Menyoal Pemberian Gelar Khatmul Aulia kepada Figur Tanpa Sanad Keilmuan
Oleh: Lukmanul Hakim
Pendahuluan
Istilah Khatmul Aulia atau “pamungkas para wali” merupakan salah satu konsep yang paling misterius dan penuh perdebatan dalam khazanah tasawuf. Beberapa tokoh sufi klasik seperti al-Hakim al-Tirmidzi dan Ibn ‘Arabi pernah membahas konsep ini dalam karya monumental mereka, meski dengan penafsiran yang berbeda. Al-Hakim al-Tirmidzi (w. 932 M) dalam Khatm al-Awlia menempatkan khatm sebagai figur spiritual yang menutup deretan kewalian, sejajar dengan posisi khatm al-anbiya (penutup para nabi) yang dipegang Nabi Muhammad SAW. Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dalam al-Futuhat al-Makkiyyah menyebutkan bahwa khatm adalah figur rahasia yang diketahui hanya oleh kalangan tertentu.
Namun, klaim-klaim belakangan mengenai adanya individu yang menyandang gelar Khatmul Auliya tanpa sanad keilmuan dan spiritual yang jelas menimbulkan polemik serius. Esai ini akan menyanggah pemberian gelar tersebut dengan menekankan pentingnya sanad, bahaya kultus individu, dan risiko teologisnya, serta memberi ilustrasi dari fenomena kontemporer.
Sanad sebagai Legitimasi Keilmuan
Sanad merupakan jantung keilmuan Islam. Imam Abdullah bin al-Mubarak (w. 797 M) menegaskan: al-isnād min al-dīn, walau lā al-isnād la-qāla man syā’a mā syā’a (sanad adalah bagian dari agama; tanpa sanad, orang bisa mengatakan sesukanya). Pernyataan ini relevan untuk mengkritik klaim gelar kewalian, apalagi setinggi Khatmul Auliya, jika tidak disertai mata rantai keilmuan yang jelas.
Dalam tradisi sufi, setiap mursyid harus memiliki silsilah (silsilah) yang tersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Tanpa itu, pengakuan sebagai wali, apalagi sebagai “pamungkas para wali,” kehilangan legitimasi spiritual. Hal ini sejalan dengan pandangan KH. Afifuddin Muhajir (2021) yang menekankan bahwa keilmuan Islam, baik fikih maupun tasawuf, hanya sahih bila melewati jalur sanad.
Bahaya Kultus Individu
Islam sejak awal menolak pengultusan manusia biasa. Al-Qur’an memperingatkan: lā taghlū fī dīnikum (janganlah kalian berlebihan dalam beragama) (QS. al-Nisa’ [4]: 171). Kultus individu yang lahir dari klaim kewalian tanpa dasar sanad rawan menjadikan seseorang kebal kritik dan kebal koreksi.
Dalam sejarah tasawuf, tokoh-tokoh besar seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Jalaluddin Rumi, hingga Imam al-Ghazali tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai Khatmul Auliya. Gelar-gelar mulia yang disematkan kepada mereka datang dari pengakuan luas umat, bukan klaim diri atau sekelompok pengikut kecil. Oleh karena itu, ketika ada orang yang mengaku atau diangkat sebagai khatm tanpa basis sanad, jelas ini menyimpang dari tradisi.
Tradisi Tasawuf yang Ketat
Tasawuf muktabarah memiliki disiplin spiritual yang sangat ketat. Seorang mursyid tidak boleh membimbing murid kecuali telah mendapat izin (ijazah) dari gurunya. Bahkan tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syadziliyah selalu memastikan adanya legitimasi sanad.
Al-Hujwiri (w. 1077 M) dalam Kasyf al-Mahjub menjelaskan bahwa kewalian tidak lahir dari pengakuan diri, melainkan dari pengakuan komunitas spiritual dan kebenaran perjalanan hidupnya. Artinya, klaim sepihak tanpa sanad adalah hal yang asing bagi tradisi sufi.
Konsekuensi Teologis
Pemberian gelar Khatmul Aulia kepada figur tanpa sanad keilmuan bukan hanya keliru secara epistemologis, tetapi juga berbahaya secara teologis. Gelar ini dapat menciptakan legitimasi palsu, seolah-olah setiap ucapan dan tindakan orang tersebut otomatis benar dan suci. Padahal, Islam menekankan verifikasi (tabayyun) sebagaimana dalam QS. al-Hujurat [49]: 6.
Fenomena ini bisa mengarah pada penyalahgunaan otoritas agama, bahkan membuka ruang manipulasi umat. Sebagaimana diingatkan oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din, salah satu penyakit hati paling berbahaya adalah hub al-riyasah (cinta terhadap kedudukan dan pengakuan).
Kasus Kontemporer
Di era modern, muncul sejumlah figur yang mengaku sebagai wali pamungkas atau memiliki otoritas spiritual luar biasa tanpa dukungan sanad. Sebagian bahkan menggunakan media sosial dan simbol-simbol kebesaran untuk memikat pengikut.
Fenomena ini serupa dengan apa yang dikritik KH. Said Aqil Siradj (2019), bahwa banyak guru spiritual dadakan bermunculan tanpa sanad yang sahih, menawarkan jalan pintas menuju “kewalian” padahal lebih dekat pada praktik perdukunan. Fenomena ini semakin menegaskan bahwa klaim Khatmul Auliya tanpa sanad bukan hanya tidak dapat diterima, tetapi juga berpotensi menyesatkan.
Penutup
Khatmul Auliya* adalah konsep yang berat dan sarat makna dalam tradisi tasawuf. Ia tidak boleh disematkan sembarangan, apalagi kepada figur yang tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas. Islam menekankan pentingnya sanad, kewaspadaan terhadap kultus individu, dan keharusan verifikasi dalam setiap klaim.
Pemberian gelar mulia kepada orang tanpa dasar sanad tidak hanya mencederai tradisi tasawuf, tetapi juga berpotensi menyesatkan umat. Karena itu, umat Islam perlu kritis, tabayyun, dan kembali kepada otoritas sanad keilmuan yang sahih dalam menyikapi fenomena semacam ini.
Daftar Pustaka
- al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
- al-Hakim al-Tirmidzi. Khatm al-Awliya. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1965.
- al-Hujwiri, Ali ibn Uthman. Kasyf al-Mahjub. Lahore: Islamic Book Foundation, 1992.
- Ibn ‘Arabi, Muhyiddin. al-Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar Sadir, 1999.
- Said Aqil Siradj. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Jakarta: Paramadina, 2019.
- Afifuddin Muhajir. Fiqh dan Tasawuf dalam Tradisi Sanad. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2021.
- Abdullah bin al-Mubarak. al-Jami‘ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami‘. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983.
Komentar
Posting Komentar