Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Oleh: Lukmanul Hakim

(Pemerhati keislaman, budaya, dan pemikiran spiritual Nusantara)

Kepulangan seseorang setelah bertahun-tahun "menghilang" semestinya disambut biasa saja. Namun, ketika ia tiba-tiba datang dengan klaim sebagai khatmul auliya (penutup para wali), pemilik ilmu ladunni, dan bahkan pembawa panji Liwa’ul Hamdi seperti yang disematkan kepada Rasulullah SAW pada hari kiamat—di situlah publik perlu waspada, bukan terpukau. Fenomena semacam ini, meski berulang kali terjadi, acapkali berhasil mengelabui sebagian umat yang haus akan bimbingan spiritual.

Fenomena klaim spiritual yang bombastis ini sayangnya bukan hal baru. Dalam lintasan sejarah keislaman, dari masa ke masa, selalu muncul figur-figur eksentrik yang mengaku wali, nabi, atau juru selamat. Mereka kerap menawarkan janji-janji spiritual yang instan atau pemahaman keagamaan yang menyimpang dari mainstream. Yang membedakan era kini adalah platform penyebarannya. Di era media sosial yang serba cepat dan algoritmis, tren klaim ini justru makin marak dan sulit dikendalikan. Dahulu, orang-orang seperti itu cepat dikoreksi atau diluruskan oleh otoritas ulama dan institusi keagamaan yang mapan. Kini, mereka dengan mudah mendapatkan panggung, ribuan bahkan jutaan pengikut, dan bahkan donasi finansial—berkat daya pikat mistik semu dan penyebaran informasi tanpa saringan. Algoritma media sosial cenderung memfasilitasi konten yang kontroversial atau sensasional, termasuk klaim-klaim spiritual yang tidak berdasar.

Klaim Spiritual yang Tanpa Akhlak: Ironi Maqam dan Moralitas

Seseorang yang mengaku mendapat ilmu ladunni dan makrifat hakiki, semestinya memancarkan ketawadhuan (kerendahan hati) dan akhlak luhur yang menjadi cerminan dari kedekatannya dengan Ilahi. Realitasnya, yang sering terjadi justru sebaliknya: mereka datang dengan narasi yang mencengangkan, seperti klaim bahwa dirinya “sudah mencapai tingkatan para nabi”, atau bahkan berani mengatakan “akulah wali pamungkas, khatmul auliya”. Ini bukan sekadar pernyataan keliru yang lahir dari ketidaktahuan. Lebih dari itu, ini adalah bentuk kesombongan spiritual yang menggelincirkan, sebuah penyakit hati yang dalam tradisi tasawuf justru menjadi penghalang utama menuju maqam (kedudukan spiritual) yang tinggi.

Dalam tradisi tasawuf yang otentik, para wali besar dan arifin billah justru senantiasa menyembunyikan maqam mereka, diliputi rasa takut kepada riya’ (pamer) dan senantiasa merasa diri hina di hadapan Tuhan Yang Maha Agung. Kisah-kisah Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Imam al-Junaid, hingga para Wali Songo di Nusantara, secara konsisten menunjukkan bahwa mereka tidak pernah mengklaim diri mereka sebagai wali secara terbuka. Sebaliknya, identitas kewalian mereka dikenal dan diakui masyarakat luas melalui karomah, kebaikan, dan kemanfaatan ilmu serta akhlak mereka. Karena mereka tahu, hakikat kewalian adalah kemanfaatan bagi umat dan ketulusan dalam beribadah, bukan pengakuan dan popularitas. Pengakuan diri sebagai wali justru mengindikasikan ketidakmatangan spiritual, bahkan bisa jadi merupakan tipuan nafsu dan setan.

Liwa’ul Hamdi: Panji Suci yang Tidak Bisa Diklaim Sembarangan

Lebih jauh, pengakuan bahwa dirinya adalah pembawa Liwa’ul Hamdi sangat mengkhawatirkan dan berpotensi besar menyesatkan. Panji ini—dalam hadis shahih—adalah milik Nabi Muhammad SAW di Hari Kiamat, sebagai simbol kepemimpinan tertinggi dan syafaat universal bagi seluruh umat manusia. Panji ini akan berada di tangan beliau saat semua nabi dan rasul lain berkumpul di bawahnya, memohon syafaat di hadapan Allah SWT.

Mengklaim membawa panji tersebut seolah hendak mengatakan bahwa dirinya adalah perwakilan utama Tuhan di bumi, atau bahkan pengganti peran kenabian—sebuah klaim yang secara fundamental bertentangan dengan ajaran Islam tentang khatamun nubuwwah (penutup kenabian) pada diri Nabi Muhammad SAW. Klaim semacam ini bukan hanya sesat, tapi sangat berbahaya bagi akidah umat. Jika tidak segera diluruskan dan disikapi dengan bijaksana, pengakuan semacam ini bisa menjelma menjadi kultus individu yang merusak akidah umat yang polos, menyesatkan mereka yang mencari kebenaran, dan menciptakan komunitas pseudo-agamis yang anti-kritik dan tertutup dari dialog keilmuan yang sehat. Bahayanya makin besar ketika klaim ini diwarnai dengan retorika esoteris yang sulit dijangkau nalar awam, padahal esensinya bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.

Menakar Kebenaran Bukan dari Klaim, Tapi Dari Sanad dan Akhlak

Dalam Islam, kebenaran spiritual bukan diukur dari lamanya seseorang menyepi di gua, bukan dari berapa banyak pengikutnya di media sosial, apalagi dari seberapa bombastis dan sensasional pengakuannya. Ukuran yang paling valid dan telah diwariskan oleh para ulama salaf adalah:

  1. Siapa gurunya? Apakah ia belajar dari ulama yang jelas sanad keilmuannya, yang dikenal luas kejujuran dan kedalaman ilmunya?
  2. Apa sanad keilmuannya? Apakah ilmunya bersambung hingga Rasulullah SAW melalui rantai guru yang terpercaya? Ini penting untuk memastikan otentisitas ajaran yang disampaikan.
  3. Bagaimana pemahamannya terhadap syariat? Apakah ajaran dan perilaku yang ditampilkan selaras dengan Al-Quran dan Sunnah, serta ijmak ulama?
  4. Apakah akhlaknya mencerminkan kebeningan ruhani atau hanya kata-kata indah yang kosong makna? Perilaku sehari-hari, ketawadhuan, kesabaran, dan kemanfaatan bagi sesama adalah cerminan hakiki dari maqam spiritual seseorang.

Jika seorang individu tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ini dengan jelas dan transparan, lalu tiba-tiba bicara soal maqam ruhani tingkat tinggi, ilmu makrifat langsung dari Allah, dan panji kenabian, maka umat berhak curiga dan wajib menolaknya. Klaim tanpa sanad (rantai transmisi ilmu) yang jelas adalah pintu gerbang menuju kesesatan.

Mengapa Banyak yang Mudah Terkecoh? Haus Makna, Minim Ilmu

Jawabannya sederhana: karena banyak orang haus makna dan bulus secara spiritual, tapi minim ilmu agama yang mendalam. Dalam kondisi sosial yang penuh tekanan, disorientasi nilai, dan krisis spiritual yang melanda sebagian masyarakat modern, tawaran jalan pintas menuju “kemuliaan rohani” atau “pencerahan instan” tampak begitu menggoda. Apalagi jika tawaran itu dibalut dengan istilah-istilah Arab yang eksotis, jubah putih atau pakaian khas yang mencolok, retorika mistik yang membingungkan, dan jargon-jargon yang seolah-olah mendalam. Inilah celah yang sering dimanfaatkan oleh "guru palsu" yang memakai jubah sufistik tetapi membawa misi kekuasaan pribadi, popularitas, atau keuntungan materi, alih-alih membimbing umat kepada kebenaran hakiki. Mereka menjual ilusi spiritual yang disalahpahami sebagai kebenaran.

Penutup: Antara Peringatan dan Doa

Tulisan ini bukan untuk menyerang pribadi siapa pun secara personal, tetapi untuk mengingatkan kita semua agar tetap waras secara spiritual dan kritis dalam menerima klaim-klaim keagamaan. Karena dalam sejarah, banyak orang tersesat bukan karena niat jahat, tapi karena ketertarikan terhadap hal-hal yang aneh, sensasional, namun tidak jelas dasar keilmuannya.

Mereka yang benar-benar dekat dengan Allah, yang telah mencapai maqam kewalian atau ma’rifat, tidak akan mengaku-ngaku sebagai wali, apalagi pemegang panji Rasulullah. Justru sebaliknya, mereka akan berusaha keras menyembunyikan kelebihan spiritualnya, menghindari pujian, dan merasa dirinya paling berdosa. Karena mereka tahu, makin tinggi maqam seseorang di sisi Allah, makin dalam rasa takut, malu, dan tawadhu dalam hatinya.

Semoga Allah SWT senantiasa menjaga umat ini dari fitnah para penyesat berkedok sufi atau guru spiritual palsu. Semoga Allah memberi kita guru-guru yang benar, yang membimbing dengan ilmu yang sahih, akhlak yang mulia, dan ketulusan hati, bukan dengan ilusi, klaim bombastis, dan janji-janji kosong. Mari kita senantiasa merujuk kepada Al-Quran, Sunnah, dan bimbingan ulama yang mu'tabar (kredibel) dalam menapaki jalan spiritual.

Catatan: Artikel ini ditulis sebagai bentuk keprihatinan dan peringatan publik demi menjaga akidah umat, bukan untuk menyudutkan individu tertentu. Jika ada yang merasa disebut, kebenaran bisa diuji di hadapan ulama yang kredibel dan memiliki otoritas keilmuan, bukan dari pengakuan pribadi atau klaim tanpa bukti.

Daftar Pustaka

  1. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun.
  2. Al-Jilani, Abdul Qadir. Al-Fath ar-Rabbani. Kairo: Maktabah Madaniyah, tanpa tahun.
  3. Al-Junaid al-Baghdadi. Dikutip dalam berbagai kitab tasawuf klasik, termasuk Risalah al-Qusyairiyah.
  4. Ibn Arabi. Al-Futuhat al-Makkiyyah. Beirut: Dar Sadir, 1997.
  5. Al-Qur’an al-Karim.
  6. Al-Hadits (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), khususnya yang berkaitan dengan Liwa’ul Hamdi.
  7. Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Albany: SUNY Press, 1989.
  8. Trimingham, J. Spencer. The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University Press, 1971.
  9. Zuhri, Saiful. Tasawuf: Jalan Spiritual Para Kekasih Tuhan. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2020.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa