Memulihkan Bumi, Merawat Nurani: Bencana Alam dan Kesalehan Sosial Kita

Oleh: Lukmanul Hakim

Setiap kali bumi berguncang atau banjir melanda, kita sontak bersimpati. Namun di balik itu, tersimpan pertanyaan lebih dalam: apakah kita benar-benar sedang menolong bumi, atau sekadar menenangkan hati? Bencana alam bukan hanya soal gejala geologis atau klimatologis, melainkan juga refleksi tentang sejauh mana kita telah berlaku adil terhadap bumi dan sesama.

Artikel ini mengajak kita melihat bencana bukan hanya sebagai peristiwa alam, tetapi sebagai panggilan moral untuk menumbuhkan kesalehan sosial dan spiritual yang berdampak nyata bagi lingkungan.

Bumi yang Luka, Nurani yang Kian Tumpul

Kita hidup dalam dunia yang makin kompleks: laju deforestasi terus meningkat, kawasan resapan air beralih fungsi, emisi karbon terus membumbung, dan produksi sampah menggunung. Dalam laporan UNEP (United Nations Environment Programme, 2023), disebutkan bahwa sekitar 75% lahan dunia telah mengalami degradasi sedang hingga berat.

Di Indonesia, laporan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023) menyebut bahwa lebih dari 14 juta hektare hutan alami telah rusak dalam dua dekade terakhir. Sebagian besar akibat aktivitas manusia: pembukaan lahan, pertambangan, dan pembangunan tanpa analisis dampak lingkungan yang ketat.

Bencana yang datang beruntun—banjir di Jakarta dan di Mataram, likuefaksi di Sulawesi, tanah longsor di Sumatra, kekeringan di Jawa Timur—bukanlah “kemurkaan alam”, melainkan respon alami terhadap ketidakseimbangan yang kita ciptakan sendiri.

Bencana dan Tafsir Etis Keimanan

Dalam perspektif Islam, bencana memiliki banyak wajah: bisa sebagai ujian (ibtila’), peringatan (tadzkirah), atau akibat dari kelalaian manusia (jaza’ al-‘amal). Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
(QS. Ar-Rum: 41)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa krisis ekologis adalah panggilan taubat sosial. Bukan hanya taubat personal atas dosa-dosa spiritual, tapi taubat ekologis atas gaya hidup rakus, pola pembangunan yang eksploitatif, dan abainya kita terhadap keberlanjutan.

Sebagaimana ditulis oleh KH. Ali Yafie dalam Fiqh Lingkungan Hidup, tanggung jawab manusia terhadap alam adalah bagian dari amanah kekhalifahan (QS. Al-Baqarah: 30). Merusak alam bukan hanya kesalahan teknis, tetapi pengkhianatan teologis.

Kesalehan Sosial dan Tanggung Jawab Ekologis

Kesalehan dalam Islam tidak cukup diukur dari ibadah ritual semata. Dalam banyak hadis, Rasulullah SAW justru menekankan kesalehan sosial—yakni seberapa jauh keberadaan kita bermanfaat bagi sesama dan semesta.

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
(HR. Ahmad)

Dalam konteks bencana dan krisis lingkungan, kesalehan sosial juga berarti:

  • Tidak membuang sampah sembarangan, karena akan menyumbat saluran air dan memicu banjir.
  • Tidak membabat hutan sembarangan, karena akan membuat tanah kehilangan daya resap dan memicu longsor.
  • Menghemat energi dan air, karena sumber daya alam bukan milik kita sendiri, melainkan milik generasi mendatang.
  • Mengadvokasi kebijakan lingkungan yang adil, karena menjaga bumi adalah bentuk amar ma’ruf.

Kesalehan tidak bisa lagi dipisahkan dari keberpihakan kepada lingkungan. Bahkan dalam Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu ‘Arabi mengingatkan bahwa makhluk Tuhan bukan hanya manusia, melainkan juga hewan, tumbuhan, gunung, dan laut yang punya hak atas kasih sayang dan perlindungan kita.

Dari Simbol ke Tindakan: Merawat Bumi sebagai Ibadah

Banyak gerakan hijau berbasis keagamaan mulai tumbuh: eco-pesantren, masjid ramah lingkungan, haji hijau, dan sebagainya. Namun, semua itu hanya akan menjadi simbol jika tidak diikuti oleh komitmen kolektif dan kebijakan publik yang berkeadilan.

Gerakan lingkungan perlu masuk ke dalam khutbah Jumat, pelajaran madrasah, fatwa keagamaan, hingga anggaran pembangunan. Sebab sebagaimana dikatakan Gus Dur, “Tugas agama bukan memperkeruh, tapi mencerahkan. Termasuk dalam menyadarkan manusia tentang tanggung jawabnya terhadap bumi.”

Penutup: Menyelamatkan Bumi, Menyelamatkan Nurani

Bencana bukan sekadar peristiwa alam, melainkan teguran moral dan peringatan spiritual. Di balik banjir dan tanah longsor, ada pesan yang harus kita dengar: bahwa kita telah terlalu lama abai terhadap bumi dan nurani. Maka sudah saatnya kita bertanya bukan hanya “bagaimana menyelamatkan alam?”, tetapi juga “bagaimana menyelamatkan akhlak kita terhadap alam?”

Memulihkan bumi adalah bagian dari memulihkan kesalehan. Merawat bumi adalah bagian dari merawat nurani.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’anul Karim: QS. Ar-Rum: 41, QS. Al-Baqarah: 30
  2. Hadis Nabi SAW (HR. Ahmad)
  3. Ali Yafie. (1994). Merintis Fiqih Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Idayu
  4. Ibnu ‘Arabi. Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar Sadir
  5. Sahal Mahfudh. (2004). Fiqh Sosial: Percikan Pemikiran Islam. Yogyakarta: LKiS
  6. UNEP. (2023). Global Land Outlook 2nd Edition: Restoring Land, Transforming Lives
  7. KLHK RI. (2023). Status Lingkungan Hidup Indonesia
  8. Kompas.com. (2023). “14 Juta Hektare Hutan Alami Indonesia Rusak”
  9. Republika.co.id. (2023). “Eco-Masjid dan Gerakan Dakwah Hijau”
  10. Tempo.co. (2024). “Banjir Akibat Salah Urus Daerah Aliran Sungai”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa