Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Oleh: Lukmanul Hakim

Tradisi Merariq merupakan salah satu adat istiadat pernikahan yang khas dari suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi ini melibatkan prosesi 'kawin lari'. Seorang pria membawa pergi wanita yang ia cintai tanpa sepengetahuan orang tuanya. Meskipun terlihat kontroversial bagi sebagian orang luar, Merariq dianggap sebagai bagian integral dari identitas budaya masyarakat Sasak, yang mengandung nilai-nilai sosial, agama, dan adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Tradisi Merariq tidak hanya sekadar ritual pernikahan; ia juga mencerminkan struktur sosial, nilai-nilai agama, serta norma-norma yang ada di dalam masyarakat Sasak. Proses Merariq melibatkan berbagai tahapan, mulai dari “midang” (bertandang) hingga “nyongkolan” (iring-iringan pengantin). Dalam pelaksanaannya, tradisi ini menunjukkan interaksi antara hukum adat, hukum Islam, dan peraturan perundang-undangan nasional. Namun, seiring dengan perubahan sosial dan modernisasi, tradisi Merariq menghadapi berbagai tantangan dan dinamika. Salah satu isu utama adalah bagaimana Merariq sering dikaitkan dengan pernikahan dini, yang dapat berimplikasi pada hak-hak anak dan kesejahteraan perempuan. Selain itu, potensi konflik sosial dan hukum yang muncul dari perbedaan status sosial atau ketidaksetujuan keluarga juga menjadi perhatian.

Di sisi lain, Merariq juga dipandang sebagai simbol ketahanan budaya dan identitas masyarakat Sasak. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat dan tokoh adat untuk menjaga tradisi ini tetap relevan dan sesuai dengan nilai-nilai modern, tanpa menghilangkan esensinya. Oleh karena itu, Merariq menjadi subjek penting dalam studi hukum, sosiologi, antropologi, dan kajian budaya.

Dalam pembahasan ini, kita akan mengeksplorasi berbagai tema terkait tradisi Merariq, seperti aspek hukum, nilai-nilai budaya, potensi konflik, dan dinamika sosial-ekonomi, yang semuanya berperan dalam mempertahankan dan mengembangkan tradisi ini di tengah perubahan zaman.

Arti dan Makna "Merariq" dalam Konteks Masyarakat Sasak

"Merariq" merupakan sebuah tradisi perkawinan khas yang dijalankan oleh masyarakat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam tradisi ini, Merariq diartikan sebagai "kawin lari" atau "penculikan" yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan yang akan dinikahinya (Ilmalia et al., 2021). Meskipun sekilas terdengar negatif, tradisi ini memiliki makna yang lebih kompleks dan mendalam bagi masyarakat Sasak, berakar dari budaya dan nilai-nilai sosial yang mereka anut (Anggraeny, 2017).

Merariq bukan sekadar "penculikan" dalam artian dipaksa; melainkan biasanya dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Proses ini merupakan salah satu cara untuk mewujudkan keinginan mereka untuk menikah, terutama jika ada hambatan dari keluarga atau masyarakat dalam hubungan tersebut (Fairiza & Widyatama, 2024). Sebagai contoh, hambatan ini dapat berupa perbedaan status sosial. Pernikahan antara perempuan bangsawan (menak) dan laki-laki bukan bangsawan (jajar karang) sering kali menimbulkan konflik atau ketidaksetujuan dari keluarga (Syaripudin et al., 2022).

Bentuk dan Prosesi Perkawinan Suku Sasak

Perkawinan dalam masyarakat Suku Sasak memiliki keunikan tersendiri, terutama melalui pola perkawinan yang disebut Merariq. Proses ini dimulai dengan melarikan seorang gadis yang akan dijadikan calon istri, dan dianggap sebagai cara perkawinan yang paling terhormat di antara cara-cara perkawinan lainnya dalam adat Sasak. Merariq dipandang sebagai salah satu siklus penting dalam kehidupan manusia dan memiliki kedudukan yang istimewa dalam budaya Sasak. Secara umum, setiap komunitas budaya memiliki aturan dan cara mereka sendiri dalam menjalankan tradisi perkawinan. Dalam pandangan antropologi, perkawinan adalah transaksi atau kontrak yang sah antara seorang wanita dan pria, yang mengukuhkan hak mereka untuk berhubungan seksual secara eksklusif, serta menegaskan bahwa wanita tersebut telah memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Haviland, 1999: 77).

Dalam budaya Sasak di Lombok, terdapat beberapa bentuk perkawinan yang berbeda dalam menjalankan ritual perkawinan mereka (Jayanti, 2014).

Merariq atau Mbait adalah salah satu bentuk perkawinan yang paling dikenal dalam adat Sasak. Kedua istilah ini mengandung makna melarikan seorang gadis oleh seorang pemuda untuk dijadikan istrinya, yang sering diartikan sebagai kawin lari. Bagi masyarakat Sasak, Merariq berarti mempertahankan harga diri dan menunjukkan keberanian seorang pria dalam merebut hati gadis pujaannya. Dalam konteks ini, Merariq dipahami sebagai cara untuk melaksanakan prosesi pernikahan dan juga sebagai upaya meredam konflik, baik dengan pihak keluarga gadis maupun dengan pemuda lain yang juga menginginkan gadis tersebut. Logika di balik Merariq adalah bahwa dengan melarikan gadis tersebut, si pemuda menunjukkan bahwa ia cukup berani dan layak menjadi suaminya, serta menghindari potensi konflik yang mungkin timbul.

Selain Merariq, ada juga bentuk perkawinan yang dikenal sebagai belakoqBelakoq berarti meminta, dan pola ini biasanya dilakukan di kalangan yang memiliki ikatan kekerabatan dekat, seperti sepupu. Meskipun tidak lazim, perkawinan dengan keluarga dekat, terutama sepupu, sering diutamakan dalam adat Sasak. Dalam masyarakat perkotaan, pola belakoq lebih sering dipilih karena lebih sederhana dan dianggap lebih manusiawi, sejalan dengan perubahan pola pikir akibat pengaruh pendidikan dan budaya luar. Selain Merariq dan belakoq, terdapat pula pola perkawinan lain seperti Kawin Nyerah HukumKawin Tadong, dan Kawin Ngiwet (Jayanti, 2014). Namun, pola-pola ini kini mulai jarang dilaksanakan karena dinilai kurang relevan dengan kondisi kekinian.

Prosesi perkawinan adat Sasak terdiri atas beberapa tahapan yang harus dijalankan sesuai dengan adat istiadat setempat. Tahapan pertama adalah melarikan calon pengantin perempauan. Pada tahap ini, laki-laki dengan bantuan teman-temannya "menculik" perempuan tersebut ke tempat yang telah disepakati. Biasanya, perempuan sudah mengetahui dan menyetujui rencana ini, meskipun dalam beberapa kasus, hal ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan penuh dari perempuan sebagai bagian dari drama sosial yang ditampilkan (Anon & Ahmadi, 2021).

Tahap berikutnya adalah Mesejati/Besejati. Pada tahap ini pihak laki-laki menugaskan utusan untuk menemui tokoh masyarakat setempat guna menginformasikan bahwa seorang gadis telah diambil untuk dinikahi. Mesejati bertujuan untuk memberikan kepastian kepada keluarga gadis mengenai keberadaan dan niat baik pihak laki-laki.

Tahap berikutnya adalah Selabar. Pada tahap ini keluarga laki-laki mengungkapkan niat baik mereka kepada keluarga gadis, termasuk informasi tentang asal usul dan status sosial calon pengantin laki-laki. Dalam proses ini, para utusan mengenakan pakaian adat dan membawa properti simbolis seperti pecanangan (penginang kuning) dan sesirah (kain putih dan hitam yang diikat). Proses ini memastikan bahwa keluarga perempuan mengetahui identitas dan latar belakang calon pengantin laki-laki. Tahap ini juga mencakup diskusi tentang mahar dan detail pernikahan lainnya (Azwar et al., 2024).

Setelah itu, dilanjutkan dengan Bait Wali (Nunut Wali), yaitu permintaan wali nikah dari pihak perempuan, biasanya ayah atau kerabat dekat. Wali akan datang ke rumah pengantin laki-laki untuk menikahkan anak perempuannya. Dalam beberapa kasus, wali dari pihak perempuan mendatangi rumah pengantin laki-laki dengan beberapa anggota keluarga, sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

Proses berikutnya adalah Mengambil Janji (Bait Janji), yang melibatkan negosiasi antara keluarga untuk menentukan hal-hal penting seperti mahar (aji kerama) dan tanggung jawab lainnya. Negosiasi ini mencakup persiapan untuk upacara sorong serah dan memastikan bahwa semua permintaan telah dipenuhi sebelum pernikahan dilangsungkan.

Tahap puncak dari prosesi perkawinan adalah Upacara Aji Krama (Sorong Serah). Ini adalah inti dari prosesi perkawinan adat Sasak. Pada tahap ini properti yang disepakati sebelumnya dibawa dan dipersembahkan kepada keluarga perempuan. Upacara ini menandakan kesiapan laki-laki untuk menjadi suami yang bertanggung jawab dan merupakan simbol dari pengesahan perkawinan secara adat. Dalam sorong serah, berbagai aspek seperti denda adat dan pengesahan status sosial juga dibicarakan.

Setelah upacara inti, dilaksanakan Nyongkol, sebuah karnaval atau parade yang mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Acara nyongkol ini diikuti oleh acara pesta yang melibatkan keluarga dan masyarakat luas (Maharani, 2024). Rombongan pengantin pria dan wanita berpawai dengan diiringi musik tradisional dan kesenian lainnya, menunjukkan kegembiraan dan kebesaran perayaan. Nyongkol adalah bagian dari ritual yang memperlihatkan kepada masyarakat bahwa pasangan tersebut telah sah menjadi suami istri.

Prosesi perkawinan adat Sasak ditutup dengan Bales Ones Nae. Prosesi ini merupakan acara penutup yang biasanya hanya dihadiri oleh kerabat dekat dari kedua belah pihak keluarga. Acara ini tidak bersifat formal, tetapi lebih menekankan pada suasana kekeluargaan. Pada tahap ini kedua keluarga saling mengenal lebih dekat dan mempererat tali silaturahmi. Inti dari Bales Ones Nae adalah mempererat hubungan antara kedua keluarga besar yang baru saja disatukan melalui pernikahan, dengan saling memperkenalkan sanak famili, seperti kakek, nenek, sepupu, paman, dan anggota keluarga lainnya. Kehadiran kerabat dalam acara ini bertujuan untuk mempererat ikatan batin dan silaturahmi yang telah terbentuk melalui ikatan perkawinan.

Dengan melalui berbagai tahapan ini, perkawinan adat Sasak bukan hanya menjadi sebuah ikatan antara dua individu, tetapi juga antara dua keluarga besar, dengan menekankan nilai-nilai kehormatan, keberanian, dan tanggung jawab sosial. Perkawinan ini mencerminkan cara masyarakat Sasak menjaga tradisi dan nilai-nilai budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, tradisi Merariq memiliki dimensi yang kaya dan multifaset, mencakup aspek-aspek budaya, hukum adat, dan agama.  Meskipun terlihat sederhana sebagai bentuk kawin lari, tradisi ini memiliki prosedur yang terstruktur dan penuh dengan makna. Merariq mencerminkan upaya masyarakat Sasak dalam menjaga harmoni sosial dan menjaga identitas budaya mereka, meskipun juga menghadapi tantangan, terutama dalam konteks modernitas dan hukum formal. Dalam beberapa hal, tradisi ini telah diadaptasi atau bahkan diperdebatkan keabsahannya dalam konteks hukum negara dan hukum Islam.

Aspek Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Merariq

Tradisi Merariq di masyarakat Sasak merupakan salah satu bentuk adat istiadat pernikahan yang memiliki kekhasan tersendiri. Dalam hal ini adat dan agama sering kali saling bersinggungan. Dalam konteks ini, peran hukum Islam dan hukum adat menjadi sangat penting untuk dipahami dan dianalisis. Tradisi Merariq tidak hanya sekadar prosesi pernikahan, melainkan juga mencerminkan aturan dan nilai-nilai yang diakui dalam masyarakat Sasak. Oleh karena itu, memahami Merariq dari perspektif hukum Islam dan hukum adat dapat memberikan wawasan tentang bagaimana norma-norma ini saling berinteraksi dan memengaruhi praktik sosial di masyarakat Sasak.

Dalam perspektif hukum Islam, pernikahan adalah sebuah kontrak suci yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti adanya wali, saksi, mahar, dan kesepakatan dari kedua belah pihak. Studi oleh Syaripudin et al. (2022) menyoroti bagaimana tradisi Merariq, terutama dalam konteks pernikahan antara perempuan bangsawan (menak) dengan laki-laki bukan bangsawan (jajar karang), diinterpretasikan dalam hukum Islam. Hukum Islam menggarisbawahi pentingnya persetujuan wali perempuan dalam pernikahan. Hal ini terkadang berbenturan dengan praktik Merariq, karena perempuan dibawa tanpa sepengetahuan keluarganya. Hal ini dapat menimbulkan dilema hukum yang memerlukan adaptasi dan penyesuaian agar sesuai dengan ketentuan syariah, sekaligus menghormati adat lokal.

Di sisi lain, hukum adat Sasak memberikan legitimasi terhadap praktik Merariq sebagai bagian dari tradisi lokal yang sudah berlangsung lama. Hukum adat menekankan pentingnya keselarasan sosial dan keharmonisan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, penyelesaian konflik yang muncul akibat Merariq lebih sering dilakukan melalui jalur mediasi adat daripada melalui peradilan formal. Hukum adat memberikan fleksibilitas dalam menangani kasus-kasus yang mungkin dianggap melanggar hukum Islam atau hukum nasional, dengan mempertimbangkan konteks sosial dan kultural setempat. Seperti yang diungkapkan oleh Hamdani & Fauzia (2022), hukum adat dan hukum Islam sering kali berjalan berdampingan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak, meskipun ada perbedaan interpretasi dan penekanan antara keduanya.

Lebih lanjut, Anggraeny (2017) dalam studinya menyoroti bagaimana Merariq ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum Islam. Dalam UU tersebut, pernikahan harus dilandasi oleh persetujuan kedua mempelai dan diakui sah jika sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Namun, dalam praktik Merariq, sering kali muncul tantangan terkait kesetaraan dan hak-hak perempuan, terutama dalam hal persetujuan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai individu. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk merekonsiliasi antara nilai-nilai tradisional dan persyaratan hukum modern, serta bagaimana Merariq dapat beradaptasi agar tidak melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang dijunjung dalam hukum nasional dan internasional.

Oleh karena itu, kajian terhadap aspek hukum Islam dan hukum adat dalam tradisi Merariq menunjukkan adanya kebutuhan untuk menemukan titik temu antara nilai-nilai adat yang telah mengakar kuat dalam budaya Sasak dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan hukum modern yang menjunjung tinggi hak individu dan keadilan sosial. Adaptasi dan reinterpretasi terhadap tradisi ini mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa Merariq tetap relevan dan dapat diterima dalam konteks sosial dan hukum yang terus berkembang.

Nilai-nilai Pancasila dalam Tradisi Merariq

Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, mengandung nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai ini meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Dalam konteks tradisi Merariq suku Sasak, nilai-nilai Pancasila juga dapat ditemukan dan diimplementasikan, mencerminkan bagaimana adat istiadat lokal dapat selaras dengan prinsip-prinsip nasional yang lebih luas.

Nilai ketuhanan tercermin dalam Merariq melalui pengakuan terhadap aspek spiritual dan religiusitas dalam proses pernikahan. Sebagai masyarakat yang mayoritas beragama Islam, masyarakat Sasak menempatkan pentingnya doa dan restu dari Tuhan dalam prosesi Merariq. Penelitian oleh Anggraini et al. (2018) menunjukkan bahwa upacara Merariq dimulai dengan niat yang tulus dan berdoa agar pernikahan diberkati oleh Tuhan. Doa dan ritual keagamaan lainnya yang menyertai prosesi ini adalah manifestasi dari penghargaan masyarakat Sasak terhadap nilai Ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan sila pertama dalam Pancasila.

Nilai kemanusiaan dalam Pancasila mengajarkan pentingnya penghargaan terhadap martabat manusia dan perlakuan yang adil. Dalam tradisi Merariq, meskipun terdapat tantangan seperti potensi pernikahan dini atau tanpa persetujuan penuh dari kedua belah pihak, masyarakat Sasak berupaya untuk menjaga kehormatan dan martabat individu yang terlibat. Penelitian menunjukkan bahwa konflik yang mungkin timbul dari praktik Merariq diselesaikan dengan cara musyawarah dan mediasi, yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang adil bagi semua pihak, menghormati hak dan martabat individu, terutama perempuan (Anggraini et al., 2018).

Merariq, sebagai tradisi yang menyatukan dua keluarga atau kelompok sosial yang berbeda, mencerminkan nilai persatuan. Melalui prosesi ini, bukan hanya pasangan yang disatukan, tetapi juga keluarga besar mereka. Tradisi ini memperkuat ikatan sosial dan kohesi komunitas, yang berkontribusi pada terciptanya persatuan di antara anggota masyarakat Sasak. Nilai persatuan ini sejalan dengan sila ketiga Pancasila. Upaya memperkuat ikatan sosial menjadi salah satu pilar dalam membangun bangsa yang bersatu (Anggraini et al., 2018).

Nilai kerakyatan dan demokrasi tercermin dalam cara masyarakat Sasak mengelola adat Merariq melalui musyawarah dan mufakat. Setiap keputusan penting yang terkait dengan Merariq, termasuk penyelesaian konflik atau perbedaan pendapat, dilakukan melalui proses diskusi terbuka di antara para tetua adat, tokoh agama, dan pihak keluarga yang terlibat. Anggraini et al. (2018) mencatat bahwa musyawarah adalah elemen penting dalam Merariq, mencerminkan komitmen masyarakat Sasak terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebijaksanaan kolektif.

Nilai keadilan sosial dalam Pancasila mengajarkan pentingnya perlakuan yang adil dan kesetaraan bagi semua warga negara. Dalam konteks Merariq, meskipun tantangan terkait kesetaraan gender masih ada, upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan anak serta untuk mencegah pernikahan dini menunjukkan komitmen masyarakat Sasak terhadap keadilan sosial. Inisiatif seperti Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK) yang bertujuan untuk menekan praktik pernikahan usia anak adalah salah satu contoh konkret bagaimana nilai keadilan sosial diterapkan dalam kehidupan masyarakat (Dewi & Purana, 2022).

Secara keseluruhan, tradisi Merariq suku Sasak bukan hanya sekadar praktik budaya lokal, tetapi juga sebuah cerminan bagaimana nilai-nilai luhur Pancasila dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Nilai-nilai Pancasila membantu memastikan bahwa tradisi ini dapat dipertahankan dan dipraktikkan dengan cara yang menghormati prinsip-prinsip kemanusiaan, persatuan, dan keadilan, yang semuanya esensial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Potensi Konflik dan Resolusi dalam Merariq

Tradisi Merariq, yang dikenal sebagai 'kawin lari', merupakan salah satu adat pernikahan unik dari suku Sasak di Lombok. Meskipun tradisi ini mengakar kuat dalam budaya lokal dan dianggap sebagai bentuk ungkapan cinta serta upaya melestarikan warisan budaya, praktik Merariq tidak terlepas dari potensi konflik. Konflik ini dapat muncul karena berbagai alasan, mulai dari perbedaan status sosial hingga pelanggaran norma hukum yang berlaku. Oleh karena itu, pemahaman mengenai sumber konflik dan mekanisme resolusi yang ada dalam tradisi Merariq sangat penting untuk memastikan bahwa praktik ini dapat dilaksanakan secara damai dan adil.

Potensi konflik dalam Merariq dapat timbul dari beberapa sumber utama. Pertama, perbedaan status sosial antara keluarga yang terlibat. Seperti yang dijelaskan dalam studi Syaripudin et al. (2022), perkawinan antara perempuan bangsawan (menak) dengan laki-laki dari kalangan biasa (jajar karang) sering kali menimbulkan ketegangan karena dianggap tidak seimbang secara sosial dan ekonomi. Pandangan bahwa pernikahan semacam ini dapat merendahkan status sosial keluarga bangsawan (menak) menyebabkan ketidaksetujuan yang bisa berujung pada konflik antar keluarga.

Kedua, konflik juga dapat terjadi akibat pernikahan yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua atau wali, yang sering terjadi dalam praktik Merariq. Meskipun sebagian besar masyarakat Sasak menghormati tradisi ini, ketidaksetujuan orang tua atau wali dapat memicu konflik, baik secara internal dalam keluarga maupun secara eksternal dengan masyarakat atau pihak berwenang (Anggraeny, 2017).

Ketiga, aspek legalitas juga menjadi sumber potensi konflik. Dalam beberapa kasus, praktik Merariq dapat melanggar undang-undang nasional terkait pernikahan, seperti usia minimum untuk menikah dan persyaratan administratif lainnya. Hal ini terutama terlihat dalam kasus pernikahan di bawah umur, yang dalam banyak situasi, bertentangan dengan hukum yang mengatur hak-hak anak (Haerani, 2024). Konflik antara nilai-nilai adat yang menbelianMerariq dengan undang-undang nasional ini menciptakan dilema bagi masyarakat, terutama ketika upaya penegakan hukum dilakukan.

Meskipun terdapat potensi konflik yang signifikan, masyarakat Sasak memiliki mekanisme resolusi konflik yang telah teruji waktu, yang berakar pada nilai-nilai adat dan kebijaksanaan lokal. Salah satu mekanisme utama adalah melalui mediasi dan musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat atau tokoh agama. Proses ini melibatkan diskusi terbuka untuk mencapai kesepakatan bersama yang mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat. Pendekatan ini mencerminkan pentingnya nilai persatuan dan kerukunan dalam masyarakat Sasak. Penyelesaian konflik diupayakan dengan cara yang paling damai dan menghindari perpecahan (Sarmini et al., 2018).

Selain mediasi adat, mekanisme hukum formal juga dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik Merariq, terutama ketika terkait dengan pelanggaran hukum nasional. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pihak berwenang dapat terlibat dalam memastikan bahwa hak-hak semua pihak dihormati, dan bahwa proses pernikahan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Namun, intervensi hukum formal sering kali dianggap sebagai langkah terakhir setelah upaya mediasi adat gagal mencapai kesepakatan (Haq & Hamdi, 2016).

Untuk mengurangi potensi konflik dalam tradisi Merariq, berbagai upaya preventif telah dilakukan, termasuk kampanye kesadaran dan pendidikan masyarakat tentang hak-hak pernikahan dan pentingnya persetujuan kedua belah pihak. Inisiatif seperti Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK), yang berfokus pada pencegahan pernikahan dini, adalah contoh konkret dari upaya proaktif untuk mengurangi konflik yang terkait dengan Merariq. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko dan implikasi hukum dari pernikahan dini, serta mendorong praktik pernikahan yang lebih bertanggung jawab dan sesuai dengan norma hukum nasional (S. P. Dewi & Purana, 2022).

Secara keseluruhan, meskipun tradisi Merariq memiliki potensi konflik, adanya mekanisme resolusi berbasis adat dan kesadaran akan pentingnya adaptasi terhadap norma hukum modern menunjukkan bahwa masyarakat Sasak mampu mengelola dan menyelesaikan konflik dengan cara yang bijaksana. Hal ini memastikan bahwa tradisi Merariq dapat dilestarikan tanpa mengorbankan hak-hak individu dan keadilan sosial, serta tetap relevan dalam konteks masyarakat yang terus berkembang.

Perspektif Sosial dan Ekonomi dalam Tradisi Merariq

Tradisi Merariq tidak hanya penting dalam konteks budaya dan spiritual, tetapi juga memiliki implikasi signifikan terhadap aspek sosial dan ekonomi masyarakat Sasak di Lombok. Sebagai suatu praktik adat yang telah diwariskan secara turun-temurun, Merariq memengaruhi struktur sosial dan dinamika ekonomi komunitas lokal. Memahami tradisi ini dari perspektif sosial dan ekonomi dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana tradisi ini berperan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak dan bagaimana ia dapat beradaptasi dengan perubahan sosial yang sedang berlangsung.

Secara sosial, tradisi Merariq memainkan peran penting dalam membentuk identitas dan ikatan sosial di masyarakat Sasak. Tradisi ini memperkuat hubungan antara keluarga, suku, dan komunitas, karena pernikahan yang diatur melalui Merariq sering kali melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk keluarga besar dan tokoh adat. Prosesi seperti 'nyongkolan' (arak-arakan pengantin) bukan hanya merupakan simbol perayaan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan solidaritas di dalam komunitas. Hal ini membantu membangun jaringan sosial yang lebih luas, yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat tradisional (Ilmalia et al., 2021).

Namun, Merariq juga dapat menimbulkan dinamika sosial yang kompleks. Praktik ini kadang-kadang menyebabkan konflik antar keluarga, terutama ketika melibatkan pernikahan yang tidak disetujui oleh salah satu pihak keluarga atau melibatkan perbedaan status sosial yang signifikan. Misalnya, pernikahan antara perempuan bangsawan (menak) dengan laki-laki dari kalangan biasa (jajar karang) dapat memicu ketegangan sosial, karena dianggap merusak tatanan sosial tradisional yang berbasis hierarki (Syaripudin et al., 2022). Konflik semacam ini menunjukkan bahwa meskipun Merariq adalah tradisi yang menbeliang kesatuan, ia juga dapat menjadi sumber perpecahan sosial apabila tidak dikelola dengan baik.

Dari sudut pandang ekonomi, tradisi Merariq memiliki dampak yang signifikan pada masyarakat Sasak. Proses Merariq melibatkan biaya yang cukup besar, termasuk untuk upacara, pesta pernikahan, dan 'belis' (mas kawin). Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas, biaya ini dapat menjadi beban yang signifikan, yang kadang-kadang memicu pinjaman atau hutang yang berdampak pada kondisi ekonomi keluarga dalam jangka panjang (Saprudin, 2019). Biaya yang tinggi ini dapat menciptakan tekanan ekonomi, terutama bagi keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang berusaha menjaga kehormatan dan martabat dengan tetap mematuhi tuntutan adat.

Selain itu, ada juga dampak positif dari Merariq terhadap ekonomi lokal. Persiapan dan pelaksanaan prosesi pernikahan Merariq melibatkan berbagai sektor ekonomi, seperti katering, penyewaan pakaian adat, dekorasi, dan hiburan. Ini menciptakan peluang ekonomi bagi banyak orang di masyarakat, dari penyedia jasa hingga pedagang kecil yang memasok kebutuhan upacara. Dalam konteks ini, Merariq tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan sosial dan budaya, tetapi juga menjadi pendorong ekonomi lokal yang penting.

Perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, termasuk modernisasi, globalisasi, dan perubahan norma sosial, memengaruhi bagaimana tradisi Merariq dipandang dan dipraktikkan. Ada tekanan untuk mengadaptasi tradisi ini agar lebih sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi saat ini. Misalnya, kesadaran yang meningkat tentang hak-hak perempuan dan isu kesetaraan gender telah mendorong perubahan dalam cara Merariq dilakukan, dengan lebih menekankan pada persetujuan kedua belah pihak dan mengurangi tekanan ekonomi pada keluarga (N. Anggraini et al., 2018).

Upaya untuk mengurangi beban ekonomi dari prosesi pernikahan Merariq juga mulai diperhatikan, dengan beberapa keluarga memilih untuk menyederhanakan upacara dan mengurangi skala perayaan. Ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi tekanan ekonomi tetapi juga untuk memastikan bahwa tradisi tetap relevan dan dapat diterima oleh generasi muda yang mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang pernikahan dan kehidupan keluarga (Haslan & Dahlan, 2022).

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa tradisi Merariq memainkan peran yang kompleks dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Sasak. Sementara ia memperkuat ikatan sosial dan memberikan kontribusi ekonomi bagi komunitas lokal, ia juga menghadirkan tantangan, terutama dalam hal konflik sosial dan beban ekonomi. Dengan adanya perubahan sosial-ekonomi yang sedang berlangsung, adaptasi dan reinterpretasi tradisi Merariq menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa ia tetap relevan dan mampu berkontribusi secara positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat Sasak. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang perspektif sosial dan ekonomi ini, langkah-langkah yang lebih tepat dapat diambil untuk melestarikan dan memperkuat tradisi Merariq sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.

Pencegahan Pernikahan Dini melalui Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK)

Pernikahan dini adalah isu sosial yang kompleks dan memiliki implikasi jangka panjang terhadap kesejahteraan fisik, mental, dan ekonomi individu yang terlibat, terutama perempuan. Di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di komunitas suku Sasak di Lombok, tradisi Merariq atau 'kawin lari' sering kali berkontribusi pada terjadinya pernikahan dini. Untuk menangani masalah ini, berbagai inisiatif telah dilakukan, salah satunya adalah Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK). GAMAK merupakan gerakan yang bertujuan untuk mencegah pernikahan dini dan mempromosikan pemahaman tentang hak-hak anak dan pendidikan yang lebih baik bagi generasi muda.

Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK) didirikan sebagai respons terhadap tingginya angka pernikahan dini yang dipicu oleh praktik Merariq di Lombok. Kata "Merariq Kodeq" sendiri mengacu pada pernikahan di bawah umur yang terjadi melalui tradisi Merariq. Pernikahan dini sering kali membawa dampak negatif, termasuk putusnya pendidikan, masalah kesehatan reproduksi, dan peningkatan risiko kemiskinan. Oleh karena itu, GAMAK berfokus pada pencegahan pernikahan dini dengan mengedukasi masyarakat tentang dampak-dampak ini dan mempromosikan alternatif yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak dan remaja (S. P. Dewi & Purana, 2022).

Tujuan utama GAMAK adalah untuk mengurangi angka pernikahan dini melalui pendekatan edukasi, advokasi, dan mobilisasi komunitas. Program ini berupaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya hak-hak anak, pendidikan, dan kesejahteraan mereka. Selain itu, GAMAK bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat tentang pernikahan dini, dari sesuatu yang diterima sebagai norma sosial menjadi sesuatu yang diakui sebagai praktik yang berbahaya dan perlu diubah.

GAMAK menggunakan beberapa strategi untuk mencapai tujuannya, termasuk pendidikan komunitas, keterlibatan tokoh agama dan tokoh adat, serta kampanye publik. Pendidikan komunitas adalah komponen kunci dari strategi GAMAK. Mereka mengadakan lokakarya, seminar, dan diskusi kelompok untuk mengedukasi masyarakat tentang risiko dan konsekuensi pernikahan dini. Dalam sesi-sesi ini, GAMAK juga memperkenalkan alternatif yang lebih aman, seperti menekankan pentingnya pendidikan dan pengembangan keterampilan sebagai jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi anak-anak dan remaja.

Selain itu, GAMAK melibatkan tokoh agama dan tokoh adat, yang memiliki pengaruh besar dalam komunitas, untuk menbeliang kampanye mereka. Dengan menggandeng para pemimpin lokal ini, GAMAK dapat menyampaikan pesan yang lebih efektif dan meyakinkan, karena masyarakat cenderung mendengarkan dan menghormati nasihat dari tokoh-tokoh tersebut. Keterlibatan mereka juga membantu untuk memastikan bahwa pesan GAMAK selaras dengan nilai-nilai lokal dan tradisional, yang penting untuk diterima oleh masyarakat luas (Qadafi & Agustiningsih, 2021).

Kampanye publik juga menjadi bagian penting dari strategi GAMAK. Melalui penggunaan media sosial, poster, dan materi promosi lainnya, GAMAK berusaha menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda. Kampanye ini tidak hanya berfokus pada dampak negatif pernikahan dini, tetapi juga mempromosikan citra positif dari penundaan pernikahan hingga usia yang lebih dewasa, serta pentingnya mengejar pendidikan dan impian pribadi.

Implementasi GAMAK tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satu tantangan utama adalah mengubah mindset yang sudah mengakar kuat dalam budaya lokal. Bagi banyak anggota komunitas Sasak, pernikahan dini dianggap sebagai cara untuk melindungi kehormatan keluarga dan menghindari perilaku yang dianggap tidak bermoral. Oleh karena itu, meyakinkan masyarakat bahwa menunda pernikahan hingga usia dewasa adalah pilihan yang lebih baik memerlukan waktu dan pendekatan yang sensitif terhadap budaya (H. Husnan, 2018). Namun demikian, GAMAK telah menunjukkan beberapa keberhasilan yang signifikan. Program ini telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif pernikahan dini dan mulai mengubah persepsi mereka tentang pentingnya pendidikan dan hak-hak anak. Beberapa komunitas yang sebelumnya melihat pernikahan dini sebagai norma sosial kini mulai mempertanyakan praktik ini dan mencari alternatif yang lebih baik untuk masa depan anak-anak mereka.

Dengan mengurangi angka pernikahan dini, GAMAK juga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi komunitas. Anak-anak yang menunda pernikahan memiliki peluang lebih besar untuk menyelesaikan pendidikan mereka, yang pada gilirannya meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan mencapai kestabilan ekonomi. Ini tidak hanya menguntungkan individu tersebut tetapi juga memberikan dampak positif bagi ekonomi komunitas secara keseluruhan.

Secara sosial, penundaan pernikahan hingga usia dewasa membantu mengurangi risiko masalah kesehatan yang terkait dengan kehamilan remaja dan memastikan bahwa individu lebih siap secara fisik dan emosional untuk membangun keluarga. Dengan demikian, GAMAK tidak hanya berfungsi sebagai upaya pencegahan pernikahan dini tetapi juga sebagai langkah penting menuju pembangunan masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK) merupakan contoh penting dari upaya lokal untuk menangani isu pernikahan dini dalam konteks tradisi budaya. Melalui pendekatan yang inklusif dan berfokus pada pendidikan serta keterlibatan komunitas, GAMAK telah membantu mengubah pandangan dan praktik sosial di kalangan masyarakat Sasak. Dengan terus meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap hak-hak anak dan pentingnya pendidikan, GAMAK berperan dalam membangun masa depan yang lebih cerah bagi generasi muda di Lombok, dan memberikan model yang dapat diadopsi di daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.

Linguistik dan Budaya dalam Tradisi Merariq

Tradisi Merariq suku Sasak di Lombok tidak hanya menjadi bagian integral dari adat istiadat dan praktik sosial, tetapi juga memiliki dimensi linguistik dan budaya yang kaya. Dalam tradisi ini, bahasa dan komunikasi memainkan peran penting dalam menyampaikan nilai-nilai budaya, norma sosial, dan identitas komunitas. Memahami bagaimana linguistik dan budaya saling terkait dalam tradisi Merariq dapat memberikan wawasan lebih mendalam tentang bagaimana tradisi ini dipertahankan, diadaptasi, dan dipahami oleh masyarakat Sasak.

Bahasa memiliki peran penting dalam tradisi Merariq, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai medium untuk melestarikan dan mentransmisikan nilai-nilai budaya. Bahasa Sasak digunakan dalam berbagai tahapan prosesi Merariq, mulai dari negosiasi awal antara keluarga, penyampaian pesan atau tanda 'ngurisan' (pemberian tanda atau simbol), hingga saat prosesi pernikahan itu sendiri. Penggunaan bahasa Sasak dalam konteks ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai cara untuk memperkuat identitas budaya dan memperlihatkan penghormatan terhadap tradisi lokal (Anon & Ahmadi, 2021).

