Ketika Masjid Bukan Hanya Tempat Ibadah: Revitalisasi Peran Sosial dan Intelektual
Oleh: Lukmanul Hakim
Di Indonesia, masjid seringkali identik dengan menara tinggi, kubah megah, dan tentunya, tempat menunaikan shalat lima waktu. Perannya sebagai sentra ibadah ritual memang tak terbantahkan dan fundamental. Namun, jika kita menengok kembali lembaran sejarah peradaban Islam, terutama di masa keemasannya, masjid bukanlah sekadar tempat ritual. Ia adalah jantung kehidupan masyarakat: pusat pendidikan, forum intelektual, rumah sakit, tempat musyawarah, hingga pusat kegiatan ekonomi. Revitalisasi peran masjid yang holistik ini menjadi sangat relevan di tengah berbagai tantangan sosial dan intelektual umat di abad ke-21.
Masjid sebagai Pusat Pendidikan dan Intelektual
Salah satu fungsi paling menonjol masjid di masa lalu adalah sebagai lembaga pendidikan dan pusat ilmu pengetahuan. Universitas Al-Azhar di Kairo, misalnya, yang kini menjadi salah satu universitas tertua di dunia, awalnya tumbuh dari sebuah masjid. Demikian pula dengan Masjid Cordoba di Andalusia atau Masjid Qarawiyyin di Fez, Maroko. Di tempat-tempat inilah, ilmu pengetahuan diajarkan secara luas, mulai dari fiqih, hadis, tafsir, hingga astronomi, matematika, kedokteran, dan filsafat. Ulama besar seperti Ibnu Sina dan Al-Ghazali pernah mengajar dan berdiskusi di lingkungan masjid (Lapidus, 2002).
Kini, banyak masjid cenderung sepi dari aktivitas keilmuan yang mendalam di luar kajian agama formal. Padahal, umat sangat membutuhkan pencerahan dan pemahaman yang komprehensif tentang berbagai isu kontemporer dari sudut pandang Islam, mulai dari ekonomi syariah, sains dan teknologi, lingkungan, hingga isu-isu sosial dan politik. Masjid harus kembali menjadi ruang di mana diskusi ilmiah yang sehat dan konstruktif dapat berkembang, menjembatani kesenjangan antara ilmu agama dan ilmu umum.
Masjid sebagai Pusat Sosial dan Pelayanan Masyarakat
Di masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi di Madinah adalah pusat segala aktivitas umat. Di sana, kaum Muhajirin dan Anshar dipersatukan, masalah-masalah sosial dibahas, bantuan untuk fakir miskin disalurkan, bahkan urusan kenegaraan pun diputuskan. Masjid Nabawi menjadi model ideal bagi masjid-masjid berikutnya: bukan hanya tempat sujud, melainkan juga wadah solidaritas sosial.
Dewasa ini, peran sosial masjid perlu diintensifkan. Ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti program Jumat Berkah untuk berbagi makanan, bank sampah, layanan kesehatan gratis, pusat advokasi masyarakat, hingga pelatihan keterampilan untuk meningkatkan ekonomi umat. Di era digital, masjid juga bisa menjadi hub bagi pengembangan literasi digital umat, pusat informasi, atau bahkan ruang kerja bersama (coworking space) yang mendukung ekonomi kreatif. Inisiatif seperti ini akan menjadikan masjid sebagai jangkar komunitas yang relevan dan dibutuhkan.
Masjid sebagai Ruang Dialog dan Moderasi
Dalam konteks keindonesiaan yang majemuk, masjid memiliki peran strategis sebagai simpul persatuan dan sarana dialog antarumat beragama dan antargolongan. Sejarah mencatat bagaimana masjid-masjid di Nusantara, seperti Masjid Agung Demak atau Masjid Baiturrahman Aceh, tidak hanya menjadi pusat ibadah, tetapi juga benteng perlawanan terhadap penjajahan, pusat kebudayaan, dan ruang musyawarah bagi masyarakat adat.
Di tengah polarisasi dan penyebaran hoaks, masjid dapat menjadi forum untuk memperkuat narasi moderasi beragama (wasathiyah Islam). Khotbah Jumat, kajian, dan majelis taklim dapat diarahkan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, persatuan, kebangsaan, dan anti-kekerasan. Dengan demikian, masjid akan berkontribusi aktif dalam merajut harmoni sosial dan membangun peradaban yang berkeadilan.
Tantangan dan Harapan
Revitalisasi peran masjid ini tentu menghadapi tantangan. Keterbatasan sumber daya manusia yang kompeten, minimnya dana operasional, hingga pandangan sempit tentang fungsi masjid seringkali menjadi kendala. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi aktif antara pengurus masjid (DKM), pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Pelatihan bagi imam dan dai agar mampu menyajikan materi yang relevan dan kontekstual, pengembangan program-program inovatif, serta manajemen masjid yang profesional menjadi kunci.
Sebagai "Rumah Allah", masjid memiliki potensi luar biasa untuk kembali menjadi pusat peradaban, sebagaimana di masa lalu. Ia adalah ruang inklusif yang dapat menumbuhkan kecerdasan intelektual, kepedulian sosial, dan kematangan spiritual umat. Ketika masjid bukan hanya tempat ibadah ritual, melainkan juga pusat bagi pembangunan peradaban yang berakhlak mulia dan berdaya saing, saat itulah umat Islam Indonesia akan kembali mengambil peran kepeloporan dalam kancah global.
Daftar Pustaka:
* Lapidus, I. M. (2002). A History of Islamic Societies. Cambridge University Press.
* Kementerian Agama Republik Indonesia. (2018). Modul Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
* Nasr, S. H. (1993). Islam and Science: The Intellectual Tradition. Kazi Publications.
* Wargadinata, W., & Zumrotun. (2018). Peran Strategis Masjid dalam Pengembangan Masyarakat Islam. Jurnal Pencerah, 2(1), 1-15.
Komentar
Posting Komentar