Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2025

Belajar Demokrasi dari Jalanan

Oleh: Lukmanul Hakim Hak Konstitusional yang Terabaikan Demonstrasi adalah wajah paling nyata dari demokrasi. Ia bukan sekadar kerumunan massa, melainkan instrumen konstitusional rakyat untuk mengoreksi jalannya kekuasaan. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menjamin: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Namun, praktik di lapangan sering kali bertolak belakang. Hak rakyat diperlakukan seolah ancaman bagi stabilitas, bukan bagian sah dari demokrasi. Aksi terbaru terhadap DPR memperlihatkan paradoks itu dengan gamblang. Sejak awal, massa bergerak dengan tertib dan terukur. Tetapi publik mencatat: tak ada satu pun anggota legislatif yang turun ke jalan mendengarkan aspirasi. Diamnya DPR menjadi bukti lemahnya komitmen representasi. Huntington dan Nelson (1976) dalam No Easy Choice menegaskan, partisipasi rakyat hanya bermakna jika kanal representatif terbuka. Bila pintu itu ditutup, protes kehilangan legitimasi formal dan rakyat ...

Alam, Iman, dan Tanggung Jawab: Perspektif Islam dalam Pelestarian Lingkungan

Oleh: Lukmanul Hakim Di tengah krisis ekologis global, Islam menawarkan panduan komprehensif mengenai hubungan manusia dengan alam. Ajaran Islam menekankan bahwa bumi adalah amanah dari Allah, yang harus dijaga dan dilestarikan oleh umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Artikel ini akan mengulas prinsip-prinsip ekologis dalam Islam dan bagaimana umat Muslim dapat berperan aktif dalam pelestarian lingkungan. 🌍 Tauhid dan Keharmonisan Alam Prinsip tauhid (keesaan Tuhan) dalam Islam menekankan bahwa seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah yang harus dihormati dan dijaga. Segala bentuk kerusakan terhadap alam dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Al-Qur'an menyatakan bahwa segala sesuatu di bumi adalah ciptaan-Nya dan harus dipelihara dengan baik. Sebagai contoh, dalam Surah Al-Baqarah ayat 164, Allah berfirman: اِنَّ فِيْ خَلْ قِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّا...

Melihat Tuhan Melalui Tiga Lensa: Peran Syariat, Hakikat, dan Makrifat dalam Kehidupan Seorang Muslim

Oleh: Lukmanul Hakim Dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, tiga konsep utama sering kali disebutkan: syariat , hakikat , dan makrifat . Masing-masing memiliki kedudukan yang penting dalam membentuk pandangan hidup yang sejati. Namun, banyak dari kita yang hanya terfokus pada salah satunya tanpa menyadari pentingnya ketiganya dalam mencapai pemahaman yang holistik mengenai Tuhan. Artikel ini akan mengulas bagaimana ketiga lensa ini bekerja bersama untuk membuka jalan menuju pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan, kehidupan, dan diri kita sendiri. Syariat: Landasan Praktis Kehidupan Muslim Syariat, dalam konteks agama Islam, sering kali dipahami sebagai aturan atau hukum yang mengatur kehidupan sehari-hari umat Islam. Dalam pengertian sederhana, syariat mencakup hukum-hukum yang harus diikuti oleh seorang muslim dalam aspek ibadah, akhlak, dan interaksi sosial. Melalui syariat, kita diajarkan cara beribadah dengan benar, cara berinteraksi dengan sesama, serta bagaimana menjunju...

APA DAN MENGAPA GENOLINGUISTIK?: Sebuah Tinjauan Kritis terhadap Gagasan Prof. Dr. Mahsun, M.S.

  Oleh: Lukmanul Hakim Pendahuluan Dalam beberapa dekade terakhir, studi interdisipliner berkembang pesat untuk menjawab persoalan kompleks tentang asal-usul, keragaman, dan perjalanan umat manusia. Salah satu bidang yang mulai dilirik adalah genolinguistik, yakni kajian yang menggabungkan ilmu linguistik dan genetika dalam menelusuri sejarah populasi manusia. Prof. Dr. Mahsun, M.S. menegaskan bahwa genolinguistik berupaya menjelaskan pengelompokan dan persebaran populasi manusia dengan bertumpu pada dua hal: bahasa sebagai identitas kultural, dan gen sebagai penanda biologis yang diwariskan antargenerasi. Esai ini bertujuan untuk memberikan penjelasan kritis atas gagasan tersebut, sekaligus menghadirkan contoh konkret penelitian genolinguistik, khususnya terkait konteks Nusantara dan dunia Austronesia. Pembahasan 1. Potensi Genolinguistik Kekuatan utama genolinguistik terletak pada kemampuannya mengintegrasikan dua jenis data: Linguistik: kekerabatan bahasa, difusi kosakata, ser...

Suara Burung Dikenakan Royalti? Perlukah Revisi Konsep Fonogram?

Oleh: Lukmanul Hakim Isu royalti musik kembali menjadi perbincangan publik. Bukan semata soal tarif untuk pemakaian lagu di kafe, restoran, atau hotel, melainkan karena kabar mengejutkan: rekaman suara burung yang diputar di ruang publik pun bisa dikenakan royalti . Hal ini disampaikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam sosialisasi terkait Performing Rights baru-baru ini (Radar Sampit, 19/8/2025). Pertanyaannya, apakah fenomena ini sekadar salah paham, atau justru ada problem mendasar dalam konsep fonogram sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta? Antara Fonogram dan Musik: Sebuah Distingsi yang Kabur Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, fonogram didefinisikan sebagai “ fiksasi suara dari suatu pertunjukan atau suara lain, atau representasi suara, yang selain merupakan bagian dari sinematografi atau karya audiovisual .” Definisi ini cukup luas: bukan hanya suara musik, tetapi juga “suara lain” yang difiksasi. Di si...

Menyoal Pemberian Gelar Khatmul Aulia kepada Figur Tanpa Sanad Keilmuan

Oleh: Lukmanul Hakim Pendahuluan Istilah Khatmul Aulia atau “pamungkas para wali” merupakan salah satu konsep yang paling misterius dan penuh perdebatan dalam khazanah tasawuf. Beberapa tokoh sufi klasik seperti al-Hakim al-Tirmidzi dan Ibn ‘Arabi pernah membahas konsep ini dalam karya monumental mereka, meski dengan penafsiran yang berbeda. Al-Hakim al-Tirmidzi (w. 932 M) dalam Khatm al-Awlia menempatkan khatm sebagai figur spiritual yang menutup deretan kewalian, sejajar dengan posisi khatm al-anbiya (penutup para nabi) yang dipegang Nabi Muhammad SAW. Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dalam al-Futuhat al-Makkiyyah menyebutkan bahwa khatm adalah figur rahasia yang diketahui hanya oleh kalangan tertentu. Namun, klaim-klaim belakangan mengenai adanya individu yang menyandang gelar Khatmul Auliya tanpa sanad keilmuan dan spiritual yang jelas menimbulkan polemik serius. Esai ini akan menyanggah pemberian gelar tersebut dengan menekankan pentingnya sanad, bahaya kultus individu, dan risiko...

Ijma dan Qiyas di Era Digital: Masihkah Relevan?

Oleh: Lukmanul Hakim Pendahuluan Perkembangan teknologi yang begitu cepat—mulai dari artificial intelligence (AI), metaverse, hingga fintech syariah—telah melahirkan beragam persoalan hukum baru. Pertanyaan pun muncul: masih relevankah konsep klasik seperti ijma (konsensus ulama) dan qiyas (analogi hukum) untuk menjawab tantangan kontemporer? Atau justru kita membutuhkan metodologi baru dalam penetapan hukum Islam? Tulisan ini berusaha menegaskan bahwa ijma dan qiyas tetap relevan, bahkan sangat urgen, meski harus diperkaya dengan pendekatan maqasid syariah dan sensitivitas terhadap konteks zaman. Dasar Normatif: Ijma dan Qiyas dalam Sejarah Fiqh Sejak awal, para ulama ushul fiqh menegaskan bahwa selain Al-Qur’an dan Sunnah, ada perangkat penting dalam menetapkan hukum: ijma dan qiyas . Imam al-Syafi‘i dalam al-Risalah menulis, “Tidak ada yang boleh berkata tentang sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu, dan jalan menuju ilmu adalah melalui Kitab Allah, Sunnah Rasu...

Membongkar Mafia Sitasi: Ancaman bagi Integritas Akademik

Oleh: Lukmanul Hakim Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi digital membawa perubahan signifikan dalam dunia akademik. Salah satunya adalah kehadiran Google Scholar , sebuah platform yang menyediakan akses mudah terhadap publikasi ilmiah sekaligus menampilkan indikator kinerja akademisi, seperti jumlah sitasi dan indeks-H. Angka-angka ini kemudian sering dijadikan ukuran prestasi, baik dalam penilaian kinerja dosen, akreditasi program studi, maupun peringkat universitas. Namun, ketergantungan berlebihan terhadap metrik kuantitatif tersebut melahirkan praktik curang yang mengkhawatirkan, dikenal sebagai mafia sitasi . Praktik ini merujuk pada manipulasi sitasi secara sistematis dengan tujuan meningkatkan reputasi ilmiah secara semu. Modusnya beragam: mulai dari membentuk kelompok sitasi silang ( citation cartel ), memproduksi artikel-artikel “sampah” penuh sitasi tidak relevan, hingga menerbitkan jurnal abal-abal yang hanya berfungsi sebagai mesin sitasi (Franck, 1999; Fong...