Bencana Adalah Ujian, Tapi Ketimpangan Adalah Pilihan: Krisis Sosial di Tengah Bencana Alam

Oleh: Lukmanul Hakim

Bencana alam memang tak bisa kita tolak, tetapi dampak yang ditimbulkannya sering kali memperlihatkan satu kenyataan pahit: yang paling menderita adalah mereka yang paling miskin, paling lemah, dan paling terpinggirkan. Maka dari itu, ketika alam mengamuk, pertanyaannya bukan hanya “seberapa besar kerusakan yang terjadi?” melainkan “siapa yang paling kehilangan?”

Bencana adalah ujian dari Tuhan. Namun, ketimpangan yang membuat sebagian orang jauh lebih rentan dari yang lain adalah hasil dari keputusan kolektif: pilihan kebijakan, pilihan pembangunan, dan pilihan untuk abai terhadap keadilan sosial.


Ketika Alam Menggugat: Siapa yang Paling Terluka?

Setiap bencana, dari gempa bumi hingga banjir dan longsor, memiliki kecenderungan memperparah struktur ketimpangan sosial yang sudah ada. Mereka yang tinggal di lereng gunung, bantaran sungai, atau rumah tidak layak huni adalah pihak pertama yang terkena dampaknya. Dalam laporan UNDP Indonesia (2023), disebutkan bahwa kelompok miskin 4 kali lebih rentan terdampak bencana dibanding kelompok menengah ke atas.

Data dari BNPB (2022) juga menunjukkan bahwa mayoritas korban bencana di Indonesia berasal dari kelompok ekonomi bawah—mereka yang tidak memiliki akses informasi dini, asuransi rumah, dana darurat, atau jaringan sosial yang kuat. Di sisi lain, mereka yang berada di kelas atas relatif lebih aman: tinggal di kawasan bebas risiko, memiliki kendaraan pribadi untuk evakuasi, dan mampu menyewa tenaga profesional pasca-bencana.


Ujian Ilahi atau Realitas Sosial?

Dalam Islam, bencana memang dipahami sebagai bagian dari ibtila’ (ujian), sebagaimana dalam Al-Qur’an:

“Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)

Namun, ujian yang dimaksud dalam ayat ini adalah ujian keimanan dan kesabaran—bukan pembenaran terhadap ketimpangan struktural. Sebab jika kita membiarkan kelompok tertentu terus-menerus menjadi korban, itu bukan lagi ujian dari Tuhan, melainkan konsekuensi dari kelalaian manusia dan ketidakadilan sosial.

KH. Sahal Mahfudh dalam Fiqh Sosial menegaskan bahwa agama harus hadir dalam mengoreksi struktur yang timpang, bukan sekadar menjadi obat penenang. Oleh karena itu, tanggung jawab kita bukan hanya menyantuni korban bencana, tetapi membongkar akar ketimpangan yang membuat mereka terus menjadi korban.


Bencana dan Ketimpangan Gender, Disabilitas, dan Anak

Bukan hanya kelompok miskin yang paling terdampak. Perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas sering kali menghadapi risiko yang lebih besar dalam situasi bencana. Menurut laporan Komnas Perempuan (2020), perempuan pengungsi rentan mengalami kekerasan, kehilangan akses sanitasi yang aman, dan tersisih dari proses pengambilan keputusan pemulihan pasca-bencana.

Demikian pula penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan informasi evakuasi yang aksesibel, atau anak-anak yang kehilangan akses pendidikan dalam jangka panjang. Hal ini diperkuat oleh riset Save The Children (2023) yang menunjukkan bahwa banyak anak korban bencana mengalami learning loss permanen akibat tidak adanya layanan pendidikan darurat.

Artinya, ketimpangan dalam konteks bencana bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga menyangkut gender, usia, kemampuan fisik, dan status sosial.


Saatnya Membangun Ketangguhan yang Inklusif

Menanggulangi dampak bencana tidak bisa hanya dengan pendekatan teknis seperti membangun tanggul atau menyalurkan bantuan. Harus ada reformasi struktural yang menempatkan keadilan sosial sebagai inti dari mitigasi dan adaptasi bencana.

Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menyusun kebijakan zonasi berbasis keadilan, agar masyarakat miskin tidak terus-menerus dipaksa tinggal di kawasan rawan.
  • Memperluas sistem perlindungan sosial adaptif (adaptive social protection), seperti bantuan tunai pasca-bencana yang inklusif.
  • Mewajibkan partisipasi kelompok rentan dalam perencanaan dan simulasi kebencanaan.
  • Mendorong anggaran responsif bencana berbasis gender dan disabilitas di tingkat lokal.
  • Meningkatkan edukasi masyarakat berbasis komunitas dan kearifan lokal.

Dalam konteks Islam, langkah ini sejalan dengan nilai ‘adl (keadilan) dan maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum). Karena sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah, “keadilan adalah fondasi utama tegaknya negara dan keberkahan kehidupan sosial.”


Penutup: Dari Ujian ke Kesadaran Sosial

Bencana mungkin datang sebagai ujian, tapi respons kita terhadapnya mencerminkan siapa kita sebenarnya. Apakah kita akan membiarkan ketimpangan terus menjadi takdir, ataukah kita akan memilih jalan kesadaran sosial dan keadilan ekologis?

Bencana bisa menyatukan manusia dalam derita yang sama. Tapi hanya komitmen terhadap keadilan yang bisa menyelamatkan kita dari derita yang berulang.


Daftar Pustaka

  1. Al-Qur’anul Karim: QS. Al-Baqarah: 155, QS. Ar-Rum: 41
  2. Hadis Nabi SAW
  3. Sahal Mahfudh. (2004). Fiqh Sosial: Percikan Pemikiran Islam. Yogyakarta: LKiS
  4. UNDP Indonesia. (2023). Disaster Risk and Inequality Report
  5. BNPB. (2022). Data Korban dan Kerentanan Bencana Alam Nasional
  6. Komnas Perempuan. (2020). Risiko Gender dalam Situasi Bencana
  7. Save the Children. (2023). Children in Crisis: Indonesia Emergency Report
  8. Ibnu Taimiyah. (2020). As-Siyasah Asy-Syar’iyyah
  9. Tempo.co. (2024). “Ketimpangan dalam Bencana: Siapa yang Selalu Jadi Korban?”
  10. Tirto.id. (2023). “Mengapa Korban Bencana Selalu Masyarakat Miskin?”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa