Ijma dan Qiyas di Era Digital: Masihkah Relevan?
Oleh: Lukmanul Hakim
Pendahuluan
Perkembangan teknologi yang begitu cepat—mulai dari artificial intelligence (AI), metaverse, hingga fintech syariah—telah melahirkan beragam persoalan hukum baru. Pertanyaan pun muncul: masih relevankah konsep klasik seperti ijma (konsensus ulama) dan qiyas (analogi hukum) untuk menjawab tantangan kontemporer? Atau justru kita membutuhkan metodologi baru dalam penetapan hukum Islam?
Tulisan ini berusaha menegaskan bahwa ijma dan qiyas tetap relevan, bahkan sangat urgen, meski harus diperkaya dengan pendekatan maqasid syariah dan sensitivitas terhadap konteks zaman.
Dasar Normatif: Ijma dan Qiyas dalam Sejarah Fiqh
Sejak awal, para ulama ushul fiqh menegaskan bahwa selain Al-Qur’an dan Sunnah, ada perangkat penting dalam menetapkan hukum: ijma dan qiyas. Imam al-Syafi‘i dalam al-Risalah menulis, “Tidak ada yang boleh berkata tentang sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu, dan jalan menuju ilmu adalah melalui Kitab Allah, Sunnah Rasul, Ijma, dan Qiyas.”
Al-Ghazali dalam al-Mustashfa juga menegaskan bahwa qiyas adalah sarana menghubungkan hukum baru dengan hukum lama berdasarkan ‘illat (alasan hukum). Tanpa itu, fiqh akan kaku dan sulit menjawab problem kehidupan. Ibn Hazm, meski mengkritik qiyas dalam al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, tetap mengakui peran ijma sebagai landasan kokoh kesepakatan umat.
Dengan kata lain, sejak abad-abad awal Islam, ijma dan qiyas telah menjadi instrumen vital dalam penetapan hukum.
Kritik dan Relevansi di Era Modern
Memasuki era modern, sebagian kalangan mempertanyakan relevansi ijma dan qiyas. Mereka menilai, di era globalisasi dan digitalisasi, sulit membayangkan terjadinya ijma global. Siapa yang berhak mewakili “konsensus” umat Islam? Ulama di Mesir, Indonesia, atau Arab Saudi? Apalagi, otoritas keagamaan kini sangat terfragmentasi.
Meski demikian, ijma tetap relevan sebagai ideal kolektif yang menjaga stabilitas hukum Islam. Kita melihat contohnya pada fatwa MUI tentang haramnya riba yang sejalan dengan keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami di Jeddah. Konsensus semacam ini, meskipun tidak selalu sempurna, menunjukkan bahwa ijma masih hidup.
Adapun qiyas, justru makin penting di era modern. Ia memungkinkan para fuqaha melakukan analogi hukum atas persoalan baru. Misalnya, larangan minuman beralkohol di-qiyas-kan terhadap narkoba karena sama-sama memabukkan. Dengan cara serupa, ulama kini berusaha meng-qiyas-kan transaksi digital dengan akad-akad klasik, agar sesuai dengan prinsip syariah.
