Suara Burung Dikenakan Royalti? Perlukah Revisi Konsep Fonogram?
Oleh: Lukmanul Hakim
Isu royalti musik kembali menjadi perbincangan publik. Bukan semata soal tarif untuk pemakaian lagu di kafe, restoran, atau hotel, melainkan karena kabar mengejutkan: rekaman suara burung yang diputar di ruang publik pun bisa dikenakan royalti. Hal ini disampaikan oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam sosialisasi terkait Performing Rights baru-baru ini (Radar Sampit, 19/8/2025).
Pertanyaannya, apakah fenomena ini sekadar salah paham, atau justru ada problem mendasar dalam konsep fonogram sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta?
Antara Fonogram dan Musik: Sebuah Distingsi yang Kabur
Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, fonogram didefinisikan sebagai “fiksasi suara dari suatu pertunjukan atau suara lain, atau representasi suara, yang selain merupakan bagian dari sinematografi atau karya audiovisual.” Definisi ini cukup luas: bukan hanya suara musik, tetapi juga “suara lain” yang difiksasi.
Di sinilah problem bermula. Jika rekaman kicau burung termasuk “suara lain” yang dilindungi, ketika diputar di ruang publik, pengguna wajib membayar royalti. Namun, publik bertanya: apakah adil jika suara alam diperlakukan sama dengan musik ciptaan manusia? Bukankah ada perbedaan esensial antara karya kreatif (lagu, musik) dengan suara alami yang direkam?
Perspektif Etis dan Filosofis
Isu ini menyentuh ranah etika. Karya seni diciptakan melalui daya cipta manusia; ia memerlukan kreativitas, waktu, dan usaha intelektual. Sebaliknya, suara burung merupakan ciptaan alam, meskipun proses perekaman, pengeditan, dan pengemasan tentu tetap melibatkan keterampilan manusia.
Maka, yang seharusnya dilindungi adalah rekayasa manusia dalam proses perekaman dan distribusi, bukan “suara burung” itu sendiri. Jika tidak ada distingsi tegas, aturan royalti akan mudah disalahpahami dan bahkan disalahgunakan. Hal ini dapat menimbulkan keresahan di kalangan pelaku usaha kecil yang sering menggunakan suara alam sebagai ornamen suasana di tempat usaha mereka.
Dampak bagi UMKM dan Industri Kreatif
Isu ini juga menyentuh sektor UMKM. Sebagaimana ramai diberitakan dalam kasus “Mie Gacoan” beberapa waktu lalu, tarif royalti musik bagi usaha kuliner menimbulkan perdebatan publik (Radar Kudus, 10/8/2025). Jika suara burung pun dikenai royalti, persepsi publik bahwa aturan LMKN hanya menjadi “pungutan tambahan” akan semakin menguat.
Padahal, hakikat royalti adalah memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta karya. Jika konsep fonogram diperluas tanpa batas yang jelas, LMKN berisiko kehilangan legitimasi sosial. Industri musik yang seharusnya mendapatkan dukungan, justru bisa mengalami resistensi dari publik karena dianggap terlalu membebani.
Saatnya Revisi atau Penegasan Hukum
Untuk mencegah salah tafsir, pemerintah perlu menegaskan kembali batasan fonogram. Revisi Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 27/2025 yang mengatur teknis distribusi royalti bisa menjadi momentum. Apakah “suara lain” dalam definisi fonogram mencakup suara burung, ataukah hanya terbatas pada karya rekaman dengan nilai tambah kreatif signifikan?
Selain itu, LMKN perlu lebih proaktif memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak muncul persepsi keliru. Transparansi dan sosialisasi yang jelas akan menghindarkan publik dari rasa terintimidasi oleh istilah hukum yang rumit.
Penutup
Royalti adalah instrumen keadilan bagi para pencipta. Namun, penerapan yang kabur justru berpotensi menimbulkan antipati. Suara burung seharusnya tidak berada pada posisi yang sama dengan musik ciptaan manusia. Yang perlu dilindungi adalah proses kreatif rekaman dan pengemasannya, bukan suara alam itu sendiri.
Di sinilah pentingnya LMKN dan pembuat regulasi untuk kembali menimbang: apakah aturan yang ada sudah mencerminkan semangat keadilan, atau malah menjauh dari rasionalitas hukum? Jika tidak segera diklarifikasi, royalti bisa berubah dari instrumen penghargaan menjadi beban yang memicu resistensi sosial.
📚 Referensi:
- Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
- Radar Sampit, “Cegah Salah Persepsi, LMKN Beber Aturan Royalti untuk Suara Burung” (19 Agustus 2025).
- Radar Kudus, “Ramai Kasus Mie Gacoan, Tarif Royalti Musik untuk UMKM Bakal Dirombak” (10 Agustus 2025).
Komentar
Posting Komentar