Bukan Sekadar Donasi: Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Korban Bencana?

Oleh: Lukmanul Hakim

Setiap kali bencana melanda—entah banjir, gempa bumi, atau kebakaran hutan—respon masyarakat Indonesia selalu cepat. Donasi dikumpulkan, bantuan dikirim, dan simpati dituangkan dalam berbagai bentuk. Ini adalah cerminan mulia dari solidaritas sosial yang masih hidup. Namun setelah euforia kepedulian mereda, muncul pertanyaan penting: apa sebenarnya yang paling dibutuhkan oleh para korban bencana? Apakah cukup dengan donasi uang dan sembako?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa bantuan instan seringkali tidak menjawab kebutuhan riil, bahkan dalam beberapa kasus justru menimbulkan tumpang tindih dan ketidakefisienan. Maka, sudah saatnya kita bergerak dari simpati sesaat ke empati berkelanjutan, dari aksi insidental ke strategi sistemik.

Donasi: Penting Tapi Tak Cukup

Dalam Islam, memberi bantuan kepada yang membutuhkan adalah bagian dari ajaran iman. Rasulullah SAW bersabda:

"Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, Allah akan membantu kebutuhannya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Namun donasi baru berdampak besar jika dikelola dengan sistem yang adil, tepat sasaran, dan berorientasi jangka panjang. Tanpa koordinasi, bantuan bisa menumpuk di satu lokasi sementara lokasi lain terabaikan. Laporan Humanitarian Response Plan Indonesia 2023 oleh OCHA mencatat lemahnya sistem koordinasi antarlembaga dan kurangnya pemetaan kebutuhan berbasis data di beberapa daerah terdampak.

Kebutuhan Nyata: Dari Fisik ke Psikososial

Ketika bencana terjadi, kebutuhan awal yang paling nyata adalah makanan, air bersih, selimut, obat-obatan, dan tempat tinggal darurat. Tapi itu hanyalah lapisan luar dari kebutuhan korban. Dalam kenyataannya, para penyintas bencana juga menghadapi trauma mendalam, ketidakpastian masa depan, kehilangan rasa aman, dan disintegrasi sosial.

Studi UNICEF Indonesia (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami bencana tanpa dukungan psikososial memiliki risiko tinggi terhadap gangguan perkembangan emosi, stres berkepanjangan, hingga PTSD. Hal serupa juga dialami oleh ibu-ibu yang kehilangan anggota keluarga, atau lansia yang kehilangan rumah dan komunitas sosialnya.

Namun sayangnya, layanan pendampingan psikologis dan pemulihan sosial-komunal masih sangat terbatas. Sebagian besar bantuan hanya fokus pada logistik fisik, sementara pemulihan batin dan sosial masih dianggap sekunder. Padahal, kesehatan mental adalah fondasi dari ketahanan hidup. Tanpa dukungan psikologis yang memadai, para korban rentan terjebak dalam keputusasaan yang berkepanjangan.

Tak hanya itu, banyak korban juga menghadapi persoalan hukum dan administratif: kehilangan dokumen identitas, surat tanah, ijazah, dan lainnya. Ini membuat mereka terpinggirkan secara birokratis—tidak bisa mengakses bantuan sosial, pendidikan, atau layanan kesehatan.

Untuk itu, kebutuhan korban bencana harus dipenuhi secara multidimensi, meliputi:

  1. Fisik: makanan, air bersih, pakaian, tempat tinggal, sanitasi.
  2. Psikologis: layanan konseling, trauma healing, ruang aman untuk anak dan perempuan.
  3. Sosial-komunal: pemulihan hubungan sosial, pendidikan darurat, ruang ibadah.
  4. Ekonomi: pelatihan keterampilan, bantuan usaha mikro, pemulihan mata pencaharian.
  5. Legal-administratif: dokumen kependudukan, surat kepemilikan, advokasi hukum.

Pendekatan ini menuntut adanya kolaborasi antarsektor: pemerintah, masyarakat sipil, lembaga keagamaan, media, dan dunia usaha.

Peran Masyarakat: Dari Simpati ke Empati

Simpati adalah reaksi spontan, sedangkan empati adalah keterlibatan sadar dan berkelanjutan. Banyak masyarakat berlomba-lomba menyumbang pada hari-hari pertama bencana, tetapi perlahan melupakan nasib para korban yang harus bertahan hidup berbulan-bulan setelahnya di pengungsian.

Komnas Perempuan (2020) menyoroti tingginya risiko kekerasan berbasis gender di lokasi pengungsian akibat minimnya pengawasan dan fasilitas layak. Hal ini menunjukkan bahwa respons kemanusiaan harus berorientasi jangka panjang dan berkeadilan, bukan sekadar aksi reaktif.

Masyarakat harus diajak untuk membangun “budaya kemanusiaan” yang terstruktur—bukan sekadar tergugah oleh tayangan media, tetapi terlibat dalam proses pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi sosial. Ulama, guru, relawan, dan pendidik harus menjadi bagian dari proses ini.

Dari Amal ke Arah Pemulihan Bermartabat

Dalam Islam, amal terbaik adalah yang dilakukan secara terus-menerus dan berdampak. Sebagaimana sabda Nabi:

"Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan terus-menerus walaupun sedikit."
(HR. Bukhari)

Maka, bantuan kepada korban bencana seharusnya tidak berhenti pada serah-terima logistik. Bantuan itu harus menegakkan martabat kemanusiaan, memastikan para penyintas mampu membangun kembali hidupnya dengan rasa percaya diri dan harapan baru.

Sebagaimana ditegaskan oleh KH. Sahal Mahfudh dalam Fiqh Sosial (2004), bantuan sosial tidak boleh menjadikan penerima sebagai objek pasif, tetapi harus mendorongnya menjadi subjek aktif dalam pemulihan.

Penutup: Solidaritas yang Memulihkan, Bukan Mengasihani

Bencana adalah ujian bagi kita semua, bukan hanya bagi mereka yang menjadi korban. Ia menguji rasa keadilan, kesetiakawanan, dan kesungguhan kita dalam menolong sesama. Maka mari kita pastikan bahwa bantuan yang kita berikan bukan sekadar bentuk belas kasihan sesaat, tapi wujud dari tanggung jawab moral dan spiritual untuk memulihkan hidup orang lain secara utuh.

Karena sesungguhnya, yang paling dibutuhkan korban bukan hanya roti dan obat, tapi juga rasa aman, pengakuan martabat, dan harapan bahwa dunia ini masih layak diperjuangkan.

Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’anul Karim dan Hadis Nabi (HR. Bukhari dan Muslim)
  2. OCHA-UN. (2023). Humanitarian Response Plan Indonesia
  3. UNICEF Indonesia. (2023). Child Protection and Psychosocial Support in Disaster Settings
  4. IFRC. (2022). Indonesia Country Report: Psychosocial Support in Emergencies
  5. BNPB & Kementerian PUPR. (2022). Pedoman Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana
  6. Komnas Perempuan. (2020). Risiko Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Pengungsian
  7. Sahal Mahfudh. (2004). Fiqh Sosial: Percikan Pemikiran Islam. Yogyakarta: LKiS
  8. Republika.co.id. (2023). “Bantuan Harus Bermanfaat Jangka Panjang”
  9. Tempo.co. (2024). “Donasi Menumpuk, Korban Tak Terlayani”
  10. Tirto.id. (2022). “Korban Bencana dan Trauma yang Terabaikan”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa