Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak
Oleh: Lukmanul Hakim
Tradisi Merariq merupakan salah satu adat istiadat
pernikahan yang khas dari suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Tradisi ini melibatkan prosesi 'kawin lari'. Seorang pria membawa pergi wanita
yang ia cintai tanpa sepengetahuan orang tuanya. Meskipun terlihat
kontroversial bagi sebagian orang luar, Merariq dianggap
sebagai bagian integral dari identitas budaya masyarakat Sasak, yang mengandung
nilai-nilai sosial, agama, dan adat istiadat yang telah diwariskan secara
turun-temurun.
Tradisi Merariq tidak hanya sekadar ritual pernikahan;
ia juga mencerminkan struktur sosial, nilai-nilai agama, serta norma-norma yang
ada di dalam masyarakat Sasak. Proses Merariq melibatkan
berbagai tahapan, mulai dari “midang” (bertandang) hingga “nyongkolan”
(iring-iringan pengantin). Dalam pelaksanaannya, tradisi ini menunjukkan
interaksi antara hukum adat, hukum Islam, dan peraturan perundang-undangan
nasional. Namun, seiring dengan perubahan sosial dan modernisasi, tradisi Merariq menghadapi
berbagai tantangan dan dinamika. Salah satu isu utama adalah bagaimana Merariq sering
dikaitkan dengan pernikahan dini, yang dapat berimplikasi pada hak-hak anak dan
kesejahteraan perempuan. Selain itu, potensi konflik sosial dan hukum yang
muncul dari perbedaan status sosial atau ketidaksetujuan keluarga juga menjadi
perhatian.
Di sisi lain, Merariq juga dipandang sebagai simbol
ketahanan budaya dan identitas masyarakat Sasak. Berbagai upaya dilakukan oleh
masyarakat dan tokoh adat untuk menjaga tradisi ini tetap relevan dan sesuai
dengan nilai-nilai modern, tanpa menghilangkan esensinya. Oleh karena
itu, Merariq menjadi subjek penting dalam studi hukum,
sosiologi, antropologi, dan kajian budaya.
Dalam pembahasan ini, kita akan mengeksplorasi berbagai tema terkait
tradisi Merariq, seperti aspek hukum, nilai-nilai budaya, potensi
konflik, dan dinamika sosial-ekonomi, yang semuanya berperan dalam
mempertahankan dan mengembangkan tradisi ini di tengah perubahan zaman.
Arti dan Makna "Merariq" dalam Konteks Masyarakat
Sasak
"Merariq" merupakan sebuah tradisi perkawinan khas yang
dijalankan oleh masyarakat Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam tradisi
ini, Merariq diartikan sebagai "kawin lari" atau
"penculikan" yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan
yang akan dinikahinya (Ilmalia et al., 2021). Meskipun sekilas terdengar
negatif, tradisi ini memiliki makna yang lebih kompleks dan mendalam bagi
masyarakat Sasak, berakar dari budaya dan nilai-nilai sosial yang mereka
anut (Anggraeny, 2017).
Merariq bukan sekadar "penculikan" dalam artian
dipaksa; melainkan biasanya dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak, baik
laki-laki maupun perempuan. Proses ini merupakan salah satu cara untuk
mewujudkan keinginan mereka untuk menikah, terutama jika ada hambatan dari
keluarga atau masyarakat dalam hubungan tersebut (Fairiza & Widyatama,
2024). Sebagai contoh, hambatan ini dapat berupa perbedaan status sosial. Pernikahan
antara perempuan bangsawan (menak) dan laki-laki bukan bangsawan (jajar
karang) sering kali menimbulkan konflik atau ketidaksetujuan dari
keluarga (Syaripudin et al., 2022).
Bentuk dan Prosesi Perkawinan Suku Sasak
Perkawinan dalam masyarakat Suku Sasak memiliki keunikan tersendiri,
terutama melalui pola perkawinan yang disebut Merariq. Proses ini
dimulai dengan melarikan seorang gadis yang akan dijadikan calon istri, dan
dianggap sebagai cara perkawinan yang paling terhormat di antara cara-cara
perkawinan lainnya dalam adat Sasak. Merariq dipandang sebagai
salah satu siklus penting dalam kehidupan manusia dan memiliki kedudukan yang
istimewa dalam budaya Sasak. Secara umum, setiap komunitas budaya memiliki
aturan dan cara mereka sendiri dalam menjalankan tradisi perkawinan. Dalam pandangan
antropologi, perkawinan adalah transaksi atau kontrak yang sah antara seorang
wanita dan pria, yang mengukuhkan hak mereka untuk berhubungan seksual secara
eksklusif, serta menegaskan bahwa wanita tersebut telah memenuhi syarat untuk
melahirkan anak (Haviland, 1999: 77).
Dalam budaya Sasak di Lombok, terdapat beberapa bentuk perkawinan yang
berbeda dalam menjalankan ritual perkawinan mereka (Jayanti, 2014).
Merariq atau Mbait adalah salah satu bentuk
perkawinan yang paling dikenal dalam adat Sasak. Kedua istilah ini mengandung
makna melarikan seorang gadis oleh seorang pemuda untuk dijadikan istrinya,
yang sering diartikan sebagai kawin lari. Bagi masyarakat Sasak, Merariq berarti
mempertahankan harga diri dan menunjukkan keberanian seorang pria dalam merebut
hati gadis pujaannya. Dalam konteks ini, Merariq dipahami
sebagai cara untuk melaksanakan prosesi pernikahan dan juga sebagai upaya
meredam konflik, baik dengan pihak keluarga gadis maupun dengan pemuda lain
yang juga menginginkan gadis tersebut. Logika di balik Merariq adalah
bahwa dengan melarikan gadis tersebut, si pemuda menunjukkan bahwa ia cukup
berani dan layak menjadi suaminya, serta menghindari potensi konflik yang
mungkin timbul.
Selain Merariq, ada juga bentuk perkawinan yang dikenal
sebagai belakoq. Belakoq berarti meminta, dan pola
ini biasanya dilakukan di kalangan yang memiliki ikatan kekerabatan dekat,
seperti sepupu. Meskipun tidak lazim, perkawinan dengan keluarga dekat,
terutama sepupu, sering diutamakan dalam adat Sasak. Dalam masyarakat perkotaan,
pola belakoq lebih sering dipilih karena lebih sederhana dan
dianggap lebih manusiawi, sejalan dengan perubahan pola pikir akibat pengaruh
pendidikan dan budaya luar. Selain Merariq dan belakoq,
terdapat pula pola perkawinan lain seperti Kawin Nyerah Hukum, Kawin
Tadong, dan Kawin Ngiwet (Jayanti, 2014). Namun, pola-pola
ini kini mulai jarang dilaksanakan karena dinilai kurang relevan dengan kondisi
kekinian.
Prosesi perkawinan adat Sasak terdiri atas beberapa tahapan yang harus
dijalankan sesuai dengan adat istiadat setempat. Tahapan pertama adalah
melarikan calon pengantin perempauan. Pada tahap ini, laki-laki dengan bantuan
teman-temannya "menculik" perempuan tersebut ke tempat yang telah
disepakati. Biasanya, perempuan sudah mengetahui dan menyetujui rencana ini,
meskipun dalam beberapa kasus, hal ini dapat dilakukan tanpa sepengetahuan
penuh dari perempuan sebagai bagian dari drama sosial yang ditampilkan (Anon
& Ahmadi, 2021).
Tahap berikutnya adalah Mesejati/Besejati. Pada tahap ini pihak laki-laki
menugaskan utusan untuk menemui tokoh masyarakat setempat guna menginformasikan
bahwa seorang gadis telah diambil untuk dinikahi. Mesejati bertujuan
untuk memberikan kepastian kepada keluarga gadis mengenai keberadaan dan niat
baik pihak laki-laki.
Tahap berikutnya adalah Selabar. Pada tahap ini keluarga laki-laki
mengungkapkan niat baik mereka kepada keluarga gadis, termasuk informasi
tentang asal usul dan status sosial calon pengantin laki-laki. Dalam proses
ini, para utusan mengenakan pakaian adat dan membawa properti simbolis
seperti pecanangan (penginang kuning) dan sesirah (kain
putih dan hitam yang diikat). Proses ini memastikan bahwa keluarga perempuan
mengetahui identitas dan latar belakang calon pengantin laki-laki. Tahap ini
juga mencakup diskusi tentang mahar dan detail pernikahan lainnya (Azwar
et al., 2024).
Setelah itu, dilanjutkan dengan Bait Wali (Nunut Wali), yaitu
permintaan wali nikah dari pihak perempuan, biasanya ayah atau kerabat dekat.
Wali akan datang ke rumah pengantin laki-laki untuk menikahkan anak
perempuannya. Dalam beberapa kasus, wali dari pihak perempuan mendatangi rumah
pengantin laki-laki dengan beberapa anggota keluarga, sesuai kesepakatan kedua
belah pihak.
Proses berikutnya adalah Mengambil Janji (Bait Janji), yang melibatkan
negosiasi antara keluarga untuk menentukan hal-hal penting seperti mahar (aji
kerama) dan tanggung jawab lainnya. Negosiasi ini mencakup persiapan untuk
upacara sorong serah dan memastikan bahwa semua permintaan
telah dipenuhi sebelum pernikahan dilangsungkan.
Tahap puncak dari prosesi perkawinan adalah Upacara Aji Krama (Sorong
Serah). Ini adalah inti dari prosesi perkawinan adat Sasak. Pada tahap ini
properti yang disepakati sebelumnya dibawa dan dipersembahkan kepada keluarga
perempuan. Upacara ini menandakan kesiapan laki-laki untuk menjadi suami yang
bertanggung jawab dan merupakan simbol dari pengesahan perkawinan secara adat.
Dalam sorong serah, berbagai aspek seperti denda adat dan
pengesahan status sosial juga dibicarakan.
Setelah upacara inti, dilaksanakan Nyongkol, sebuah karnaval
atau parade yang mengumumkan pernikahan kepada masyarakat luas. Acara nyongkol ini
diikuti oleh acara pesta yang melibatkan keluarga dan masyarakat luas (Maharani,
2024). Rombongan pengantin pria dan wanita berpawai dengan diiringi musik
tradisional dan kesenian lainnya, menunjukkan kegembiraan dan kebesaran
perayaan. Nyongkol adalah bagian dari ritual yang
memperlihatkan kepada masyarakat bahwa pasangan tersebut telah sah menjadi
suami istri.
Prosesi perkawinan adat Sasak ditutup dengan Bales Ones Nae.
Prosesi ini merupakan acara penutup yang biasanya hanya dihadiri oleh kerabat
dekat dari kedua belah pihak keluarga. Acara ini tidak bersifat formal, tetapi
lebih menekankan pada suasana kekeluargaan. Pada tahap ini kedua keluarga
saling mengenal lebih dekat dan mempererat tali silaturahmi. Inti dari Bales
Ones Nae adalah mempererat hubungan antara kedua keluarga besar yang
baru saja disatukan melalui pernikahan, dengan saling memperkenalkan sanak
famili, seperti kakek, nenek, sepupu, paman, dan anggota keluarga lainnya.
Kehadiran kerabat dalam acara ini bertujuan untuk mempererat ikatan batin dan
silaturahmi yang telah terbentuk melalui ikatan perkawinan.
Dengan melalui berbagai tahapan ini, perkawinan adat Sasak bukan hanya
menjadi sebuah ikatan antara dua individu, tetapi juga antara dua keluarga
besar, dengan menekankan nilai-nilai kehormatan, keberanian, dan tanggung jawab
sosial. Perkawinan ini mencerminkan cara masyarakat Sasak menjaga tradisi dan
nilai-nilai budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, tradisi Merariq memiliki dimensi
yang kaya dan multifaset, mencakup aspek-aspek budaya, hukum adat, dan
agama. Meskipun terlihat sederhana sebagai bentuk kawin lari, tradisi ini
memiliki prosedur yang terstruktur dan penuh dengan makna. Merariq mencerminkan
upaya masyarakat Sasak dalam menjaga harmoni sosial dan menjaga identitas
budaya mereka, meskipun juga menghadapi tantangan, terutama dalam konteks
modernitas dan hukum formal. Dalam beberapa hal, tradisi ini telah diadaptasi
atau bahkan diperdebatkan keabsahannya dalam konteks hukum negara dan hukum
Islam.
Aspek Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Merariq
Tradisi Merariq di masyarakat Sasak merupakan salah satu
bentuk adat istiadat pernikahan yang memiliki kekhasan tersendiri. Dalam hal
ini adat dan agama sering kali saling bersinggungan. Dalam konteks ini, peran
hukum Islam dan hukum adat menjadi sangat penting untuk dipahami dan
dianalisis. Tradisi Merariq tidak hanya sekadar prosesi
pernikahan, melainkan juga mencerminkan aturan dan nilai-nilai yang diakui
dalam masyarakat Sasak. Oleh karena itu, memahami Merariq dari
perspektif hukum Islam dan hukum adat dapat memberikan wawasan tentang
bagaimana norma-norma ini saling berinteraksi dan memengaruhi praktik sosial di
masyarakat Sasak.
Dalam perspektif hukum Islam, pernikahan adalah sebuah kontrak suci yang
harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti adanya wali, saksi, mahar, dan
kesepakatan dari kedua belah pihak. Studi oleh Syaripudin et al. (2022) menyoroti
bagaimana tradisi Merariq, terutama dalam konteks pernikahan antara
perempuan bangsawan (menak) dengan laki-laki bukan bangsawan (jajar
karang), diinterpretasikan dalam hukum Islam. Hukum Islam menggarisbawahi
pentingnya persetujuan wali perempuan dalam pernikahan. Hal ini terkadang
berbenturan dengan praktik Merariq, karena perempuan dibawa tanpa sepengetahuan
keluarganya. Hal ini dapat menimbulkan dilema hukum yang memerlukan adaptasi
dan penyesuaian agar sesuai dengan ketentuan syariah, sekaligus menghormati
adat lokal.
Di sisi lain, hukum adat Sasak memberikan legitimasi terhadap
praktik Merariq sebagai bagian dari tradisi lokal yang sudah
berlangsung lama. Hukum adat menekankan pentingnya keselarasan sosial dan
keharmonisan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam banyak kasus,
penyelesaian konflik yang muncul akibat Merariq lebih sering
dilakukan melalui jalur mediasi adat daripada melalui peradilan formal. Hukum
adat memberikan fleksibilitas dalam menangani kasus-kasus yang mungkin dianggap
melanggar hukum Islam atau hukum nasional, dengan mempertimbangkan konteks sosial
dan kultural setempat. Seperti yang diungkapkan oleh Hamdani & Fauzia
(2022), hukum adat dan hukum Islam sering kali berjalan berdampingan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak, meskipun ada perbedaan interpretasi dan
penekanan antara keduanya.
Lebih lanjut, Anggraeny (2017) dalam studinya menyoroti
bagaimana Merariq ditinjau dari perspektif Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan hukum Islam. Dalam UU tersebut, pernikahan
harus dilandasi oleh persetujuan kedua mempelai dan diakui sah jika sesuai
dengan agama dan keyakinan masing-masing. Namun, dalam praktik Merariq,
sering kali muncul tantangan terkait kesetaraan dan hak-hak perempuan, terutama
dalam hal persetujuan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai individu. Hal ini
menunjukkan adanya kebutuhan untuk merekonsiliasi antara nilai-nilai
tradisional dan persyaratan hukum modern, serta bagaimana Merariq dapat
beradaptasi agar tidak melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia yang
dijunjung dalam hukum nasional dan internasional.
Oleh karena itu, kajian terhadap aspek hukum Islam dan hukum adat dalam
tradisi Merariq menunjukkan adanya kebutuhan untuk menemukan
titik temu antara nilai-nilai adat yang telah mengakar kuat dalam budaya Sasak
dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan hukum modern yang menjunjung tinggi hak
individu dan keadilan sosial. Adaptasi dan reinterpretasi terhadap tradisi ini
mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa Merariq tetap
relevan dan dapat diterima dalam konteks sosial dan hukum yang terus
berkembang.
Nilai-nilai Pancasila dalam Tradisi Merariq
Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia, mengandung
nilai-nilai yang menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nilai-nilai ini meliputi ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan sosial. Dalam konteks tradisi Merariq suku Sasak,
nilai-nilai Pancasila juga dapat ditemukan dan diimplementasikan, mencerminkan
bagaimana adat istiadat lokal dapat selaras dengan prinsip-prinsip nasional
yang lebih luas.
Nilai ketuhanan tercermin dalam Merariq melalui
pengakuan terhadap aspek spiritual dan religiusitas dalam proses pernikahan.
Sebagai masyarakat yang mayoritas beragama Islam, masyarakat Sasak menempatkan
pentingnya doa dan restu dari Tuhan dalam prosesi Merariq.
Penelitian oleh Anggraini et al. (2018) menunjukkan bahwa
upacara Merariq dimulai dengan niat yang tulus dan berdoa agar
pernikahan diberkati oleh Tuhan. Doa dan ritual keagamaan lainnya yang
menyertai prosesi ini adalah manifestasi dari penghargaan masyarakat Sasak
terhadap nilai Ketuhanan yang Maha Esa, yang merupakan sila pertama dalam
Pancasila.
Nilai kemanusiaan dalam Pancasila mengajarkan pentingnya penghargaan
terhadap martabat manusia dan perlakuan yang adil. Dalam tradisi Merariq,
meskipun terdapat tantangan seperti potensi pernikahan dini atau tanpa
persetujuan penuh dari kedua belah pihak, masyarakat Sasak berupaya untuk
menjaga kehormatan dan martabat individu yang terlibat. Penelitian menunjukkan
bahwa konflik yang mungkin timbul dari praktik Merariq diselesaikan
dengan cara musyawarah dan mediasi, yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan
yang adil bagi semua pihak, menghormati hak dan martabat individu, terutama
perempuan (Anggraini et al., 2018).
Merariq, sebagai tradisi yang menyatukan dua keluarga atau
kelompok sosial yang berbeda, mencerminkan nilai persatuan. Melalui prosesi
ini, bukan hanya pasangan yang disatukan, tetapi juga keluarga besar mereka.
Tradisi ini memperkuat ikatan sosial dan kohesi komunitas, yang berkontribusi
pada terciptanya persatuan di antara anggota masyarakat Sasak. Nilai persatuan
ini sejalan dengan sila ketiga Pancasila. Upaya memperkuat ikatan sosial
menjadi salah satu pilar dalam membangun bangsa yang bersatu (Anggraini et
al., 2018).
Nilai kerakyatan dan demokrasi tercermin dalam cara masyarakat Sasak
mengelola adat Merariq melalui musyawarah dan mufakat. Setiap
keputusan penting yang terkait dengan Merariq, termasuk
penyelesaian konflik atau perbedaan pendapat, dilakukan melalui proses diskusi
terbuka di antara para tetua adat, tokoh agama, dan pihak keluarga yang
terlibat. Anggraini et al. (2018) mencatat bahwa musyawarah adalah
elemen penting dalam Merariq, mencerminkan komitmen masyarakat
Sasak terhadap nilai-nilai demokrasi dan kebijaksanaan kolektif.
Nilai keadilan sosial dalam Pancasila mengajarkan pentingnya perlakuan
yang adil dan kesetaraan bagi semua warga negara. Dalam konteks Merariq,
meskipun tantangan terkait kesetaraan gender masih ada, upaya untuk
meningkatkan kesadaran tentang hak-hak perempuan dan anak serta untuk mencegah
pernikahan dini menunjukkan komitmen masyarakat Sasak terhadap keadilan sosial.
Inisiatif seperti Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK) yang
bertujuan untuk menekan praktik pernikahan usia anak adalah salah satu contoh
konkret bagaimana nilai keadilan sosial diterapkan dalam kehidupan
masyarakat (Dewi & Purana, 2022).
Secara keseluruhan, tradisi Merariq suku Sasak bukan
hanya sekadar praktik budaya lokal, tetapi juga sebuah cerminan bagaimana
nilai-nilai luhur Pancasila dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat. Nilai-nilai Pancasila membantu memastikan bahwa tradisi ini dapat
dipertahankan dan dipraktikkan dengan cara yang menghormati prinsip-prinsip
kemanusiaan, persatuan, dan keadilan, yang semuanya esensial bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Potensi Konflik dan Resolusi dalam Merariq
Tradisi Merariq, yang dikenal sebagai 'kawin lari', merupakan
salah satu adat pernikahan unik dari suku Sasak di Lombok. Meskipun tradisi ini
mengakar kuat dalam budaya lokal dan dianggap sebagai bentuk ungkapan cinta
serta upaya melestarikan warisan budaya, praktik Merariq tidak
terlepas dari potensi konflik. Konflik ini dapat muncul karena berbagai alasan,
mulai dari perbedaan status sosial hingga pelanggaran norma hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai sumber konflik dan mekanisme resolusi yang
ada dalam tradisi Merariq sangat penting untuk memastikan
bahwa praktik ini dapat dilaksanakan secara damai dan adil.
Potensi konflik dalam Merariq dapat timbul dari beberapa
sumber utama. Pertama, perbedaan status sosial antara keluarga yang
terlibat. Seperti yang dijelaskan dalam studi Syaripudin et al. (2022),
perkawinan antara perempuan bangsawan (menak) dengan laki-laki dari
kalangan biasa (jajar karang) sering kali menimbulkan ketegangan karena
dianggap tidak seimbang secara sosial dan ekonomi. Pandangan bahwa pernikahan
semacam ini dapat merendahkan status sosial keluarga bangsawan (menak)
menyebabkan ketidaksetujuan yang bisa berujung pada konflik antar keluarga.
Kedua, konflik juga dapat terjadi akibat pernikahan yang dilakukan
tanpa persetujuan orang tua atau wali, yang sering terjadi dalam praktik Merariq.
Meskipun sebagian besar masyarakat Sasak menghormati tradisi ini,
ketidaksetujuan orang tua atau wali dapat memicu konflik, baik secara internal
dalam keluarga maupun secara eksternal dengan masyarakat atau pihak
berwenang (Anggraeny, 2017).
Ketiga, aspek legalitas juga menjadi sumber potensi konflik. Dalam
beberapa kasus, praktik Merariq dapat melanggar undang-undang
nasional terkait pernikahan, seperti usia minimum untuk menikah dan persyaratan
administratif lainnya. Hal ini terutama terlihat dalam kasus pernikahan di
bawah umur, yang dalam banyak situasi, bertentangan dengan hukum yang mengatur
hak-hak anak (Haerani, 2024). Konflik antara nilai-nilai adat yang menbeliang Merariq dengan
undang-undang nasional ini menciptakan dilema bagi masyarakat, terutama ketika
upaya penegakan hukum dilakukan.
Meskipun terdapat potensi konflik yang signifikan, masyarakat Sasak
memiliki mekanisme resolusi konflik yang telah teruji waktu, yang berakar pada
nilai-nilai adat dan kebijaksanaan lokal. Salah satu mekanisme utama adalah
melalui mediasi dan musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat atau tokoh agama.
Proses ini melibatkan diskusi terbuka untuk mencapai kesepakatan bersama yang
mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat. Pendekatan ini
mencerminkan pentingnya nilai persatuan dan kerukunan dalam masyarakat Sasak. Penyelesaian
konflik diupayakan dengan cara yang paling damai dan menghindari
perpecahan (Sarmini et al., 2018).
Selain mediasi adat, mekanisme hukum formal juga dapat digunakan dalam
menyelesaikan konflik Merariq, terutama ketika terkait dengan
pelanggaran hukum nasional. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pihak berwenang
dapat terlibat dalam memastikan bahwa hak-hak semua pihak dihormati, dan bahwa
proses pernikahan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Namun, intervensi
hukum formal sering kali dianggap sebagai langkah terakhir setelah upaya
mediasi adat gagal mencapai kesepakatan (Haq & Hamdi, 2016).
Untuk mengurangi potensi konflik dalam tradisi Merariq,
berbagai upaya preventif telah dilakukan, termasuk kampanye kesadaran dan
pendidikan masyarakat tentang hak-hak pernikahan dan pentingnya persetujuan
kedua belah pihak. Inisiatif seperti Gerakan Anti Merariq Kodeq
(GAMAK), yang berfokus pada pencegahan pernikahan dini, adalah contoh konkret
dari upaya proaktif untuk mengurangi konflik yang terkait dengan Merariq.
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang risiko
dan implikasi hukum dari pernikahan dini, serta mendorong praktik pernikahan
yang lebih bertanggung jawab dan sesuai dengan norma hukum nasional (S. P.
Dewi & Purana, 2022).
Secara keseluruhan, meskipun tradisi Merariq memiliki
potensi konflik, adanya mekanisme resolusi berbasis adat dan kesadaran akan
pentingnya adaptasi terhadap norma hukum modern menunjukkan bahwa masyarakat
Sasak mampu mengelola dan menyelesaikan konflik dengan cara yang bijaksana. Hal
ini memastikan bahwa tradisi Merariq dapat dilestarikan tanpa
mengorbankan hak-hak individu dan keadilan sosial, serta tetap relevan dalam
konteks masyarakat yang terus berkembang.
Perspektif Sosial dan Ekonomi dalam Tradisi Merariq
Tradisi Merariq tidak hanya penting dalam konteks budaya
dan spiritual, tetapi juga memiliki implikasi signifikan terhadap aspek sosial
dan ekonomi masyarakat Sasak di Lombok. Sebagai suatu praktik adat yang telah
diwariskan secara turun-temurun, Merariq memengaruhi struktur
sosial dan dinamika ekonomi komunitas lokal. Memahami tradisi ini dari
perspektif sosial dan ekonomi dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam
tentang bagaimana tradisi ini berperan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Sasak dan bagaimana ia dapat beradaptasi dengan perubahan sosial yang sedang
berlangsung.
Secara sosial, tradisi Merariq memainkan peran penting
dalam membentuk identitas dan ikatan sosial di masyarakat Sasak. Tradisi ini
memperkuat hubungan antara keluarga, suku, dan komunitas, karena pernikahan
yang diatur melalui Merariq sering kali melibatkan partisipasi
aktif dari berbagai pihak, termasuk keluarga besar dan tokoh adat. Prosesi
seperti 'nyongkolan' (arak-arakan pengantin) bukan hanya merupakan simbol
perayaan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan solidaritas di dalam
komunitas. Hal ini membantu membangun jaringan sosial yang lebih luas, yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat tradisional (Ilmalia et al.,
2021).
Namun, Merariq juga dapat menimbulkan dinamika sosial
yang kompleks. Praktik ini kadang-kadang menyebabkan konflik antar keluarga,
terutama ketika melibatkan pernikahan yang tidak disetujui oleh salah satu
pihak keluarga atau melibatkan perbedaan status sosial yang signifikan.
Misalnya, pernikahan antara perempuan bangsawan (menak) dengan laki-laki
dari kalangan biasa (jajar karang) dapat memicu ketegangan sosial,
karena dianggap merusak tatanan sosial tradisional yang berbasis hierarki (Syaripudin
et al., 2022). Konflik semacam ini menunjukkan bahwa meskipun Merariq adalah
tradisi yang menbeliang kesatuan, ia juga dapat menjadi sumber
perpecahan sosial apabila tidak dikelola dengan baik.
Dari sudut pandang ekonomi, tradisi Merariq memiliki
dampak yang signifikan pada masyarakat Sasak. Proses Merariq melibatkan
biaya yang cukup besar, termasuk untuk upacara, pesta pernikahan, dan 'belis'
(mas kawin). Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas, biaya ini dapat
menjadi beban yang signifikan, yang kadang-kadang memicu pinjaman atau hutang
yang berdampak pada kondisi ekonomi keluarga dalam jangka panjang (Saprudin,
2019). Biaya yang tinggi ini dapat menciptakan tekanan ekonomi, terutama bagi
keluarga dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, yang berusaha menjaga
kehormatan dan martabat dengan tetap mematuhi tuntutan adat.
Selain itu, ada juga dampak positif dari Merariq terhadap
ekonomi lokal. Persiapan dan pelaksanaan prosesi pernikahan Merariq melibatkan
berbagai sektor ekonomi, seperti katering, penyewaan pakaian adat, dekorasi,
dan hiburan. Ini menciptakan peluang ekonomi bagi banyak orang di masyarakat,
dari penyedia jasa hingga pedagang kecil yang memasok kebutuhan upacara. Dalam
konteks ini, Merariq tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan
sosial dan budaya, tetapi juga menjadi pendorong ekonomi lokal yang penting.
Perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, termasuk modernisasi,
globalisasi, dan perubahan norma sosial, memengaruhi bagaimana tradisi Merariq dipandang
dan dipraktikkan. Ada tekanan untuk mengadaptasi tradisi ini agar lebih sesuai
dengan kondisi sosial-ekonomi saat ini. Misalnya, kesadaran yang meningkat
tentang hak-hak perempuan dan isu kesetaraan gender telah mendorong perubahan
dalam cara Merariq dilakukan, dengan lebih menekankan pada
persetujuan kedua belah pihak dan mengurangi tekanan ekonomi pada
keluarga (N. Anggraini et al., 2018).
Upaya untuk mengurangi beban ekonomi dari prosesi pernikahan Merariq juga
mulai diperhatikan, dengan beberapa keluarga memilih untuk menyederhanakan
upacara dan mengurangi skala perayaan. Ini tidak hanya bertujuan untuk
mengurangi tekanan ekonomi tetapi juga untuk memastikan bahwa tradisi tetap
relevan dan dapat diterima oleh generasi muda yang mungkin memiliki pandangan
yang berbeda tentang pernikahan dan kehidupan keluarga (Haslan &
Dahlan, 2022).
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa tradisi Merariq memainkan
peran yang kompleks dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Sasak.
Sementara ia memperkuat ikatan sosial dan memberikan kontribusi ekonomi bagi
komunitas lokal, ia juga menghadirkan tantangan, terutama dalam hal konflik
sosial dan beban ekonomi. Dengan adanya perubahan sosial-ekonomi yang sedang
berlangsung, adaptasi dan reinterpretasi tradisi Merariq menjadi
sangat penting untuk memastikan bahwa ia tetap relevan dan mampu berkontribusi
secara positif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat Sasak. Melalui
pemahaman yang lebih mendalam tentang perspektif sosial dan ekonomi ini,
langkah-langkah yang lebih tepat dapat diambil untuk melestarikan dan
memperkuat tradisi Merariq sebagai bagian dari warisan budaya
Indonesia.
Pencegahan Pernikahan Dini melalui Gerakan Anti Merariq Kodeq
(GAMAK)
Pernikahan dini adalah isu sosial yang kompleks dan memiliki implikasi
jangka panjang terhadap kesejahteraan fisik, mental, dan ekonomi individu yang
terlibat, terutama perempuan. Di beberapa daerah di Indonesia, termasuk di
komunitas suku Sasak di Lombok, tradisi Merariq atau 'kawin
lari' sering kali berkontribusi pada terjadinya pernikahan dini. Untuk
menangani masalah ini, berbagai inisiatif telah dilakukan, salah satunya adalah
Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK). GAMAK merupakan gerakan
yang bertujuan untuk mencegah pernikahan dini dan mempromosikan pemahaman
tentang hak-hak anak dan pendidikan yang lebih baik bagi generasi muda.
Gerakan Anti Merariq Kodeq (GAMAK) didirikan sebagai
respons terhadap tingginya angka pernikahan dini yang dipicu oleh praktik Merariq di
Lombok. Kata "Merariq Kodeq" sendiri mengacu pada
pernikahan di bawah umur yang terjadi melalui tradisi Merariq.
Pernikahan dini sering kali membawa dampak negatif, termasuk putusnya
pendidikan, masalah kesehatan reproduksi, dan peningkatan risiko kemiskinan.
Oleh karena itu, GAMAK berfokus pada pencegahan pernikahan dini dengan
mengedukasi masyarakat tentang dampak-dampak ini dan mempromosikan alternatif
yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak dan remaja (S. P. Dewi &
Purana, 2022).
Tujuan utama GAMAK adalah untuk mengurangi angka pernikahan dini melalui
pendekatan edukasi, advokasi, dan mobilisasi komunitas. Program ini berupaya
meningkatkan kesadaran akan pentingnya hak-hak anak, pendidikan, dan
kesejahteraan mereka. Selain itu, GAMAK bertujuan untuk mengubah persepsi
masyarakat tentang pernikahan dini, dari sesuatu yang diterima sebagai norma
sosial menjadi sesuatu yang diakui sebagai praktik yang berbahaya dan perlu
diubah.
GAMAK menggunakan beberapa strategi untuk mencapai tujuannya, termasuk
pendidikan komunitas, keterlibatan tokoh agama dan tokoh adat, serta kampanye
publik. Pendidikan komunitas adalah komponen kunci dari strategi GAMAK. Mereka
mengadakan lokakarya, seminar, dan diskusi kelompok untuk mengedukasi
masyarakat tentang risiko dan konsekuensi pernikahan dini. Dalam sesi-sesi ini,
GAMAK juga memperkenalkan alternatif yang lebih aman, seperti menekankan
pentingnya pendidikan dan pengembangan keterampilan sebagai jalan menuju masa
depan yang lebih baik bagi anak-anak dan remaja.
Selain itu, GAMAK melibatkan tokoh agama dan tokoh adat, yang memiliki
pengaruh besar dalam komunitas, untuk menbeliang kampanye mereka. Dengan
menggandeng para pemimpin lokal ini, GAMAK dapat menyampaikan pesan yang lebih
efektif dan meyakinkan, karena masyarakat cenderung mendengarkan dan
menghormati nasihat dari tokoh-tokoh tersebut. Keterlibatan mereka juga
membantu untuk memastikan bahwa pesan GAMAK selaras dengan nilai-nilai lokal
dan tradisional, yang penting untuk diterima oleh masyarakat luas (Qadafi
& Agustiningsih, 2021).
Kampanye publik juga menjadi bagian penting dari strategi GAMAK. Melalui
penggunaan media sosial, poster, dan materi promosi lainnya, GAMAK berusaha
menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda. Kampanye ini tidak
hanya berfokus pada dampak negatif pernikahan dini, tetapi juga mempromosikan
citra positif dari penundaan pernikahan hingga usia yang lebih dewasa, serta
pentingnya mengejar pendidikan dan impian pribadi.
Implementasi GAMAK tidak lepas dari berbagai tantangan. Salah satu
tantangan utama adalah mengubah mindset yang sudah mengakar kuat dalam budaya
lokal. Bagi banyak anggota komunitas Sasak, pernikahan dini dianggap sebagai
cara untuk melindungi kehormatan keluarga dan menghindari perilaku yang
dianggap tidak bermoral. Oleh karena itu, meyakinkan masyarakat bahwa menunda
pernikahan hingga usia dewasa adalah pilihan yang lebih baik memerlukan waktu
dan pendekatan yang sensitif terhadap budaya (H. Husnan, 2018). Namun
demikian, GAMAK telah menunjukkan beberapa keberhasilan yang signifikan.
Program ini telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak
negatif pernikahan dini dan mulai mengubah persepsi mereka tentang pentingnya
pendidikan dan hak-hak anak. Beberapa komunitas yang sebelumnya melihat
pernikahan dini sebagai norma sosial kini mulai mempertanyakan praktik ini dan
mencari alternatif yang lebih baik untuk masa depan anak-anak mereka.
Dengan mengurangi angka pernikahan dini, GAMAK juga berkontribusi pada
peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi komunitas. Anak-anak yang menunda
pernikahan memiliki peluang lebih besar untuk menyelesaikan pendidikan mereka,
yang pada gilirannya meningkatkan kesempatan mereka untuk mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik dan mencapai kestabilan ekonomi. Ini tidak hanya menguntungkan
individu tersebut tetapi juga memberikan dampak positif bagi ekonomi komunitas
secara keseluruhan.
Secara sosial, penundaan pernikahan hingga usia dewasa membantu
mengurangi risiko masalah kesehatan yang terkait dengan kehamilan remaja dan
memastikan bahwa individu lebih siap secara fisik dan emosional untuk membangun
keluarga. Dengan demikian, GAMAK tidak hanya berfungsi sebagai upaya pencegahan
pernikahan dini tetapi juga sebagai langkah penting menuju pembangunan
masyarakat yang lebih sehat dan sejahtera.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa Gerakan Anti Merariq Kodeq
(GAMAK) merupakan contoh penting dari upaya lokal untuk menangani isu
pernikahan dini dalam konteks tradisi budaya. Melalui pendekatan yang inklusif
dan berfokus pada pendidikan serta keterlibatan komunitas, GAMAK telah membantu
mengubah pandangan dan praktik sosial di kalangan masyarakat Sasak. Dengan
terus meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap hak-hak
anak dan pentingnya pendidikan, GAMAK berperan dalam membangun masa depan yang
lebih cerah bagi generasi muda di Lombok, dan memberikan model yang dapat
diadopsi di daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.
Linguistik dan Budaya dalam Tradisi Merariq
Tradisi Merariq suku Sasak di Lombok tidak hanya menjadi
bagian integral dari adat istiadat dan praktik sosial, tetapi juga memiliki
dimensi linguistik dan budaya yang kaya. Dalam tradisi ini, bahasa dan
komunikasi memainkan peran penting dalam menyampaikan nilai-nilai budaya, norma
sosial, dan identitas komunitas. Memahami bagaimana linguistik dan budaya
saling terkait dalam tradisi Merariq dapat memberikan wawasan
lebih mendalam tentang bagaimana tradisi ini dipertahankan, diadaptasi, dan
dipahami oleh masyarakat Sasak.
Bahasa memiliki peran penting dalam tradisi Merariq, baik
sebagai alat komunikasi maupun sebagai medium untuk melestarikan dan
mentransmisikan nilai-nilai budaya. Bahasa Sasak digunakan dalam berbagai
tahapan prosesi Merariq, mulai dari negosiasi awal antara keluarga,
penyampaian pesan atau tanda 'ngurisan' (pemberian tanda atau simbol), hingga
saat prosesi pernikahan itu sendiri. Penggunaan bahasa Sasak dalam konteks ini
tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai cara untuk
memperkuat identitas budaya dan memperlihatkan penghormatan terhadap tradisi
lokal (Anon & Ahmadi, 2021).
Dalam komunikasi ritual, penggunaan bahasa yang tepat sangat penting
untuk menunjukkan rasa hormat dan ketaatan terhadap adat. Misalnya, ada
ungkapan-ungkapan khusus dan kata-kata yang hanya digunakan dalam konteks Merariq yang
menandakan penghormatan, persetujuan, atau keberatan. Ini menunjukkan bahwa
bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk
menciptakan suasana tertentu dan memperkuat struktur sosial dan hierarki yang
ada.
Selain bahasa, tradisi Merariq kaya dengan simbolisme
dan makna budaya yang mendalam. Simbol-simbol ini dapat ditemukan dalam
berbagai aspek prosesi, mulai dari pakaian adat yang dikenakan, ritual yang
dilakukan, hingga tata cara penyampaian pesan. Misalnya, penggunaan kain 'songket'
dan ornamen perak dalam pakaian pengantin mencerminkan status sosial dan
ekonomi, serta mengandung makna penghormatan terhadap leluhur dan tradisi (Fitrianita
et al., 2019).
Simbolisme juga terlihat dalam cara pasangan pengantin dibawa ke rumah
keluarga setelah prosesi Merariq, yang dikenal sebagai
'nyongkolan'. Iringan musik tradisional, tari-tarian, dan hiasan yang digunakan
selama nyongkolan memiliki arti khusus yang terkait dengan kebahagiaan,
kesuburan, dan harapan untuk masa depan yang baik. Ini menunjukkan bahwa setiap
elemen dalam tradisi Merariq memiliki makna yang lebih dalam,
yang tidak hanya mencerminkan keindahan budaya tetapi juga nilai-nilai dan
aspirasi yang dipegang oleh masyarakat Sasak.
Seiring dengan perubahan sosial dan interaksi dengan budaya lain,
tradisi Merariq juga mengalami adaptasi dan perubahan,
termasuk dalam aspek linguistik dan budayanya. Pengaruh globalisasi dan
modernisasi, misalnya, telah memperkenalkan elemen-elemen baru dalam tradisi
ini, baik dari segi bahasa yang digunakan maupun dalam praktik dan simbolisme
yang terlibat. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional, sering digunakan
bersamaan dengan bahasa Sasak, terutama dalam konteks formal atau ketika
berinteraksi dengan pihak luar. Ini menunjukkan adanya proses adaptasi
linguistik yang memungkinkan tradisi Merariq tetap relevan
dalam konteks sosial yang lebih luas (Aprianita, 2023).
Selain itu, perubahan dalam peran gender dan pandangan tentang pernikahan
juga memengaruhi bagaimana tradisi Merariq dipraktikkan dan
dipahami. Sebagai contoh, ada peningkatan kesadaran tentang hak-hak perempuan
dan pentingnya persetujuan dalam pernikahan. Ini mengarah pada penekanan yang
lebih besar pada dialog dan negosiasi antara pasangan dan keluarga, yang mungkin
sebelumnya dianggap tidak begitu penting. Adaptasi ini menunjukkan bahwa
tradisi Merariq bukanlah entitas yang statis, tetapi dinamis
dan mampu beradaptasi dengan perubahan sosial dan nilai-nilai modern (Husnan,
2018).
Meskipun ada adaptasi dan perubahan yang memungkinkan tradisi Merariq bertahan,
ada juga tantangan yang dihadapi dalam melestarikan aspek linguistik dan budaya
yang khas dari tradisi ini. Salah satu tantangan utama adalah modernisasi dan
urbanisasi, yang sering kali mengurangi penggunaan bahasa daerah dan
memperkenalkan praktik-praktik yang berbeda dari yang tradisional. Hal ini
dapat menyebabkan hilangnya elemen-elemen budaya yang kaya dan unik yang
terkandung dalam tradisi Merariq.
Upaya pelestarian perlu dilakukan, baik melalui pendidikan formal maupun
informal, serta melalui inisiatif-inisiatif komunitas yang bertujuan untuk
mendokumentasikan dan mengajarkan kembali bahasa dan simbolisme yang ada dalam
tradisi Merariq. Ini penting tidak hanya untuk melestarikan warisan
budaya Sasak tetapi juga untuk memastikan bahwa generasi mendatang dapat
memahami dan menghargai nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa linguistik dan budaya merupakan
elemen penting dalam tradisi Merariq suku Sasak. Bahasa dan
simbolisme memainkan peran sentral dalam menyampaikan nilai-nilai dan identitas
budaya. Sementara tradisi ini terus beradaptasi dengan perubahan sosial,
tantangan dalam melestarikan aspek linguistik dan budaya yang khas tetap ada.
Melalui pemahaman dan penghargaan terhadap kompleksitas linguistik dan budaya
ini, tradisi Merariq dapat terus berkembang dan tetap relevan
dalam dunia yang terus berubah, sekaligus mempertahankan keaslian dan makna
budaya yang melekat dalam praktik ini.
Prosesi dan Implikasi Hukum Pidana dalam Merariq
Tradisi Merariq merupakan salah satu adat pernikahan
khas suku Sasak di Lombok. Seorang pria membawa pergi wanita yang ia cintai
tanpa sepengetahuan atau izin orang tuanya, dengan tujuan untuk menikah.
Meskipun dihormati sebagai warisan budaya, prosesi Merariq ini
kerap kali berbenturan dengan hukum pidana, terutama terkait dengan pernikahan
di bawah umur, pemaksaan, dan pelanggaran hak-hak individu. Analisis terhadap
prosesi dan implikasi hukum pidana dalam tradisi Merariq penting
untuk memahami bagaimana hukum adat dan hukum negara berinteraksi, serta
bagaimana tradisi ini dapat beradaptasi dengan standar hukum modern.
Prosesi Merariq terdiri atas beberapa tahapan yang
melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, tetua adat, dan masyarakat
setempat. Tahapan pertama dimulai dengan 'pengambilan' atau 'kawin lari'. Pria
membawa wanita ke tempat yang telah disepakati. Setelah itu, mereka menuju
rumah keluarga pria atau tempat yang aman, menunggu reaksi dari keluarga
wanita. Tahap ini disebut 'sembunyi' atau 'nyelepet' dan bisa berlangsung
selama beberapa hari hingga beberapa minggu.
Setelah sembunyi, proses selanjutnya adalah 'nyelabar' atau 'nyelabarang'.
Perwakilan dari pihak pria mengunjungi keluarga wanita untuk memberitahukan
peristiwa tersebut dan memulai negosiasi. Negosiasi ini sering kali melibatkan
perundingan tentang 'belis' (mas kawin) dan ketentuan lain yang harus dipenuhi
oleh pihak pria. Jika negosiasi berhasil, tahap terakhir adalah 'nyongkolan',
yaitu prosesi arak-arakan yang membawa pasangan kembali ke rumah keluarga
wanita, diikuti dengan upacara pernikahan secara resmi (Ilmalia et al.,
2021).
Meskipun prosesi Merariq mengikuti adat istiadat dan
diakui secara kultural, ada sejumlah aspek yang dapat melanggar hukum pidana.
Salah satu implikasi hukum pidana yang paling umum adalah terkait dengan
pernikahan di bawah umur. Berdasarkan hukum pidana Indonesia dan Undang-Undang
Perlindungan Anak, pernikahan di bawah usia tertentu dianggap ilegal dan dapat
dikenakan sanksi hukum. Namun, dalam praktiknya, Merariq sering
kali melibatkan remaja yang belum mencapai usia legal untuk menikah, yang dapat
dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak anak dan hukum pidana (Haerani,
2024).
Selain itu, prosesi 'kawin lari' yang dilakukan tanpa persetujuan jelas
dari pihak wanita dapat dianggap sebagai bentuk pemaksaan atau bahkan
penculikan, yang merupakan pelanggaran hukum pidana. Dalam konteks hukum
pidana, tindakan ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan
individu dan pelanggaran hak asasi manusia. Jika terbukti ada unsur paksaan
atau ancaman, pihak pria dan keluarganya dapat dikenai sanksi hukum yang
serius (Kurniawan et al., 2023).
Konflik antara hukum adat dan hukum pidana sering kali muncul dalam
konteks tradisi Merariq. Masyarakat Sasak yang sangat menghargai
adat istiadat cenderung menyelesaikan konflik melalui mediasi adat, yang
berfokus pada rekonsiliasi dan pemulihan hubungan sosial. Namun, pendekatan ini
kadang-kadang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan hukum pidana, yang
lebih menekankan pada penegakan hukum dan penghukuman bagi pelaku
pelanggaran (Azhari, 2023).
Dalam beberapa kasus, penyelesaian konflik melalui jalur adat mungkin
tidak cukup untuk melindungi hak-hak korban, terutama jika melibatkan
pernikahan paksa atau kekerasan. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang
bagaimana menyeimbangkan antara penghormatan terhadap tradisi lokal dan
penegakan hukum pidana. Ada kebutuhan untuk dialog dan koordinasi yang lebih
baik antara aparat penegak hukum dan pemimpin adat untuk memastikan bahwa
penegakan hukum pidana tidak hanya mengedepankan hukuman, tetapi juga mempertimbangkan
aspek-aspek sosial dan budaya yang mendalam dari tradisi Merariq.
Untuk mengurangi pelanggaran hukum pidana dalam tradisi Merariq,
berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat, dan
lembaga adat. Salah satunya adalah pendidikan dan penyuluhan hukum yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak individu,
batasan usia pernikahan, dan konsekuensi hukum dari pelanggaran tersebut.
Dengan meningkatkan pemahaman tentang hak-hak hukum dan kewajiban, masyarakat
diharapkan dapat menjalankan tradisi Merariq dengan cara yang
lebih sesuai dengan hukum yang berlaku (Dewi & Purana, 2022).
Selain itu, kerjasama antara aparat penegak hukum dan lembaga adat juga
penting untuk menciptakan pendekatan yang holistik dalam menangani kasus-kasus
yang melibatkan tradisi Merariq. Penegakan hukum yang adil dan
sensitif terhadap budaya dapat membantu mengurangi pelanggaran hukum pidana
sekaligus melindungi hak-hak individu. Pendekatan yang menggabungkan
elemen-elemen adat dan hukum formal ini dapat membantu menciptakan keseimbangan
antara penghormatan terhadap tradisi dan penegakan hukum yang efektif.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa prosesi Merariq,
meskipun kaya dengan nilai budaya dan tradisi, memiliki implikasi hukum pidana
yang signifikan, terutama terkait dengan pernikahan di bawah umur, pemaksaan,
dan pelanggaran hak individu. Pertentangan antara hukum adat dan hukum pidana
menunjukkan kompleksitas dalam mengelola dan menegakkan hukum di tengah
masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi. Melalui pendidikan hukum, dialog,
dan kerjasama antara aparat penegak hukum dan lembaga adat, diharapkan
tradisi Merariq dapat dilaksanakan dengan cara yang
menghormati nilai-nilai budaya sekaligus mematuhi hukum yang berlaku. Ini
penting untuk memastikan bahwa tradisi Merariq dapat terus
diwariskan kepada generasi mendatang tanpa mengorbankan hak-hak dan keselamatan
individu yang terlibat.
Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Tradisi Merariq
Tradisi Merariq adalah salah satu warisan budaya
masyarakat Sasak di Lombok yang telah berlangsung selama berabad-abad. Sebagai
sebuah masyarakat dengan mayoritas penduduk beragama Islam, Sasak telah
mengalami proses akulturasi. Nilai-nilai Islam dan tradisi lokal seperti Merariq saling
memengaruhi dan membentuk identitas budaya mereka. Proses akulturasi ini
menunjukkan bagaimana agama dan budaya lokal dapat bersinergi untuk menciptakan
praktik sosial yang menghormati tradisi sambil tetap sejalan dengan ajaran
agama.
Akulturasi nilai-nilai Islam dalam tradisi Merariq terlihat
dalam berbagai aspek prosesi pernikahan itu sendiri. Salah satu elemen penting
adalah perlunya pernikahan yang sah menurut ajaran Islam, yaitu adanya wali,
mahar, saksi, dan ijab kabul. Dalam banyak kasus, setelah prosesi Merariq atau
'kawin lari', pasangan tersebut akan segera dinikahkan secara resmi sesuai
dengan hukum Islam oleh seorang penghulu. Langkah ini menunjukkan bagaimana
elemen-elemen adat Merariq diselaraskan dengan syarat-syarat
pernikahan dalam Islam untuk memastikan keabsahan pernikahan secara religius
dan sosial (Hotimah & Widodo, 2021).
Selain itu, praktik-praktik ritual yang mengiringi Merariq,
seperti pembacaan doa dan zikir sebelum dan selama prosesi, merupakan bentuk
nyata dari integrasi nilai-nilai Islam. Dalam masyarakat Sasak, pernikahan
tidak hanya dilihat sebagai kontrak sosial, tetapi juga sebagai ibadah yang
membawa berkah dan rahmat dari Allah. Oleh karena itu, berbagai upacara yang
dilakukan dalam Merariq sering kali disertai dengan permohonan
restu dan perlindungan dari Tuhan, mencerminkan kepercayaan dan pengabdian
religius komunitas tersebut.
Tokoh agama memiliki peran penting dalam proses akulturasi nilai-nilai
Islam dalam tradisi Merariq. Sebagai pemimpin spiritual, mereka
berperan dalam memberikan nasihat dan bimbingan kepada pasangan yang akan
menikah serta keluarga mereka. Tokoh agama sering kali terlibat dalam negosiasi
dan mediasi yang terjadi selama prosesi Merariq, memastikan bahwa
praktik tersebut tidak hanya sesuai dengan adat tetapi juga sejalan dengan
ajaran Islam. Misalnya, dalam negosiasi mengenai 'belis' (mas kawin), tokoh
agama mungkin akan mengingatkan tentang pentingnya kesederhanaan dan tidak
berlebihan, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam (Ferdiansyah, 2019).
Keberadaan tokoh agama dalam Merariq juga penting dalam
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul, terutama jika terjadi perbedaan
pandangan antara keluarga yang terlibat. Dengan mengedepankan nilai-nilai Islam
seperti keadilan, keseimbangan, dan penghormatan terhadap hak-hak individu,
tokoh agama membantu menjaga integritas dan harmoni sosial dalam komunitas
Sasak, sekaligus memastikan bahwa tradisi ini tetap relevan dan diterima dalam
konteks Islam.
Meskipun banyak aspek dari tradisi Merariq telah
diakulturasi dengan nilai-nilai Islam, proses ini tidak tanpa tantangan. Salah
satu tantangan utama adalah perbedaan interpretasi antara norma adat dan hukum
Islam, terutama dalam hal pernikahan di bawah umur dan persetujuan dari kedua
belah pihak. Beberapa praktik dalam Merariq, seperti 'kawin lari'
tanpa sepengetahuan atau izin orang tua, dapat bertentangan dengan
prinsip-prinsip Islam yang menekankan pentingnya persetujuan wali dan
perlindungan terhadap anak (Aprianita, 2023).
Selain itu, ada juga tantangan dalam mempertahankan keaslian budaya lokal
sambil tetap mematuhi norma-norma Islam. Beberapa anggota masyarakat mungkin
merasa bahwa perubahan atau adaptasi yang terlalu besar dapat mengikis
identitas budaya Sasak yang unik. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang
sensitif dan bijaksana untuk menjaga keseimbangan antara mempertahankan tradisi
dan menghormati ajaran agama.
Adaptasi dan inovasi merupakan bagian penting dari proses akulturasi yang
sedang berlangsung dalam tradisi Merariq. Salah satu contohnya
adalah penyederhanaan upacara pernikahan untuk mengurangi beban ekonomi dan
memudahkan pelaksanaan sesuai dengan ajaran Islam tentang kesederhanaan dan
ketulusan. Dalam beberapa komunitas, misalnya, prosesi 'nyongkolan' yang tradisionalnya
melibatkan iring-iringan besar dan mewah, telah disederhanakan untuk menekankan
esensi dari pernikahan itu sendiri, yaitu penyatuan dua individu dengan restu
Tuhan (Fitrianita et al., 2019).
Inovasi lain yang muncul adalah pendidikan dan penyuluhan tentang
pernikahan dalam Islam yang diberikan kepada generasi muda. Melalui
program-program pendidikan ini, masyarakat diajak untuk memahami pentingnya
nilai-nilai Islam dalam pernikahan, termasuk persetujuan, tanggung jawab, dan
penghormatan terhadap pasangan. Upaya ini membantu memastikan bahwa
tradisi Merariq dapat terus berkembang dengan cara yang
menghormati adat sekaligus sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dari uraian di atas, adapat disimpulkan bahwa akulturasi nilai-nilai
Islam dalam tradisi Merariq suku Sasak menunjukkan bagaimana
agama dan budaya lokal dapat berinteraksi untuk membentuk praktik sosial yang
kaya dan bermakna. Meskipun ada tantangan dalam menyelaraskan adat dengan hukum
Islam, proses ini juga menciptakan peluang untuk inovasi dan adaptasi yang
memperkaya tradisi itu sendiri. Dengan memperkuat peran tokoh agama,
mengedukasi masyarakat, dan mencari keseimbangan antara tradisi dan ajaran
agama, Merariq dapat terus menjadi bagian integral dari
identitas budaya Sasak yang menghormati warisan leluhur sekaligus memenuhi
tuntutan kehidupan modern dan nilai-nilai Islam.
Perubahan Nilai Budaya dalam Tradisi Merariq
Tradisi Merariq, yang melibatkan 'kawin lari' atau proses
pengambilan calon pengantin perempuan oleh pria tanpa persetujuan langsung dari
orang tua perempuan, telah menjadi bagian integral dari identitas budaya
masyarakat Sasak di Lombok. Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini
mengalami perubahan dalam nilai-nilai budaya yang menyertainya. Perubahan
tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti modernisasi, globalisasi, dan
meningkatnya kesadaran akan hak-hak individu, terutama hak-hak perempuan dan
anak. Mengelaborasi perubahan ini membantu memahami bagaimana masyarakat Sasak
menavigasi antara pelestarian adat dan adaptasi terhadap norma-norma modern.
Modernisasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara pandang
masyarakat terhadap tradisi, termasuk Merariq. Pada awalnya, Merariq dianggap
sebagai sebuah kewajiban sosial dan budaya yang mengatur hubungan pernikahan
dan memastikan kohesi sosial. Nilai-nilai seperti penghormatan terhadap
keluarga, kepatuhan terhadap adat, dan pentingnya status sosial sangat
ditekankan. Namun, seiring dengan meningkatnya pendidikan, urbanisasi, dan
pengaruh media, pandangan ini mulai berubah. Masyarakat, terutama generasi
muda, makin mempertanyakan relevansi dari beberapa aspek tradisi Merariq,
terutama yang berkaitan dengan pemaksaan atau pernikahan dini (Lamhatul et
al., 2021).
Generasi muda yang lebih terpapar oleh nilai-nilai modern dan global
cenderung lebih menekankan pada hak-hak individu, kesetaraan gender, dan
kebebasan memilih pasangan. Ini mencerminkan perubahan nilai dari kepatuhan
terhadap norma-norma sosial menuju penekanan pada otonomi pribadi dan hak untuk
menentukan nasib sendiri. Akibatnya, beberapa praktik tradisional dalam Merariq,
seperti 'kawin lari' tanpa persetujuan, mulai ditinggalkan atau dimodifikasi
untuk lebih menghormati hak-hak individu.
Secara tradisional, Merariq mencerminkan nilai-nilai
kolektivisme. Keputusan tentang pernikahan lebih sering ditentukan oleh
keluarga besar atau komunitas, dan kepentingan kolektif diutamakan di atas
kepentingan individu. Namun, seiring dengan meningkatnya pengaruh modernisasi
dan pendidikan, nilai-nilai ini mulai berubah. Generasi muda Sasak sekarang
lebih menghargai otonomi pribadi dan hak untuk memilih pasangan hidup mereka
sendiri tanpa intervensi yang berlebihan dari keluarga atau masyarakat.
Nilai-nilai individualisme ini menekankan pentingnya persetujuan dan kehendak
bebas dari pasangan yang akan menikah, yang dalam beberapa kasus berkontradiksi
dengan praktik Merariq tradisional (Lamhatul et al.,
2021).
Perubahan nilai budaya dalam Merariq juga terlihat dalam
meningkatnya kesadaran akan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Tradisi Merariq yang sebelumnya sering dilakukan tanpa
persetujuan penuh dari perempuan kini mulai ditinjau kembali dalam kerangka hak
asasi manusia. Pengaruh gerakan global untuk kesetaraan gender dan pendidikan
tentang hak-hak perempuan telah memengaruhi masyarakat Sasak untuk lebih
menghargai persetujuan dan partisipasi aktif perempuan dalam proses pernikahan.
Hal ini mencerminkan perubahan dari praktik-praktik yang bersifat patriarkis
menuju pendekatan yang lebih egaliter dan inklusif (Ferdiansyah, 2019).
Selain perubahan nilai-nilai sosial dan gender, tradisi Merariq juga
menghadapi tantangan dari norma hukum modern. Indonesia memiliki undang-undang
yang mengatur usia minimum untuk menikah dan melarang pernikahan paksa. Norma
hukum ini bertujuan untuk melindungi hak anak dan memastikan pernikahan yang
dilakukan berdasarkan persetujuan dan kesepakatan yang bebas. Namun, praktik
tradisional seperti Merariq, yang melibatkan elemen 'kawin lari',
sering kali berbenturan dengan undang-undang ini, terutama jika melibatkan
remaja di bawah umur.
Untuk menyesuaikan diri dengan norma hukum modern, masyarakat Sasak telah
melakukan berbagai adaptasi. Misalnya, setelah prosesi Merariq,
pasangan sering kali segera dinikahkan secara resmi di bawah hukum Islam dan
nasional untuk memastikan keabsahan pernikahan mereka. Selain itu, ada upaya
untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya persetujuan, usia minimum untuk
menikah, dan dampak negatif dari pernikahan dini. Adaptasi ini menunjukkan
bahwa tradisi Merariq mampu bertransformasi dan beradaptasi
dengan perubahan zaman, sambil tetap mempertahankan elemen-elemen yang esensial
dari budaya Sasak (Azhari, 2023).
Seiring dengan perubahan nilai budaya, ada juga penekanan yang lebih
besar pada integrasi nilai-nilai Islam dalam praktik Merariq.
Masyarakat Sasak, yang mayoritas beragama Islam, mulai mengadaptasi tradisi ini
agar lebih selaras dengan ajaran agama mereka. Ini termasuk memastikan bahwa
pernikahan dilaksanakan dengan cara yang sah secara agama, seperti mendapatkan
persetujuan dari wali dan memenuhi syarat-syarat pernikahan dalam Islam.
Akulturasi ini mencerminkan upaya masyarakat untuk menyeimbangkan antara
melestarikan tradisi dan mematuhi nilai-nilai religius (Hotimah &
Widodo, 2021).
Dari uaraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan nilai budaya
dalam tradisi Merariq mencerminkan bagaimana masyarakat Sasak
berusaha untuk menyeimbangkan antara mempertahankan warisan budaya dan
beradaptasi dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan hukum modern. Pergeseran dari
kolektivisme menuju individualisme, peningkatan kesadaran akan kesetaraan
gender, adaptasi terhadap norma hukum modern, dan pengaruh globalisasi adalah
beberapa faktor utama yang memengaruhi bagaimana tradisi ini dipraktikkan dan
dipahami. Dengan mempertahankan dialog terbuka dan menghargai nilai-nilai lokal
sambil mengadopsi perubahan yang diperlukan, tradisi Merariq dapat
terus berkembang sebagai bagian penting dari identitas budaya masyarakat Sasak.
Peran Institusi Pendidikan dalam Mempertahankan Tradisi Merariq
Tradisi Merariq merupakan bagian integral dari budaya
masyarakat Sasak di Lombok, dan telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam menghadapi tantangan modernisasi dan globalisasi, institusi pendidikan
memegang peranan penting dalam mempertahankan dan melestarikan tradisi ini.
Peran institusi pendidikan tidak hanya terbatas pada upaya melestarikan
nilai-nilai budaya, tetapi juga pada adaptasi tradisi tersebut agar tetap
relevan dan selaras dengan nilai-nilai modern, termasuk kesetaraan gender dan
hak asasi manusia.
Institusi pendidikan formal seperti sekolah dan universitas di Lombok
memainkan peran penting dalam mengenalkan tradisi Merariq kepada
generasi muda. Melalui kurikulum lokal yang mengintegrasikan sejarah dan budaya
lokal, siswa dapat belajar tentang asal-usul, makna, dan prosedur Merariq.
Mata pelajaran seperti sejarah lokal, pendidikan agama, dan kebudayaan sering
kali mencakup diskusi mengenai tradisi Merariq, yang membantu siswa
memahami pentingnya tradisi ini dalam konteks sosial dan budaya Sasak (Husnan,
2018).
Selain pendidikan formal, institusi pendidikan non-formal seperti sanggar
seni, pusat kebudayaan, dan program pelatihan komunitas juga memainkan peran
kunci. Di tempat-tempat ini, generasi muda dapat belajar tentang aspek
praktis Merariq, termasuk ritual dan prosesi tradisional, melalui
pengalaman langsung dan partisipasi dalam upacara adat. Pendidikan non-formal
ini memungkinkan anak muda untuk merasakan langsung nilai-nilai dan makna yang
terkandung dalam Merariq, sehingga mereka lebih menghargai dan
berkomitmen untuk melestarikannya.
Salah satu aspek penting dari peran institusi pendidikan adalah
mengajarkan nilai-nilai moral dan etika yang terkait dengan tradisi Merariq.
Nilai-nilai seperti penghormatan terhadap orang tua, tanggung jawab sosial, dan
kesetiaan dipandang sebagai inti dari tradisi Merariq. Institusi
pendidikan dapat berperan dalam menguatkan nilai-nilai ini dengan
mengintegrasikan ajaran agama dan etika dalam pengajaran tentang Merariq.
Tokoh agama dan guru sering kali dilibatkan dalam mengajarkan pentingnya
nilai-nilai ini kepada siswa. Mereka menekankan bahwa Merariq bukan
sekadar prosesi pernikahan, tetapi juga sebuah bentuk ibadah dan pengabdian
kepada Tuhan, serta cara untuk menjaga keharmonisan dan kohesi sosial dalam
masyarakat. Dengan mempromosikan pemahaman ini, institusi pendidikan membantu
memastikan bahwa generasi muda tidak hanya melihat Merariq sebagai
tradisi formal, tetapi juga sebagai ekspresi nilai-nilai spiritual dan moral
yang mendalam (Ferdiansyah, 2019).
Institusi pendidikan juga berperan dalam adaptasi dan pembaruan
tradisi Merariq agar tetap relevan dalam konteks modern. Salah
satu tantangan utama dalam mempertahankan tradisi adalah memastikan bahwa
tradisi tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai modern seperti
kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan hukum nasional. Dalam hal ini,
institusi pendidikan dapat berperan sebagai mediator yang menghubungkan
nilai-nilai tradisional dengan tuntutan zaman.
Program-program pendidikan yang fokus pada hak-hak perempuan, pencegahan
pernikahan dini, dan pentingnya persetujuan dalam pernikahan membantu
mengedukasi masyarakat tentang bagaimana Merariq dapat
dijalankan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai modern.
Dengan cara ini, institusi pendidikan tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi
juga memastikan bahwa tradisi tersebut berkembang sesuai dengan perubahan
sosial dan hukum (Dewi & Purana, 2022).
Pendidikan juga berfungsi sebagai sarana dialog antar-generasi. Nilai-nilai
dan pengetahuan tentang Merariq dapat ditransmisikan dari
generasi tua kepada generasi muda. Sekolah, universitas, dan lembaga kebudayaan
sering kali mengadakan seminar, diskusi, dan lokakarya yang melibatkan tokoh
adat, cendekiawan, dan generasi muda. Kegiatan-kegiatan ini menyediakan
platform untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta untuk mendiskusikan
bagaimana tradisi Merariq dapat dipertahankan dan disesuaikan
dengan kebutuhan zaman.
Melalui dialog ini, generasi muda tidak hanya menerima pengetahuan dari
generasi sebelumnya, tetapi juga memiliki kesempatan untuk mengajukan
pertanyaan, memberikan pandangan, dan berkontribusi pada pengembangan tradisi.
Dialog antar-generasi ini penting untuk memastikan bahwa tradisi Merariq tidak
hanya dilestarikan secara pasif, tetapi terus hidup dan berkembang dengan
partisipasi aktif dari semua anggota masyarakat (Lamhatul et al., 2021).
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa peran institusi pendidikan dalam
mempertahankan tradisi Merariq sangat penting untuk menjaga
kelangsungan dan relevansi budaya ini di tengah perubahan sosial yang cepat.
Melalui pendidikan formal dan non-formal, pengajaran nilai-nilai moral dan
etika, adaptasi tradisi dengan nilai-nilai modern, serta dialog antar-generasi,
institusi pendidikan membantu memastikan bahwa Merariq tidak
hanya menjadi warisan masa lalu, tetapi juga bagian vital dari identitas budaya
masa kini dan masa depan masyarakat Sasak. Dengan pendekatan yang holistik dan
inklusif, tradisi Merariq dapat terus dihargai, dipahami, dan
dilestarikan oleh generasi-generasi mendatang.
Daftar Pustaka:
Anggraeny,
B. D. (2017). Keabsahan Perkawinan Hukum Adat Lombok (Merarik) Ditinjau dari
Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Islam
(Studi di Kabupaten Lombok Tengah). De Jure: Jurnal Hukum Dan Syar’iah,
9(1). https://doi.org/10.18860/j-fsh.v9i1.4375
Anggraini,
N., Dahlan, D., & Haslan, M. (2018). Nilai-Nilai Pancasila dalam Merariq
pada Masyarakat Sasak. Jurnal Pendidikan Sosial Keberagaman, 5(1),
158–170. https://doi.org/10.29303/juridiksiam.v5i1.81
Anon,
M., & Ahmadi, N. (2021). Linguistic and Cultural Demystifying of Sasak
Merariq. International Journal of Languages and Culture, 1(3),
8. https://doi.org/10.51483/IJLC.1.3.2021.8-17
Aprianita,
T. (2023). Tinjauan Kaidah-Kaidah Fiqhiyah Terhadap Adat Merariq (Kawin Culik)
Pada Tradisi Perkawinan Adat Suku Sasak. Al Maqashidi : Jurnal Hukum Islam Nusantara, 6(2), 104–114.
https://doi.org/10.32665/almaqashidi.v6i2.2451
Azhari,
D. (2023). Prosesi Adat (Merariq) dalam Kacamata Hukum Pidana di Masyarakat
Lombok Tengah (Studi Kasus di Kelurahan Gerantung Praya Tengah Kabupaten
Lombok Tengah NTB). Al-Jinayah Jurnal Hukum Pidana Islam, 9(1),
1–12. https://doi.org/10.15642/aj.2023.9.1.1-12
Azwar,
W., Mayasari, D., Winata, A., Garba, M. M., & Isnaini. (2024). Exploration
of the Merariq Tradition in Sasak Lombok, Indonesia: Analysis in Islamic Law
and Socio-Cultural Dynamics Perspectives. IBDA` : Jurnal Kajian Islam Dan Budaya, 22(1),
23–38. https://doi.org/10.24090/ibda.v22i1.10766
Dewi,
S. P., & Purana, I. M. B. (2022). IMPLEMENTASI GERAKAN ANTI MERARIK KODEQ
(GAMAK) DALAM UPAYA MENEKAN PERNIKAHAN DINI DI KECAMATAN KEDIRI KABUPATEN
LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT. Jurnal Konstituen, 4(1),
9–24. https://doi.org/10.33701/jk.v4i1.2702
Fairiza,
A., & Widyatama, R. (2024). MERARIQ DALAM PERNIKAHAN SUKU SASAK: ANALISIS
KOMUNIKASI DAN DINAMIKA SOSIAL DALAM RITUAL PENCULIKAN. Jurnal Analisa
Sosiologi, 13(1), 193–218.
https://doi.org/https://doi.org/10.20961/jas.v13i1.74926
Ferdiansyah,
D. S. (2019). Akulturasi Nilai-Nilai Islam Dalam Tradisi Merariq Melalui Pola
Komunikasi Tokoh Agama di Lombok Timur. KURIOSITAS: Media Komunikasi Sosial
Dan Keagamaan, 12(1), 17–46. https://doi.org/10.35905/kur.v12i1.775
Fitrianita,
T., Kholifah, S., & Adawiyah, R. (2019). Perempuan Nyurlembang Dalam
Tradisi Merarik. SIMULACRA: JURNAL SOSIOLOGI, 1(2).
https://doi.org/10.21107/sml.v1i2.4989
Haerani,
R. (2024). THE LEGAL CONSEQUENCES OF UNDERAGE MARRIAGE IN THE MERARIQ CULTURE
OF THE SASAK TRIBE IN MEREMBU VILLAGE, LABUAPI DISTRICT, WEST LOMBOK REGENCY. Mawaddah:
Jurnal Hukum Keluarga Islam, 2(1), 101–124.
https://doi.org/10.52496/mjhki.v2i1.33
Hamdani,
F., & Fauzia, A. (2022). Tradisi Merariq dalam Kacamata Hukum Adat dan
Hukum Islam. Jurnal Hukum Lex Generalis, 3(6), 433–447.
https://doi.org/10.56370/jhlg.v3i6.245
Haq,
H. S., & Hamdi. (2016). PERKAWINAN ADAT MERARIQ DAN TRADISI SELABAR DI
MASYARAKAT SUKU SASAK. Perspektif.
Haslan,
M. M., & Dahlan, D. (2022). Dampak Merariq Terhadap Masyarakat Suku Sasak
(Studi Pada Masyarakat Suku Sasak di Desa Rumak Kecamatan Kediri Kabupaten
Lombok Barat). CIVICUS :
Pendidikan-Penelitian-Pengabdian Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan, 10(1),
21. https://doi.org/10.31764/civicus.v10i1.9698
Hotimah,
H., & Widodo, A. (2021). THE MERARIQ CULTURE OF THE SASAK IN THE
PERSPECTIVE OF ISLAMIC SHARIA. SocioEdu: Sociological Education, 2(1),
15–21. https://doi.org/10.59098/socioedu.v2i1.302
Husnan,
H. (2018). PERAN MADRASAH DALAM PEMBELAJARAN FIQIH TERHADAP TRADISI MERARIQ
FAKTOR PENDUKUNG DIPERTAHANKANNYA OLEH MASYARAKAT KEKAIT KECAMATAN GUNUNGSARI
LOMBOK BARAT (Studi Kasus Peranan Madrasah di Desa Terpencil). Ibtida’iy : Jurnal Prodi PGMI, 3(1), 21.
https://doi.org/10.31764/ibtidaiy.v3i1.1053
Ilmalia,
R. M., Budiartha, I. N. P., & Sudibya, D. G. (2021). Pelaksanaan Tradisi
Perkawinan Merariq (Besebo) Suku Sasak di Lombok Timur. Jurnal Interpretasi
Hukum, 2(3), 479–483.
https://doi.org/10.22225/juinhum.2.3.4123.479-483
Jamaludin,
J., & Sugitanata, A. (2021). Tradisi Ngorek Pada Upacara Nyongkolan
Perkawinan Adat Sasak Tanak Awu. AL-HUKAMA’, 10(2), 319–348.
https://doi.org/10.15642/alhukama.2020.10.2.319-348
Jayanti,
I. G. N. (2014). BENTUK DAN PROSESI PERKAWINAN ADAT SASAK (SEBUAH PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS). Jnana Budaya: Media Informasi Sejarah, Sosial, Dan Budaya,
19(1).
Kurniawan,
T., Syifa’unnufus, F., & Tamara, R. N. (2023). Tinjauan Hukum Pidana
terhadap Adat Merariq di Masyarakat Lombok Tengah. Jurnal Riset Sosial
Humaniora Dan Pendidikan, 2(1), 127–139.
https://doi.org/10.56444/soshumdik.v2i1.566
Lamhatul,
R., Mabrur, M., & Dahlan, D. (2021). PERUBAHAN NILAI BUDAYA DALAM TRADISI
MERARIQ ANTARA MASYARAKAT BANGSAWAN DAN MASYARAKAT JAJARKARANG PADA MASYARAKAT
SUKU SASAK (Studi Di Desa Sakra Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur). Jurnal
Pendidikan Sosial Keberagaman, 8(2), 137–147.
https://doi.org/10.29303/juridiksiam.v8i2.253
Maharani,
H. P. (2024, June 27). Tradisi Nyongkolan di Lombok, Prosesi Pernikahan
Unik Adat Sasak . Detik.Com.
https://www.detik.com/bali/budaya/d-7411312/tradisi-nyongkolan-di-lombok-prosesi-pernikahan-unik-adat-sasak
Qadafi,
M., & Agustiningsih, N. (2021). PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK
MENCEGAH MERARIQ KODEQ (PERNIKAHAN DINI) DI MA AL-ISLAHUDDINY. Jurnal PkM
Pengabdian Kepada Masyarakat, 4(3), 222.
https://doi.org/10.30998/jurnalpkm.v4i3.6427
Saprudin,
S. (2019). DAMPAK TRADISI BEGAWE MERARIK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
ISLAM SASAK DI KOTA MATARAM. Nurani: Jurnal Kajian Syari’ah Dan Masyarakat,
19(1), 119–126. https://doi.org/10.19109/nurani.v19i1.2778
Sarmini,
Nadiroh, U., & Fahmi, M. S. (2018). Reduce conflicts in traditional
merariq traditions through the long tradition of the tribal people of sasak
lombok. Journal of Physics: Conference Series, 953(1), 012186.
https://doi.org/10.1088/1742-6596/953/1/012186
Syaripudin,
A., Wahab, A. R., & Muzanni. (2022). Tinjauan Hukum Islam terhadap
Perkawinan Merariq Perempuan Bangsawan (Menak) dengan Lak-laki Bukan Bangsawan
(Jajar Karang) Menurut Hukum Adat Sasak (Studi Kasus Desa Penujak Kabupaten
Lombok Tengah). BUSTANUL FUQAHA: Jurnal Bidang Hukum Islam, 3(2),
144–155. https://doi.org/10.36701/bustanul.v3i2.578
Komentar
Posting Komentar