Dalam komunikasi ritual, penggunaan bahasa yang tepat sangat penting untuk menunjukkan rasa hormat dan ketaatan terhadap adat. Misalnya, ada ungkapan-ungkapan khusus dan kata-kata yang hanya digunakan dalam konteks Merariq yang menandakan penghormatan, persetujuan, atau keberatan. Ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk menciptakan suasana tertentu dan memperkuat struktur sosial dan hierarki yang ada.

Selain bahasa, tradisi Merariq kaya dengan simbolisme dan makna budaya yang mendalam. Simbol-simbol ini dapat ditemukan dalam berbagai aspek prosesi, mulai dari pakaian adat yang dikenakan, ritual yang dilakukan, hingga tata cara penyampaian pesan. Misalnya, penggunaan kain 'songket' dan ornamen perak dalam pakaian pengantin mencerminkan status sosial dan ekonomi, serta mengandung makna penghormatan terhadap leluhur dan tradisi (Fitrianita et al., 2019).

Simbolisme juga terlihat dalam cara pasangan pengantin dibawa ke rumah keluarga setelah prosesi Merariq, yang dikenal sebagai 'nyongkolan'. Iringan musik tradisional, tari-tarian, dan hiasan yang digunakan selama nyongkolan memiliki arti khusus yang terkait dengan kebahagiaan, kesuburan, dan harapan untuk masa depan yang baik. Ini menunjukkan bahwa setiap elemen dalam tradisi Merariq memiliki makna yang lebih dalam, yang tidak hanya mencerminkan keindahan budaya tetapi juga nilai-nilai dan aspirasi yang dipegang oleh masyarakat Sasak.

Seiring dengan perubahan sosial dan interaksi dengan budaya lain, tradisi Merariq juga mengalami adaptasi dan perubahan, termasuk dalam aspek linguistik dan budayanya. Pengaruh globalisasi dan modernisasi, misalnya, telah memperkenalkan elemen-elemen baru dalam tradisi ini, baik dari segi bahasa yang digunakan maupun dalam praktik dan simbolisme yang terlibat. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional, sering digunakan bersamaan dengan bahasa Sasak, terutama dalam konteks formal atau ketika berinteraksi dengan pihak luar. Ini menunjukkan adanya proses adaptasi linguistik yang memungkinkan tradisi Merariq tetap relevan dalam konteks sosial yang lebih luas (Aprianita, 2023).

Selain itu, perubahan dalam peran gender dan pandangan tentang pernikahan juga memengaruhi bagaimana tradisi Merariq dipraktikkan dan dipahami. Sebagai contoh, ada peningkatan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan pentingnya persetujuan dalam pernikahan. Ini mengarah pada penekanan yang lebih besar pada dialog dan negosiasi antara pasangan dan keluarga, yang mungkin sebelumnya dianggap tidak begitu penting. Adaptasi ini menunjukkan bahwa tradisi Merariq bukanlah entitas yang statis, tetapi dinamis dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan nilai-nilai modern (Husnan, 2018).

Meskipun ada adaptasi dan perubahan yang memungkinkan tradisi Merariq bertahan, ada juga tantangan yang dihadapi dalam melestarikan aspek linguistik dan budaya yang khas dari tradisi ini. Salah satu tantangan utama adalah modernisasi dan urbanisasi, yang sering kali mengurangi penggunaan bahasa daerah dan memperkenalkan praktik-praktik yang berbeda dari yang tradisional. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya elemen-elemen budaya yang kaya dan unik yang terkandung dalam tradisi Merariq.

Upaya pelestarian perlu dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun informal, serta melalui inisiatif-inisiatif komunitas yang bertujuan untuk mendokumentasikan dan mengajarkan kembali bahasa dan simbolisme yang ada dalam tradisi Merariq. Ini penting tidak hanya untuk melestarikan warisan budaya Sasak tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat memahami dan menghargai nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur mereka.

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa linguistik dan budaya merupakan elemen penting dalam tradisi Merariq suku Sasak. Bahasa dan simbolisme memainkan peran sentral dalam menyampaikan nilai-nilai dan identitas budaya. Sementara tradisi ini terus beradaptasi dengan perubahan sosial, tantangan dalam melestarikan aspek linguistik dan budaya yang khas tetap ada. Melalui pemahaman dan penghargaan terhadap kompleksitas linguistik dan budaya ini, tradisi Merariq dapat terus berkembang dan tetap relevan dalam dunia yang terus berubah, sekaligus mempertahankan keaslian dan makna budaya yang melekat dalam praktik ini.

Prosesi dan Implikasi Hukum Pidana dalam Merariq

Tradisi Merariq merupakan salah satu adat pernikahan khas suku Sasak di Lombok. Seorang pria membawa pergi wanita yang ia cintai tanpa sepengetahuan atau izin orang tuanya, dengan tujuan untuk menikah. Meskipun dihormati sebagai warisan budaya, prosesi Merariq ini kerap kali berbenturan dengan hukum pidana, terutama terkait dengan pernikahan di bawah umur, pemaksaan, dan pelanggaran hak-hak individu. Analisis terhadap prosesi dan implikasi hukum pidana dalam tradisi Merariq penting untuk memahami bagaimana hukum adat dan hukum negara berinteraksi, serta bagaimana tradisi ini dapat beradaptasi dengan standar hukum modern.

Prosesi Merariq terdiri atas beberapa tahapan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, tetua adat, dan masyarakat setempat. Tahapan pertama dimulai dengan 'pengambilan' atau 'kawin lari'. Pria membawa wanita ke tempat yang telah disepakati. Setelah itu, mereka menuju rumah keluarga pria atau tempat yang aman, menunggu reaksi dari keluarga wanita. Tahap ini disebut 'sembunyi' atau 'nyelepet' dan bisa berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu.

Setelah sembunyi, proses selanjutnya adalah 'nyelabar' atau 'nyelabarang'. Perwakilan dari pihak pria mengunjungi keluarga wanita untuk memberitahukan peristiwa tersebut dan memulai negosiasi. Negosiasi ini sering kali melibatkan perundingan tentang 'belis' (mas kawin) dan ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh pihak pria. Jika negosiasi berhasil, tahap terakhir adalah 'nyongkolan', yaitu prosesi arak-arakan yang membawa pasangan kembali ke rumah keluarga wanita, diikuti dengan upacara pernikahan secara resmi (Ilmalia et al., 2021).

Meskipun prosesi Merariq mengikuti adat istiadat dan diakui secara kultural, ada sejumlah aspek yang dapat melanggar hukum pidana. Salah satu implikasi hukum pidana yang paling umum adalah terkait dengan pernikahan di bawah umur. Berdasarkan hukum pidana Indonesia dan Undang-Undang Perlindungan Anak, pernikahan di bawah usia tertentu dianggap ilegal dan dapat dikenakan sanksi hukum. Namun, dalam praktiknya, Merariq sering kali melibatkan remaja yang belum mencapai usia legal untuk menikah, yang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak anak dan hukum pidana (Haerani, 2024).

Selain itu, prosesi 'kawin lari' yang dilakukan tanpa persetujuan jelas dari pihak wanita dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan atau bahkan penculikan, yang merupakan pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks hukum pidana, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan individu dan pelanggaran hak asasi manusia. Jika terbukti ada unsur paksaan atau ancaman, pihak pria dan keluarganya dapat dikenai sanksi hukum yang serius (Kurniawan et al., 2023).

Konflik antara hukum adat dan hukum pidana sering kali muncul dalam konteks tradisi Merariq. Masyarakat Sasak yang sangat menghargai adat istiadat cenderung menyelesaikan konflik melalui mediasi adat, yang berfokus pada rekonsiliasi dan pemulihan hubungan sosial. Namun, pendekatan ini kadang-kadang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan hukum pidana, yang lebih menekankan pada penegakan hukum dan penghukuman bagi pelaku pelanggaran (Azhari, 2023).

Dalam beberapa kasus, penyelesaian konflik melalui jalur adat mungkin tidak cukup untuk melindungi hak-hak korban, terutama jika melibatkan pernikahan paksa atau kekerasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana menyeimbangkan antara penghormatan terhadap tradisi lokal dan penegakan hukum pidana. Ada kebutuhan untuk dialog dan koordinasi yang lebih baik antara aparat penegak hukum dan pemimpin adat untuk memastikan bahwa penegakan hukum pidana tidak hanya mengedepankan hukuman, tetapi juga mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan budaya yang mendalam dari tradisi Merariq.

Untuk mengurangi pelanggaran hukum pidana dalam tradisi Merariq, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat, dan lembaga adat. Salah satunya adalah pendidikan dan penyuluhan hukum yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak individu, batasan usia pernikahan, dan konsekuensi hukum dari pelanggaran tersebut. Dengan meningkatkan pemahaman tentang hak-hak hukum dan kewajiban, masyarakat diharapkan dapat menjalankan tradisi Merariq dengan cara yang lebih sesuai dengan hukum yang berlaku (Dewi & Purana, 2022).

Selain itu, kerjasama antara aparat penegak hukum dan lembaga adat juga penting untuk menciptakan pendekatan yang holistik dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan tradisi Merariq. Penegakan hukum yang adil dan sensitif terhadap budaya dapat membantu mengurangi pelanggaran hukum pidana sekaligus melindungi hak-hak individu. Pendekatan yang menggabungkan elemen-elemen adat dan hukum formal ini dapat membantu menciptakan keseimbangan antara penghormatan terhadap tradisi dan penegakan hukum yang efektif.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prosesi Merariq, meskipun kaya dengan nilai budaya dan tradisi, memiliki implikasi hukum pidana yang signifikan, terutama terkait dengan pernikahan di bawah umur, pemaksaan, dan pelanggaran hak individu. Pertentangan antara hukum adat dan hukum pidana menunjukkan kompleksitas dalam mengelola dan menegakkan hukum di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi. Melalui pendidikan hukum, dialog, dan kerjasama antara aparat penegak hukum dan lembaga adat, diharapkan tradisi Merariq dapat dilaksanakan dengan cara yang menghormati nilai-nilai budaya sekaligus mematuhi hukum yang berlaku. Ini penting untuk memastikan bahwa tradisi Merariq dapat terus diwariskan kepada generasi mendatang tanpa mengorbankan hak-hak dan keselamatan individu yang terlibat.

Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Merariq

Tradisi Merariq adalah salah satu warisan budaya masyarakat Sasak di Lombok yang telah berlangsung selama berabad-abad. Sebagai sebuah masyarakat dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Sasak telah mengalami proses akulturasi. Nilai-nilai Islam dan tradisi lokal seperti Merariq saling memengaruhi dan membentuk identitas budaya mereka. Proses akulturasi ini menunjukkan bagaimana agama dan budaya lokal dapat bersinergi untuk menciptakan praktik sosial yang menghormati tradisi sambil tetap sejalan dengan ajaran agama.

Akulturasi nilai-nilai Islam dalam tradisi Merariq terlihat dalam berbagai aspek prosesi pernikahan itu sendiri. Salah satu elemen penting adalah perlunya pernikahan yang sah menurut ajaran Islam, yaitu adanya wali, mahar, saksi, dan ijab kabul. Dalam banyak kasus, setelah prosesi Merariq atau 'kawin lari', pasangan tersebut akan segera dinikahkan secara resmi sesuai dengan hukum Islam oleh seorang penghulu. Langkah ini menunjukkan bagaimana elemen-elemen adat Merariq diselaraskan dengan syarat-syarat pernikahan dalam Islam untuk memastikan keabsahan pernikahan secara religius dan sosial (Hotimah & Widodo, 2021).

Selain itu, praktik-praktik ritual yang mengiringi Merariq, seperti pembacaan doa dan zikir sebelum dan selama prosesi, merupakan bentuk nyata dari integrasi nilai-nilai Islam. Dalam masyarakat Sasak, pernikahan tidak hanya dilihat sebagai kontrak sosial, tetapi juga sebagai ibadah yang membawa berkah dan rahmat dari Allah. Oleh karena itu, berbagai upacara yang dilakukan dalam Merariq sering kali disertai dengan permohonan restu dan perlindungan dari Tuhan, mencerminkan kepercayaan dan pengabdian religius komunitas tersebut.

Tokoh agama memiliki peran penting dalam proses akulturasi nilai-nilai Islam dalam tradisi Merariq. Sebagai pemimpin spiritual, mereka berperan dalam memberikan nasihat dan bimbingan kepada pasangan yang akan menikah serta keluarga mereka. Tokoh agama sering kali terlibat dalam negosiasi dan mediasi yang terjadi selama prosesi Merariq, memastikan bahwa praktik tersebut tidak hanya sesuai dengan adat tetapi juga sejalan dengan ajaran Islam. Misalnya, dalam negosiasi mengenai 'belis' (mas kawin), tokoh agama mungkin akan mengingatkan tentang pentingnya kesederhanaan dan tidak berlebihan, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam (Ferdiansyah, 2019).

Keberadaan tokoh agama dalam Merariq juga penting dalam menyelesaikan konflik yang mungkin timbul, terutama jika terjadi perbedaan pandangan antara keluarga yang terlibat. Dengan mengedepankan nilai-nilai Islam seperti keadilan, keseimbangan, dan penghormatan terhadap hak-hak individu, tokoh agama membantu menjaga integritas dan harmoni sosial dalam komunitas Sasak, sekaligus memastikan bahwa tradisi ini tetap relevan dan diterima dalam konteks Islam.

Meskipun banyak aspek dari tradisi Merariq telah diakulturasi dengan nilai-nilai Islam, proses ini tidak tanpa tantangan. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan interpretasi antara norma adat dan hukum Islam, terutama dalam hal pernikahan di bawah umur dan persetujuan dari kedua belah pihak. Beberapa praktik dalam Merariq, seperti 'kawin lari' tanpa sepengetahuan atau izin orang tua, dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang menekankan pentingnya persetujuan wali dan perlindungan terhadap anak (Aprianita, 2023).

Selain itu, ada juga tantangan dalam mempertahankan keaslian budaya lokal sambil tetap mematuhi norma-norma Islam. Beberapa anggota masyarakat mungkin merasa bahwa perubahan atau adaptasi yang terlalu besar dapat mengikis identitas budaya Sasak yang unik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang sensitif dan bijaksana untuk menjaga keseimbangan antara mempertahankan tradisi dan menghormati ajaran agama.

Adaptasi dan inovasi merupakan bagian penting dari proses akulturasi yang sedang berlangsung dalam tradisi Merariq. Salah satu contohnya adalah penyederhanaan upacara pernikahan untuk mengurangi beban ekonomi dan memudahkan pelaksanaan sesuai dengan ajaran Islam tentang kesederhanaan dan ketulusan. Dalam beberapa komunitas, misalnya, prosesi 'nyongkolan' yang tradisionalnya melibatkan iring-iringan besar dan mewah, telah disederhanakan untuk menekankan esensi dari pernikahan itu sendiri, yaitu penyatuan dua individu dengan restu Tuhan (Fitrianita et al., 2019).

Inovasi lain yang muncul adalah pendidikan dan penyuluhan tentang pernikahan dalam Islam yang diberikan kepada generasi muda. Melalui program-program pendidikan ini, masyarakat diajak untuk memahami pentingnya nilai-nilai Islam dalam pernikahan, termasuk persetujuan, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap pasangan. Upaya ini membantu memastikan bahwa tradisi Merariq dapat terus berkembang dengan cara yang menghormati adat sekaligus sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dari uraian di atas, adapat disimpulkan bahwa akulturasi nilai-nilai Islam dalam tradisi Merariq suku Sasak menunjukkan bagaimana agama dan budaya lokal dapat berinteraksi untuk membentuk praktik sosial yang kaya dan bermakna. Meskipun ada tantangan dalam menyelaraskan adat dengan hukum Islam, proses ini juga menciptakan peluang untuk inovasi dan adaptasi yang memperkaya tradisi itu sendiri. Dengan memperkuat peran tokoh agama, mengedukasi masyarakat, dan mencari keseimbangan antara tradisi dan ajaran agama, Merariq dapat terus menjadi bagian integral dari identitas budaya Sasak yang menghormati warisan leluhur sekaligus memenuhi tuntutan kehidupan modern dan nilai-nilai Islam.

Perubahan Nilai Budaya dalam Tradisi Merariq

Tradisi Merariq, yang melibatkan 'kawin lari' atau proses pengambilan calon pengantin perempuan oleh pria tanpa persetujuan langsung dari orang tua perempuan, telah menjadi bagian integral dari identitas budaya masyarakat Sasak di Lombok. Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini mengalami perubahan dalam nilai-nilai budaya yang menyertainya. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti modernisasi, globalisasi, dan meningkatnya kesadaran akan hak-hak individu, terutama hak-hak perempuan dan anak. Mengelaborasi perubahan ini membantu memahami bagaimana masyarakat Sasak menavigasi antara pelestarian adat dan adaptasi terhadap norma-norma modern.

Modernisasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara pandang masyarakat terhadap tradisi, termasuk Merariq. Pada awalnya, Merariq dianggap sebagai sebuah kewajiban sosial dan budaya yang mengatur hubungan pernikahan dan memastikan kohesi sosial. Nilai-nilai seperti penghormatan terhadap keluarga, kepatuhan terhadap adat, dan pentingnya status sosial sangat ditekankan. Namun, seiring dengan meningkatnya pendidikan, urbanisasi, dan pengaruh media, pandangan ini mulai berubah. Masyarakat, terutama generasi muda, makin mempertanyakan relevansi dari beberapa aspek tradisi Merariq, terutama yang berkaitan dengan pemaksaan atau pernikahan dini (Lamhatul et al., 2021).

Generasi muda yang lebih terpapar oleh nilai-nilai modern dan global cenderung lebih menekankan pada hak-hak individu, kesetaraan gender, dan kebebasan memilih pasangan. Ini mencerminkan perubahan nilai dari kepatuhan terhadap norma-norma sosial menuju penekanan pada otonomi pribadi dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Akibatnya, beberapa praktik tradisional dalam Merariq, seperti 'kawin lari' tanpa persetujuan, mulai ditinggalkan atau dimodifikasi untuk lebih menghormati hak-hak individu.

