Paulus, Yesus, dan Otoritas Injil: Menjawab Apologetisme secara Kritis dan Seimbang
Oleh: Lukmanul Hakim
Pendahuluan
Postingan yang dibagikan oleh Kornelius Ginting berjudul “Jika Paulus dianggap Tuhan Kristen, maka logika dan iman Anda sedang kritis—karena Anda sedang menyembah tafsiran, bukan kebenaran” mencoba menanggapi kritik terhadap dominasi ajaran Paulus dalam doktrin Kristen. Ia menegaskan bahwa Paulus hanyalah “juru bicara” yang membela Injil Kristus, bukan pusat iman itu sendiri.
Secara umum, argumentasi tersebut valid dalam kerangka iman Kristen arus utama. Namun, untuk menjawabnya secara adil dan tidak bias, perlu ditelaah dari tiga sudut pandang: (1) sejarah perkembangan kekristenan, (2) posisi Paulus dalam penyusunan teologi Perjanjian Baru, dan (3) tanggapan terhadap tuduhan 'menuhankan Paulus'.
1. Paulus dan Yesus dalam Sejarah Kekristenan Awal
Paulus memang bukan pendiri agama Kristen, tetapi ia memainkan peran paling dominan dalam pembentukan teologi Kristen pasca-Yahudi. Sementara Yesus tidak menulis apa-apa, Paulus menulis 13 dari 27 kitab Perjanjian Baru (meskipun sebagian diperdebatkan keasliannya oleh para sarjana seperti Bart D. Ehrman dan Raymond E. Brown).
Menurut Elaine Pagels, profesor sejarah agama di Princeton, ajaran Paulus lebih diterima luas oleh gereja Yunani-Romawi karena bersifat universal dan tidak terlalu ketat terhadap hukum Yahudi. Ajaran Yesus yang bersifat Yahudi-kontekstual kemudian mengalami “penafsiran ulang” oleh Paulus agar diterima oleh dunia non-Yahudi (Pagels, The Gnostic Paul, 1975).
📌 Referensi: Bart D. Ehrman, Jesus, Interrupted (2009); E.P. Sanders, Paul and Palestinian Judaism (1977)
2. Dominasi Paulus dalam Ajaran Gereja: Fakta atau Tuduhan?
Salah satu kritik yang sering muncul adalah bahwa ajaran Paulus tentang pembenaran oleh iman (justification by faith) dan penolakan terhadap hukum Taurat tidak sejalan dengan ajaran Yesus yang banyak bicara soal ketaatan, kasih, dan perbuatan. Misalnya:
- Yesus: “Jika kamu ingin masuk ke dalam hidup, turutilah perintah-perintah Allah” (Matius 19:17)
- Paulus: “Manusia dibenarkan karena iman, bukan karena melakukan hukum Taurat” (Roma 3:28)
Kedua kutipan ini tampaknya bertentangan dalam gaya dan pendekatan. Banyak teolog modern seperti James D.G. Dunn menyebut ini sebagai “variasi dalam penyampaian teologi”, bukan kontradiksi, tetapi perdebatan akademis tetap terbuka.
📌 Lihat: James D.G. Dunn, The Theology of Paul the Apostle (1998)
3. Apakah Kritikus "Menuhankan Paulus"?
Kornelius Ginting menyindir bahwa kritik terhadap Paulus adalah bentuk ironi: menolak Kristus dengan cara menjatuhkan utusannya. Ini argumen yang bersifat apologetis, namun secara logika tidak menjawab pertanyaan pokok: Mengapa Paulus lebih dijadikan rujukan utama ketimbang perkataan Yesus sendiri?
Apakah menyusun doktrin keselamatan lebih berdasarkan surat-surat Paulus daripada ajaran Yesus dalam Injil bukan suatu bentuk "penafsiran yang dikultuskan"?
Menolak dominasi Paulus bukan berarti menolak Yesus, melainkan bentuk kritik terhadap struktur otoritas yang berkembang dalam sejarah gereja. Ini adalah pertanyaan historis dan hermeneutik, bukan sekadar soal iman pribadi.
4. Analogi "Presiden dan Juru Bicara": Kurang Akurat
Penulis menggunakan analogi: menganggap Paulus sebagai Tuhan seperti menyangka juru bicara adalah presiden. Namun dalam praktiknya, suara Paulus lebih banyak dikutip di mimbar gereja, dokumen pengajaran, dan liturgi daripada perkataan langsung Yesus dalam Injil.
Jika suara Yesus dan Paulus seimbang, mestinya ajaran dalam Khotbah di Bukit (Matius 5–7) lebih dominan dalam dogma gereja ketimbang surat Roma atau Galatia. Faktanya, teologi seperti total depravity, original sin, predestinasi, dan lain-lain adalah produk Paulus dan Augustinus, bukan Yesus.
✅ Simpulan: Kritik Boleh, Iman Tetap Dijaga
Kritik terhadap Paulus tidak otomatis berarti penolakan terhadap Injil atau Kristus. Dalam dunia akademik dan lintas iman, membedakan antara ajaran Yesus historis dan teologi gereja pasca-Kristus adalah hal yang wajar.
Sebagai penutup, kita perlu jujur: Paulus memang tidak pernah menempatkan dirinya sebagai Tuhan. Tapi menempatkan ajarannya di atas atau menggantikan ajaran Yesus—itulah yang menjadi soal.
📚 Daftar Pustaka:
- Bart D. Ehrman, Jesus, Interrupted: Revealing the Hidden Contradictions in the Bible, HarperOne, 2009.
- E.P. Sanders, Paul and Palestinian Judaism, Fortress Press, 1977.
- Elaine Pagels, The Gnostic Paul: Gnostic Exegesis of the Pauline Letters, Trinity Press, 1975.
- James D.G. Dunn, The Theology of Paul the Apostle, Eerdmans, 1998.
- Raymond E. Brown, An Introduction to the New Testament, Doubleday, 1997.
Komentar
Posting Komentar