Membongkar Mafia Sitasi: Ancaman bagi Integritas Akademik
Oleh: Lukmanul Hakim
Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi digital membawa perubahan signifikan dalam dunia akademik. Salah satunya adalah kehadiran Google Scholar, sebuah platform yang menyediakan akses mudah terhadap publikasi ilmiah sekaligus menampilkan indikator kinerja akademisi, seperti jumlah sitasi dan indeks-H. Angka-angka ini kemudian sering dijadikan ukuran prestasi, baik dalam penilaian kinerja dosen, akreditasi program studi, maupun peringkat universitas.
Namun, ketergantungan berlebihan terhadap metrik kuantitatif tersebut melahirkan praktik curang yang mengkhawatirkan, dikenal sebagai mafia sitasi. Praktik ini merujuk pada manipulasi sitasi secara sistematis dengan tujuan meningkatkan reputasi ilmiah secara semu. Modusnya beragam: mulai dari membentuk kelompok sitasi silang (citation cartel), memproduksi artikel-artikel “sampah” penuh sitasi tidak relevan, hingga menerbitkan jurnal abal-abal yang hanya berfungsi sebagai mesin sitasi (Franck, 1999; Fong & Wilhite, 2017).
Fenomena ini bukan hanya masalah teknis, melainkan problem etika serius. Ilmu pengetahuan seharusnya bertumpu pada kualitas, kontribusi, dan integritas, bukan angka semata. Jika kecenderungan ini dibiarkan, publik akan makin sulit membedakan mana ilmuwan yang benar-benar berprestasi dan mana yang sekadar lihai memoles profil digitalnya. Dalam jangka panjang, kepercayaan masyarakat terhadap dunia akademik bisa terkikis (Fanelli, 2018).
Beberapa faktor turut mendorong suburnya praktik ini. Pertama, tekanan institusional: dosen dan peneliti seringkali dibebani target sitasi demi kenaikan jabatan akademik atau pencapaian akreditasi (Moed, 2017). Kedua, kebijakan peringkat universitas yang menjadikan sitasi sebagai indikator utama turut mempersempit makna kualitas penelitian. Ketiga, minimnya literasi etika publikasi di kalangan akademisi menjadikan manipulasi sitasi dianggap hal biasa, bahkan seolah dilegalkan.
Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh. Pertama, evaluasi akademik harus lebih holistik, tidak hanya berpatokan pada jumlah sitasi, melainkan juga menilai originalitas, relevansi, dan dampak sosial penelitian. Kedua, regulasi publikasi ilmiah perlu diperketat, misalnya dengan mendorong penggunaan plagiarism checker dan citation analysis yang lebih canggih. Ketiga, komunitas akademik harus memperkuat etos ilmiah dengan menegakkan budaya saling mengingatkan serta memberikan sanksi sosial kepada pelaku manipulasi.
Ilmu pengetahuan sejatinya adalah jalan panjang menuju kebenaran, bukan panggung untuk menampilkan angka-angka semu. Mafia sitasi mungkin berhasil menciptakan bintang akademik instan, tetapi ia akan meninggalkan kerusakan mendalam bagi ekosistem ilmu pengetahuan. Karena itu, membongkar dan melawan praktik ini adalah tanggung jawab bersama, demi menjaga martabat dunia akademik dan masa depan sains yang lebih berintegritas.
Referensi
- Fanelli, D. (2018). Opinion: Is science really facing a reproducibility crisis, and do we need it to?. Proceedings of the National Academy of Sciences, 115(11), 2628–2631.
- Fong, E. A., & Wilhite, A. W. (2017). Authorship and citation manipulation in academic research. PLoS ONE, 12(12), e0187394.
- Franck, G. (1999). Scientific communication—a vanity fair? Science, 286(5437), 53–55.
- Moed, H. F. (2017). Applied evaluative informetrics. Springer.
Komentar
Posting Komentar