Secara tradisional, Merariq mencerminkan nilai-nilai kolektivisme. Keputusan tentang pernikahan lebih sering ditentukan oleh keluarga besar atau komunitas, dan kepentingan kolektif diutamakan di atas kepentingan individu. Namun, seiring dengan meningkatnya pengaruh modernisasi dan pendidikan, nilai-nilai ini mulai berubah. Generasi muda Sasak sekarang lebih menghargai otonomi pribadi dan hak untuk memilih pasangan hidup mereka sendiri tanpa intervensi yang berlebihan dari keluarga atau masyarakat. Nilai-nilai individualisme ini menekankan pentingnya persetujuan dan kehendak bebas dari pasangan yang akan menikah, yang dalam beberapa kasus berkontradiksi dengan praktik Merariq tradisional (Lamhatul et al., 2021).

Perubahan nilai budaya dalam Merariq juga terlihat dalam meningkatnya kesadaran akan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Tradisi Merariq yang sebelumnya sering dilakukan tanpa persetujuan penuh dari perempuan kini mulai ditinjau kembali dalam kerangka hak asasi manusia. Pengaruh gerakan global untuk kesetaraan gender dan pendidikan tentang hak-hak perempuan telah memengaruhi masyarakat Sasak untuk lebih menghargai persetujuan dan partisipasi aktif perempuan dalam proses pernikahan. Hal ini mencerminkan perubahan dari praktik-praktik yang bersifat patriarkis menuju pendekatan yang lebih egaliter dan inklusif (Ferdiansyah, 2019).

Selain perubahan nilai-nilai sosial dan gender, tradisi Merariq juga menghadapi tantangan dari norma hukum modern. Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur usia minimum untuk menikah dan melarang pernikahan paksa. Norma hukum ini bertujuan untuk melindungi hak anak dan memastikan pernikahan yang dilakukan berdasarkan persetujuan dan kesepakatan yang bebas. Namun, praktik tradisional seperti Merariq, yang melibatkan elemen 'kawin lari', sering kali berbenturan dengan undang-undang ini, terutama jika melibatkan remaja di bawah umur.

Untuk menyesuaikan diri dengan norma hukum modern, masyarakat Sasak telah melakukan berbagai adaptasi. Misalnya, setelah prosesi Merariq, pasangan sering kali segera dinikahkan secara resmi di bawah hukum Islam dan nasional untuk memastikan keabsahan pernikahan mereka. Selain itu, ada upaya untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya persetujuan, usia minimum untuk menikah, dan dampak negatif dari pernikahan dini. Adaptasi ini menunjukkan bahwa tradisi Merariq mampu bertransformasi dan beradaptasi dengan perubahan zaman, sambil tetap mempertahankan elemen-elemen yang esensial dari budaya Sasak (Azhari, 2023).

Seiring dengan perubahan nilai budaya, ada juga penekanan yang lebih besar pada integrasi nilai-nilai Islam dalam praktik Merariq. Masyarakat Sasak, yang mayoritas beragama Islam, mulai mengadaptasi tradisi ini agar lebih selaras dengan ajaran agama mereka. Ini termasuk memastikan bahwa pernikahan dilaksanakan dengan cara yang sah secara agama, seperti mendapatkan persetujuan dari wali dan memenuhi syarat-syarat pernikahan dalam Islam. Akulturasi ini mencerminkan upaya masyarakat untuk menyeimbangkan antara melestarikan tradisi dan mematuhi nilai-nilai religius (Hotimah & Widodo, 2021).

Dari uaraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai budaya dalam tradisi Merariq mencerminkan bagaimana masyarakat Sasak berusaha untuk menyeimbangkan antara mempertahankan warisan budaya dan beradaptasi dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan hukum modern. Pergeseran dari kolektivisme menuju individualisme, peningkatan kesadaran akan kesetaraan gender, adaptasi terhadap norma hukum modern, dan pengaruh globalisasi adalah beberapa faktor utama yang memengaruhi bagaimana tradisi ini dipraktikkan dan dipahami. Dengan mempertahankan dialog terbuka dan menghargai nilai-nilai lokal sambil mengadopsi perubahan yang diperlukan, tradisi Merariq dapat terus berkembang sebagai bagian penting dari identitas budaya masyarakat Sasak.

Peran Institusi Pendidikan dalam Mempertahankan Tradisi Merariq

Tradisi Merariq merupakan bagian integral dari budaya masyarakat Sasak di Lombok, dan telah diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi, institusi pendidikan memegang peranan penting dalam mempertahankan dan melestarikan tradisi ini. Peran institusi pendidikan tidak hanya terbatas pada upaya melestarikan nilai-nilai budaya, tetapi juga pada adaptasi tradisi tersebut agar tetap relevan dan selaras dengan nilai-nilai modern, termasuk kesetaraan gender dan hak asasi manusia.

Institusi pendidikan formal seperti sekolah dan universitas di Lombok memainkan peran penting dalam mengenalkan tradisi Merariq kepada generasi muda. Melalui kurikulum lokal yang mengintegrasikan sejarah dan budaya lokal, siswa dapat belajar tentang asal-usul, makna, dan prosedur Merariq. Mata pelajaran seperti sejarah lokal, pendidikan agama, dan kebudayaan sering kali mencakup diskusi mengenai tradisi Merariq, yang membantu siswa memahami pentingnya tradisi ini dalam konteks sosial dan budaya Sasak (Husnan, 2018).

Selain pendidikan formal, institusi pendidikan non-formal seperti sanggar seni, pusat kebudayaan, dan program pelatihan komunitas juga memainkan peran kunci. Di tempat-tempat ini, generasi muda dapat belajar tentang aspek praktis Merariq, termasuk ritual dan prosesi tradisional, melalui pengalaman langsung dan partisipasi dalam upacara adat. Pendidikan non-formal ini memungkinkan anak muda untuk merasakan langsung nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam Merariq, sehingga mereka lebih menghargai dan berkomitmen untuk melestarikannya.

Salah satu aspek penting dari peran institusi pendidikan adalah mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang terkait dengan tradisi Merariq. Nilai-nilai seperti penghormatan terhadap orang tua, tanggung jawab sosial, dan kesetiaan dipandang sebagai inti dari tradisi Merariq. Institusi pendidikan dapat berperan dalam menguatkan nilai-nilai ini dengan mengintegrasikan ajaran agama dan etika dalam pengajaran tentang Merariq.

Tokoh agama dan guru sering kali dilibatkan dalam mengajarkan pentingnya nilai-nilai ini kepada siswa. Mereka menekankan bahwa Merariq bukan sekadar prosesi pernikahan, tetapi juga sebuah bentuk ibadah dan pengabdian kepada Tuhan, serta cara untuk menjaga keharmonisan dan kohesi sosial dalam masyarakat. Dengan mempromosikan pemahaman ini, institusi pendidikan membantu memastikan bahwa generasi muda tidak hanya melihat Merariq sebagai tradisi formal, tetapi juga sebagai ekspresi nilai-nilai spiritual dan moral yang mendalam (Ferdiansyah, 2019).

Institusi pendidikan juga berperan dalam adaptasi dan pembaruan tradisi Merariq agar tetap relevan dalam konteks modern. Salah satu tantangan utama dalam mempertahankan tradisi adalah memastikan bahwa tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern seperti kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan hukum nasional. Dalam hal ini, institusi pendidikan dapat berperan sebagai mediator yang menghubungkan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan zaman.

Program-program pendidikan yang fokus pada hak-hak perempuan, pencegahan pernikahan dini, dan pentingnya persetujuan dalam pernikahan membantu mengedukasi masyarakat tentang bagaimana Merariq dapat dijalankan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai modern. Dengan cara ini, institusi pendidikan tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga memastikan bahwa tradisi tersebut berkembang sesuai dengan perubahan sosial dan hukum (Dewi & Purana, 2022).

Pendidikan juga berfungsi sebagai sarana dialog antar-generasi. Nilai-nilai dan pengetahuan tentang Merariq dapat ditransmisikan dari generasi tua kepada generasi muda. Sekolah, universitas, dan lembaga kebudayaan sering kali mengadakan seminar, diskusi, dan lokakarya yang melibatkan tokoh adat, cendekiawan, dan generasi muda. Kegiatan-kegiatan ini menyediakan platform untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta untuk mendiskusikan bagaimana tradisi Merariq dapat dipertahankan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Melalui dialog ini, generasi muda tidak hanya menerima pengetahuan dari generasi sebelumnya, tetapi juga memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, memberikan pandangan, dan berkontribusi pada pengembangan tradisi. Dialog antar-generasi ini penting untuk memastikan bahwa tradisi Merariq tidak hanya dilestarikan secara pasif, tetapi terus hidup dan berkembang dengan partisipasi aktif dari semua anggota masyarakat (Lamhatul et al., 2021).

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa peran institusi pendidikan dalam mempertahankan tradisi Merariq sangat penting untuk menjaga kelangsungan dan relevansi budaya ini di tengah perubahan sosial yang cepat. Melalui pendidikan formal dan non-formal, pengajaran nilai-nilai moral dan etika, adaptasi tradisi dengan nilai-nilai modern, serta dialog antar-generasi, institusi pendidikan membantu memastikan bahwa Merariq tidak hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga bagian vital dari identitas budaya masa kini dan masa depan masyarakat Sasak. Dengan pendekatan yang holistik dan inklusif, tradisi Merariq dapat terus dihargai, dipahami, dan dilestarikan oleh generasi-generasi mendatang.

Daftar Pustaka:

Anggraeny, B. D. (2017). Keabsahan Perkawinan Hukum Adat Lombok (Merarik) Ditinjau dari Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam (Studi di Kabupaten Lombok Tengah). De Jure: Jurnal Hukum Dan Syar’iah, 9(1). https://doi.org/10.18860/j-fsh.v9i1.4375

Anggraini, N., Dahlan, D., & Haslan, M. (2018). Nilai-Nilai Pancasila dalam Merariq pada Masyarakat Sasak. Jurnal Pendidikan Sosial  Keberagaman, 5(1), 158–170. https://doi.org/10.29303/juridiksiam.v5i1.81

Anon, M., & Ahmadi, N. (2021). Linguistic and Cultural Demystifying of Sasak Merariq. International Journal of Languages and Culture, 1(3), 8. https://doi.org/10.51483/IJLC.1.3.2021.8-17

Aprianita, T. (2023). Tinjauan Kaidah-Kaidah Fiqhiyah Terhadap Adat Merariq (Kawin Culik) Pada Tradisi Perkawinan Adat Suku Sasak. Al Maqashidi: Jurnal Hukum Islam Nusantara, 6(2), 104–114. https://doi.org/10.32665/almaqashidi.v6i2.2451

Azhari, D. (2023). Prosesi Adat (Merariq) dalam Kacamata Hukum Pidana di Masyarakat Lombok Tengah (Studi Kasus di Kelurahan Gerantung Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah NTB). Al-Jinayah Jurnal Hukum Pidana Islam, 9(1), 1–12. https://doi.org/10.15642/aj.2023.9.1.1-12

Azwar, W., Mayasari, D., Winata, A., Garba, M. M., & Isnaini. (2024). Exploration of the Merariq Tradition in Sasak Lombok, Indonesia: Analysis in Islamic Law and Socio-Cultural Dynamics Perspectives. IBDA`: Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 22(1), 23–38. https://doi.org/10.24090/ibda.v22i1.10766

Dewi, S. P., & Purana, I. M. B. (2022). IMPLEMENTASI GERAKAN ANTI MERARIK KODEQ (GAMAK) DALAM UPAYA MENEKAN PERNIKAHAN DINI DI KECAMATAN KEDIRI KABUPATEN LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT. Jurnal Konstituen, 4(1), 9–24. https://doi.org/10.33701/jk.v4i1.2702

Fairiza, A., & Widyatama, R. (2024). MERARIQ DALAM PERNIKAHAN SUKU SASAK: ANALISIS KOMUNIKASI DAN DINAMIKA SOSIAL DALAM RITUAL PENCULIKAN. Jurnal Analisa Sosiologi, 13(1), 193–218. https://doi.org/https://doi.org/10.20961/jas.v13i1.74926

Ferdiansyah, D. S. (2019). Akulturasi Nilai-Nilai Islam Dalam Tradisi Merariq Melalui Pola Komunikasi Tokoh Agama di Lombok Timur. KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan, 12(1), 17–46. https://doi.org/10.35905/kur.v12i1.775

Fitrianita, T., Kholifah, S., & Adawiyah, R. (2019). Perempuan Nyurlembang Dalam Tradisi Merarik. SIMULACRA: JURNAL SOSIOLOGI, 1(2). https://doi.org/10.21107/sml.v1i2.4989

Haerani, R. (2024). THE LEGAL CONSEQUENCES OF UNDERAGE MARRIAGE IN THE MERARIQ CULTURE OF THE SASAK TRIBE IN MEREMBU VILLAGE, LABUAPI DISTRICT, WEST LOMBOK REGENCY. Mawaddah: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 2(1), 101–124. https://doi.org/10.52496/mjhki.v2i1.33

Hamdani, F., & Fauzia, A. (2022). Tradisi Merariq dalam Kacamata Hukum Adat dan Hukum Islam. Jurnal Hukum Lex Generalis, 3(6), 433–447. https://doi.org/10.56370/jhlg.v3i6.245

Haq, H. S., & Hamdi. (2016). PERKAWINAN ADAT MERARIQ DAN TRADISI SELABAR DI MASYARAKAT SUKU SASAK. Perspektif.

Haslan, M. M., & Dahlan, D. (2022). Dampak Merariq Terhadap Masyarakat Suku Sasak (Studi Pada Masyarakat Suku Sasak di Desa Rumak Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat). CIVICUS: Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 10(1), 21. https://doi.org/10.31764/civicus.v10i1.9698

Hotimah, H., & Widodo, A. (2021). THE MERARIQ CULTURE OF THE SASAK IN THE PERSPECTIVE OF ISLAMIC SHARIA. SocioEdu: Sociological Education, 2(1), 15–21. https://doi.org/10.59098/socioedu.v2i1.302

Husnan, H. (2018). PERAN MADRASAH DALAM PEMBELAJARAN FIQIH TERHADAP TRADISI MERARIQ FAKTOR PENDUKUNG DIPERTAHANKANNYA OLEH MASYARAKAT KEKAIT KECAMATAN GUNUNGSARI LOMBOK BARAT (Studi Kasus Peranan Madrasah di Desa Terpencil). Ibtida’iy: Jurnal Prodi PGMI, 3(1), 21. https://doi.org/10.31764/ibtidaiy.v3i1.1053

Ilmalia, R. M., Budiartha, I. N. P., & Sudibya, D. G. (2021). Pelaksanaan Tradisi Perkawinan Merariq (Besebo) Suku Sasak di Lombok Timur. Jurnal Interpretasi Hukum, 2(3), 479–483. https://doi.org/10.22225/juinhum.2.3.4123.479-483

Jamaludin, J., & Sugitanata, A. (2021). Tradisi Ngorek Pada Upacara Nyongkolan Perkawinan Adat Sasak Tanak Awu. AL-HUKAMA’, 10(2), 319–348. https://doi.org/10.15642/alhukama.2020.10.2.319-348

Jayanti, I. G. N. (2014). BENTUK DAN PROSESI PERKAWINAN ADAT SASAK (SEBUAH PENDEKATAN ANTROPOLOGIS). Jnana Budaya: Media Informasi Sejarah, Sosial, Dan Budaya, 19(1).

Kurniawan, T., Syifa’unnufus, F., & Tamara, R. N. (2023). Tinjauan Hukum Pidana terhadap Adat Merariq di Masyarakat Lombok Tengah. Jurnal Riset Sosial Humaniora Dan Pendidikan, 2(1), 127–139. https://doi.org/10.56444/soshumdik.v2i1.566

Lamhatul, R., Mabrur, M., & Dahlan, D. (2021). PERUBAHAN NILAI BUDAYA DALAM TRADISI MERARIQ ANTARA MASYARAKAT BANGSAWAN DAN MASYARAKAT JAJARKARANG PADA MASYARAKAT SUKU SASAK (Studi Di Desa Sakra Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur). Jurnal Pendidikan Sosial  Keberagaman, 8(2), 137–147. https://doi.org/10.29303/juridiksiam.v8i2.253

Maharani, H. P. (2024, June 27). Tradisi Nyongkolan di Lombok, Prosesi Pernikahan Unik Adat Sasak  . Detik.Com. https://www.detik.com/bali/budaya/d-7411312/tradisi-nyongkolan-di-lombok-prosesi-pernikahan-unik-adat-sasak

Qadafi, M., & Agustiningsih, N. (2021). PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK MENCEGAH MERARIQ KODEQ (PERNIKAHAN DINI) DI MA AL-ISLAHUDDINY. Jurnal PkM Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(3), 222. https://doi.org/10.30998/jurnalpkm.v4i3.6427

Saprudin, S. (2019). DAMPAK TRADISI BEGAWE MERARIK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT ISLAM SASAK DI KOTA MATARAM. Nurani: Jurnal Kajian Syari’ah Dan Masyarakat, 19(1), 119–126. https://doi.org/10.19109/nurani.v19i1.2778

Sarmini, Nadiroh, U., & Fahmi, M. S. (2018). Reduce conflicts in traditional merariq traditions through the long tradition of the tribal people of sasak lombok. Journal of Physics: Conference Series, 953(1), 012186. https://doi.org/10.1088/1742-6596/953/1/012186

Syaripudin, A., Wahab, A. R., & Muzanni. (2022). Tinjauan Hukum Islam terhadap Perkawinan Merariq Perempuan Bangsawan (Menak) dengan Lak-laki Bukan Bangsawan (Jajar Karang) Menurut Hukum Adat Sasak (Studi Kasus Desa Penujak Kabupaten Lombok Tengah). BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam, 3(2), 144–155. https://doi.org/10.36701/bustanul.v3i2.578

  

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa