Rukyat, Hisab, dan KHGT: Menyatukan Dua Kutub yang Lama Berseberangan
Oleh: Lukmanul Hakim
Setiap kali Ramadhan dan dua hari raya Islam tiba, umat Muslim di seluruh dunia kembali menghadapi fenomena yang tak asing: berbedanya penetapan awal bulan hijriah. Ada yang telah berpuasa, sementara lainnya masih menikmati santapan sahur terakhir. Perbedaan ini seringkali bukan hanya bersifat geografis, tetapi mencerminkan perbedaan metodologi penanggalan: antara rukyat (pengamatan hilal secara langsung) dan hisab (perhitungan astronomis). Di tengah polemik tersebut, gagasan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) hadir untuk menjembatani dua kutub yang selama ini dipertentangkan.
Rukyat vs. Hisab: Sejarah Perbedaan Pendekatan
Perdebatan antara rukyat dan hisab sudah berlangsung sejak era klasik. Dalam hadis Nabi SAW disebutkan:
"Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya..." (HR. Bukhari dan Muslim). Dari sinilah muncul praktik rukyat: mencari hilal secara langsung di ufuk barat setelah matahari terbenam pada akhir bulan.
Namun dalam sejarah Islam, hisab juga telah digunakan, terutama dalam konteks ibadah non-ramadhan seperti haid, warisan, dan zakat. Ulama seperti Imam al-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, juz 7) dan Imam al-Syafi’i awalnya cenderung menolak hisab dalam konteks ibadah berbasis bulan, tetapi ulama kontemporer—seperti Muhammad Abduh dan Yusuf al-Qaradawi—menegaskan bahwa hisab modern yang akurat dapat digunakan sebagai dasar penetapan kalender Islam.
KHGT: Inisiatif Menyatukan Dua Pendekatan
Gagasan KHGT lahir sebagai respon atas kebutuhan mendesak untuk menyatukan kalender Islam secara global. Salah satu tokoh yang paling vokal adalah Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, astronom dari BRIN, yang menekankan pentingnya pendekatan ilmiah berbasis hisab global sebagai pijakan KHGT (Djamaluddin, 2018).
Namun, KHGT tidak serta-merta menafikan rukyat. Justru, pendekatan yang mulai diusulkan dalam forum-forum internasional seperti Muktamar Internasional Kalender Hijriah Global di Istanbul (2016) adalah menggabungkan antara hisab sebagai panduan dan rukyat sebagai verifikasi, sehingga terjadi rekonsiliasi metodologis antara tradisionalis dan modernis.
Mengapa Harus Disatukan?
Perbedaan kalender Islam antarnegara telah menimbulkan banyak konsekuensi sosial dan spiritual. Dari pelaksanaan ibadah haji yang tidak seragam di luar Arab Saudi, hingga umat Islam di satu negara merayakan Idul Fitri di hari yang berbeda. Persatuan kalender tidak hanya menyangkut aspek keagamaan, tapi juga menyentuh integrasi geopolitik umat Islam.
Lembaga seperti Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI) dan ICOP (Islamic Crescent Observation Project) telah merekomendasikan satu kalender hijriah internasional dengan kriteria ilmiah yang disepakati. Bahkan beberapa negara seperti Turki telah mengadopsi kalender Islam berbasis hisab secara nasional dan konsisten. Indonesia, dengan keunggulan ilmu falak dan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki posisi strategis untuk menjadi pelopor kompromi KHGT.
Kompromi Fikih: Jalan Tengah yang Mungkin
KHGT bukan sekadar inovasi teknis, tetapi menuntut ijtihad kolektif lintas mazhab dan negara. Dalam khazanah fikih Islam, dikenal prinsip raf’ul haraj (menghindari kesulitan), maslahah mursalah (kemaslahatan publik), dan taysir (kemudahan), yang semuanya mendukung penyatuan kalender sepanjang tidak melanggar nash secara eksplisit.
Seperti dikatakan Yusuf al-Qaradawi, “Jika perbedaan itu membawa kemudharatan, maka penyatuannya adalah bentuk maslahat yang perlu diupayakan.”
Lebih lanjut, Ahmad Syauqi Ibrahim, pakar fiqih dari Al-Azhar, menyatakan bahwa penggunaan hisab modern merupakan bentuk “ta’dil” (penyesuaian hukum) yang diperbolehkan dalam konteks perubahan zaman.
Menuju Masa Depan: Umat Islam Melihat Bulan yang Sama
Perdebatan antara rukyat dan hisab sejatinya adalah perdebatan antara cara, bukan tujuan. Tujuannya sama: melaksanakan ibadah sesuai syariat. Sudah saatnya umat Islam tidak lagi mempertentangkan dua pendekatan itu, tetapi memadukannya dalam satu sistem kalender yang bersifat ilmiah, inklusif, dan global.
KHGT adalah momentum untuk menyatukan metode, bukan mengalahkan salah satunya. Dengan KHGT, umat Islam tidak hanya bersatu dalam hati dan kiblat, tapi juga dalam kalender. Langit yang sama, bulan yang sama, dan hari raya yang sama—itulah cita-cita KHGT.
Daftar Pustaka
- Djamaluddin, Thomas. (2018). Kriteria Wujudul Hilal dan Penyatuan Kalender Islam. LAPAN.
- Majma’ al-Fiqh al-Islami. (2012). Keputusan tentang Kalender Islam Global. OKI.
- Yusuf al-Qaradawi. (2009). Fiqh al-Awlawiyyat. Beirut: Muassasah al-Risalah.
- Nawawi, Al-. Syarh Shahih Muslim, Juz 7.
- Ibrahim, Ahmad Syauqi. (2016). Fiqh al-Mu’ashir. Kairo: Dar al-Fikr.
- Muktamar Internasional Kalender Hijriah Global. Istanbul, Turki. 2016.
- ICOP (Islamic Crescents’ Observation Project). www.icoproject.org
- NASA – Moon Visibility Tools and Hilal Mapping.
- Hadis Shahih Bukhari dan Muslim terkait rukyat hilal.
Komentar
Posting Komentar