Kasus Kontemporer: AI, Metaverse, dan Fintech Syariah
-
Artificial Intelligence (AI)
Muncul pertanyaan: apakah penggunaan AI dalam pembuatan fatwa sahih secara syariah? Sebagian ulama, seperti Zulkifli Hasan (IAIS Malaysia, 2021), menilai AI hanya bisa membantu, bukan menggantikan otoritas mujtahid. AI bisa digunakan sebagai alat bantu qiyas dengan menyajikan data hukum terdahulu. Namun keputusan hukum tetap ada pada ulama yang memahami maqasid syariah. -
Metaverse dan Transaksi Virtual
Bagaimana hukum jual beli tanah virtual di metaverse? Apakah sama dengan bai’ dalam fiqh klasik? Sebagian ulama berpendapat, transaksi digital bisa di-qiyas-kan dengan akad bai’ al-ma’dum (jual beli barang yang belum ada), yang pada umumnya dilarang. Namun jika objeknya jelas, hak kepemilikan diakui, dan tidak mengandung gharar berlebihan, transaksi tersebut bisa masuk kategori al-‘urf al-jadid (kebiasaan baru) yang diakui hukum Islam. -
Fintech Syariah
Dalam kasus fintech syariah, seperti peer-to-peer lending atau e-wallet halal, qiyas banyak digunakan. Contoh, akad qardh hasan (pinjaman tanpa bunga) di-qiyas-kan dengan sistem pinjaman online berbasis syariah. Sementara akad wakalah dan mudharabah digunakan untuk menjelaskan skema investasi digital. Dengan begitu, qiyas membantu menyesuaikan praktik finansial modern dengan prinsip-prinsip klasik syariah.
Maqasid Syariah sebagai Penguat
Meski ijma dan qiyas relevan, ada kebutuhan mendesak untuk memasukkan perspektif maqasid syariah (tujuan hukum Islam). Jasser Auda (2008) menyebutkan, maqasid harus menjadi lensa sistemik dalam memahami hukum, sehingga penetapan hukum tidak hanya legal-formal, tetapi juga substantif.
Dalam konteks AI, metaverse, dan fintech, maqasid membantu menjawab pertanyaan: apakah teknologi ini membawa maslahat atau mudarat? Jika membawa keadilan, kemudahan, dan perlindungan terhadap manusia, ia sejalan dengan maqasid. Jika sebaliknya, harus dibatasi.
Penutup
Ijma dan qiyas bukanlah konsep usang yang terjebak di masa lalu. Justru keduanya adalah instrumen dinamis yang memungkinkan hukum Islam terus hidup dan relevan sepanjang zaman. Tantangannya adalah bagaimana kita mempraktikkannya secara kreatif, dengan tetap berakar pada tradisi, sekaligus terbuka pada realitas baru.
Dengan demikian, di era AI, metaverse, dan fintech syariah, umat Islam tidak perlu gamang. Selama ijma, qiyas, dan maqasid syariah menjadi pedoman, maka hukum Islam akan tetap hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid. al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
al-Syafi‘i, Muhammad ibn Idris. al-Risalah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.
Ibn Hazm, Ali ibn Ahmad. al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1980.
Ibn Qudamah, Abdullah. Rawdhat al-Nazir wa Junnat al-Munazir. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1981.
Auda, Jasser. Maqasid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach. London: IIIT, 2008.
Antonio, Muhammad Syafii. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Bakar, Osman. Islam and the Challenge of Modern Science. Kuala Lumpur: ISTAC, 2019.
Aziz, Muhammad Noor & Rahman, Fadilah. “Islamic Fintech: Shariah Compliance in Peer-to-Peer Lending and E-Wallets.” Journal of Islamic Finance, Vol. 9, No. 2 (2022).
Hasan, Zulkifli. “Artificial Intelligence and Fatwa-Making: A Contemporary Discourse.” IAIS Malaysia Policy Papers, No. 5 (2021).
Kusnandar, Bambang. “Fatwa dan Fiqh di Era Metaverse: Tantangan dan Peluang.” Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 54, No. 1 (2023).
Lahsasna, Ahcene. Shariah and Artificial Intelligence: Opportunities and Challenges. Kuala Lumpur: ISRA, 2020.
Rahman, Adnan Abdul. “Cryptocurrency and Islamic Finance: Between Prohibition and Adaptation.” Islamic Economic Studies, Vol. 29, No. 1 (2021).
Syafruddin, Ahmad. “Fatwa Digital, Otoritas Ulama, dan Tantangan Era AI.” Jurnal Ushuluddin, Vol. 31, No. 2 (2023).
Komentar
Posting Komentar