (kenabian).” (QS. Az-Zukhruf [43]:59)

Dalam Islam, Isa adalah ‘abdullah (hamba Allah) dan nabiyyullah (nabi Allah), yang dilahirkan secara mukjizat oleh Maryam tanpa ayah biologis, namun tetap manusia, bukan Tuhan ataupun bagian dari-Nya.

Salah Paham karena Bahasalah yang Menjadi Pemicu

Istilah “anak” dalam bahasa Semitik seperti Ibrani, Aram, dan Arab seringkali bermakna hubungan spiritual atau simbolik, bukan harfiah. Bahkan dalam bahasa Arab kita mengenal ungkapan seperti:

  • “Ibnus sabîl” = anak jalanan (bukan berarti anak biologis dari jalan)

  • “Ibnu waqtihi” = anak zamannya (orang yang mengikuti perkembangan zaman)

Sebagaimana diungkapkan oleh teolog Kristen modern James D. G. Dunn, dalam bukunya Did the First Christians Worship Jesus?, ia menyatakan bahwa ajaran Yesus sendiri tidak menunjukkan bahwa ia meminta disembah sebagai Tuhan. Konsep keilahian Yesus berkembang kemudian dalam proses historis dan teologis Gereja awal, terutama melalui tulisan Paulus dan Konsili Nicea (325 M).

Penutup: Tafsir yang Menghormati Perbedaan

Ketegangan teologis antara “Anak Allah” dan “Hamba Allah” sejatinya bukan tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi tentang perbedaan bahasa iman yang lahir dari konteks sejarah dan budaya yang berbeda.

Umat Islam tidak mengingkari keagungan Yesus. Dalam Islam, Isa adalah al-Masih, yang dilahirkan secara mukjizat, berbicara sejak bayi, menyembuhkan orang sakit, bahkan membangkitkan orang mati atas izin Allah (QS. Ali Imran [3]:49). Namun semua itu tidak menjadikannya Tuhan, melainkan nabi besar dalam deretan para utusan Allah.

Umat Kristen, dengan tradisi panjangnya, memaknai “Anak Allah” sebagai misteri iman, bukan kekerabatan biologis. Dalam dialog lintas iman, penghormatan terhadap keyakinan masing-masing adalah kunci, sembari terus membuka ruang belajar dan bertukar pemahaman.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur'an al-Karim – Terjemah Depag RI

  2. Alkitab Terjemahan Baru – Lembaga Alkitab Indonesia

  3. Dunn, James D. G. Did the First Christians Worship Jesus? The New Testament Evidence. Westminster John Knox Press, 2010.

  4. Armstrong, Karen. The Case for God. Knopf, 2009.

  5. Geza Vermes. Jesus the Jew: A Historian's Reading of the Gospels. Fortress Press, 1973.

  6. Taha Jabir Al-Alwani. Islam and the Question of Minorities. IIIT, 2003.

  7. Maurice Bucaille. The Bible, The Qur'an and Science. Seghers, 1976.

  8. Samuel Zwemer. The Moslem Christ. American Tract Society, 1912.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa