Jihad Pendidikan: Membangun Peradaban Ilmu dan Akhlak di Tengah Tantangan Kontemporer

 

Oleh: Lukmanul Hakim

Dalam diskursus keislaman kontemporer, konsep jihad kerap kali tereduksi pada makna sempit yang berkonotasi kekerasan fisik. Padahal, makna fundamental jihad adalah "perjuangan" atau "usaha keras" yang multidimensional, mencakup dimensi spiritual, intelektual, sosial, dan moral. Salah satu manifestasi terpenting dari jihad yang relevan dan mendesak di era modern ini adalah jihad pendidikan. Ini adalah perjuangan tak kenal lelah untuk menguasai ilmu pengetahuan, menyebarkan nilai-nilai kebijaksanaan, dan membangun peradaban yang berlandaskan ilmu dan akhlak mulia.

Melampaui Batas Klasik: Pendidikan sebagai Jihad Akbar

Secara tradisional, para ulama seperti Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din membedakan antara jihad al-akbar (perjuangan terbesar, yaitu melawan hawa nafsu) dan jihad al-asghar (perjuangan kecil, yaitu perang). Namun, konteks kontemporer menuntut perluasan pemahaman. Jihad pendidikan sejatinya dapat dikategorikan sebagai jihad al-akbar, sebab ia melibatkan perjuangan terus-menerus melawan kebodohan, kemiskinan intelektual, dan stagnasi pemikiran yang dapat meruntuhkan sebuah peradaban. Tanpa ilmu, umat akan mudah terombang-ambing oleh arus informasi yang menyesatkan, terjebak dalam fanatisme, dan kehilangan daya saing di kancah global.

Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW memberikan landasan yang kokoh bagi jihad pendidikan. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah "Bacalah!" (QS. Al-Alaq: 1). Perintah ini bukan hanya seruan untuk membaca teks suci, melainkan juga isyarat universal untuk mencari ilmu, memahami alam semesta, dan membaca tanda-tanda kebesaran Tuhan. Lebih lanjut, Al-Qur'an meninggikan derajat orang-orang berilmu, sebagaimana firman Allah SWT: "Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat." (QS. Al-Mujadilah: 11).

Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan agung dalam pencarian ilmu. Beliau bersabda, "Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan." (HR. Ibnu Majah). Hadis ini menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dan kewajiban setiap individu Muslim, tanpa memandang gender atau status sosial. Bahkan, beliau mendorong umatnya untuk mencari ilmu hingga ke negeri yang jauh, sebuah indikasi kuat akan universalitas ilmu dan urgensi pencariannya. Peristiwa pembebasan tawanan perang Badar dengan syarat mengajari baca tulis anak-anak Muslim juga menunjukkan betapa tinggi nilai literasi dan pendidikan dalam Islam pada masa awal.

Dimensi Jihad Pendidikan di Era Kontemporer

Jihad pendidikan di abad ke-21 memiliki beberapa dimensi krusial:

  1. Penguasaan Ilmu Pengetahuan Umum dan Teknologi (IPTEK): Umat Islam tidak boleh tertinggal dalam penguasaan sains, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM). Sejarah Islam telah membuktikan kontribusi luar biasa dalam bidang-bidang ini, dari Al-Khawarizmi dalam matematika hingga Ibnu Sina dalam kedokteran. Modernitas menuntut umat untuk kembali menjadi produsen ilmu, bukan hanya konsumen. Ini berarti investasi dalam riset, pengembangan inovasi, dan peningkatan kualitas pendidikan sains di semua tingkatan.

  2. Pendalaman Ilmu Agama dan Humaniora: Menguasai ilmu agama secara komprehensif adalah benteng dari pemahaman yang sempit dan ekstremis. Pendidikan agama yang mendalam akan melahirkan pemahaman Islam yang moderat, toleran, dan inklusif. Bersama dengan humaniora, ia akan membentuk karakter moral, etika, dan pemikiran kritis yang diperlukan untuk menghadapi kompleksitas dunia.

  3. Pemerataan Akses dan Kualitas Pendidikan: Jihad pendidikan juga berarti berjuang untuk memastikan setiap anak, dari kota hingga pelosok desa, dari keluarga kaya hingga prasejahtera, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas. Ini mencakup penyediaan infrastruktur yang memadai, guru yang kompeten, kurikulum yang relevan, dan beasiswa bagi mereka yang membutuhkan. Ketimpangan pendidikan adalah cikal bakal ketimpangan sosial dan ekonomi.

  4. Literasi Digital dan Kritis: Di era disrupsi informasi, kemampuan memilah informasi, berpikir kritis, dan tidak mudah termakan hoaks adalah bagian tak terpisahkan dari jihad pendidikan. Literasi digital menjadi kunci untuk memberdayakan individu agar dapat memanfaatkan teknologi secara positif dan melindungi diri dari dampak negatifnya.

  5. Pengembangan Karakter dan Akhlak Mulia: Pendidikan tidak hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter. Jihad pendidikan bertujuan melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berintegritas, jujur, peduli sesama, dan berpegang teguh pada nilai-nilai moral. Ini adalah esensi dari pendidikan holistik yang dicita-citakan Islam.

Tantangan dan Peluang

Tantangan dalam melaksanakan jihad pendidikan tidaklah kecil: mulai dari alokasi anggaran yang terbatas, rendahnya kualitas guru di beberapa daerah, hingga pola pikir yang masih meremehkan pentingnya pendidikan. Namun, peluang juga terbuka lebar, terutama dengan kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan akses pendidikan yang lebih luas melalui platform daring dan inovasi pembelajaran.

Mengutip pemikiran Nurcholish Madjid tentang pentingnya pembaharuan pemikiran Islam, jihad pendidikan adalah fondasi bagi pembaharuan yang sesungguhnya. Dengan berinvestasi pada pendidikan, umat Islam tidak hanya berinvestasi pada masa depan diri sendiri, tetapi juga pada masa depan peradaban manusia. Ini adalah bentuk jihad yang paling konstruktif, damai, dan berkelanjutan—sebuah perjuangan mulia yang akan mengukir kontribusi abadi bagi kemajuan dan kesejahteraan dunia.

Referensi:

  • Al-Qur'an, Surah Al-Alaq (96:1) dan Surah Al-Mujadilah (58:11).
  • Hadis Riwayat Ibnu Majah.
  • Al-Ghazali. (Abad ke-11). Ihya' 'Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama).
  • Madjid, Nurcholish. (2000). Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Mizan. 
  • Syamsuddin, M. (2012). "Jihad dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sunnah." Jurnal At-Ta'dib, Vol. 7, No. 1. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa