Jihad Ekologis: Mengukir Kontribusi Muslim untuk Kelestarian Bumi

 

Oleh: Lukmanul Hakim

Gelombang krisis iklim dan kerusakan lingkungan kian mendera, menghadirkan tantangan eksistensial bagi kehidupan di planet ini. Deforestasi masif, polusi tak terkendali, dan ancaman kepunahan spesies bukan lagi sekadar isu pinggiran, melainkan realitas yang menuntut aksi nyata dari setiap individu dan komunitas. Di tengah pusaran krisis ini, Islam menawarkan lebih dari sekadar dogma; ia menyuguhkan kerangka etika dan spiritual yang kokoh, mendorong umatnya untuk menjadi garda terdepan dalam menjaga keseimbangan alam. Konsep yang relevan untuk saat ini adalah Jihad Ekologis, sebuah seruan luhur yang melampaui citra negatif kekerasan, menuju perjuangan internal dan eksternal demi kelestarian bumi—rumah kita bersama.

Meluruskan Makna Jihad: Dari Perang Fisik ke Perjuangan Lingkungan

Bagi banyak orang, kata "jihad" seringkali terdistorsi, tereduksi pada makna sempit "perang suci." Namun, dalam khazanah Islam yang lebih luas, jihad memiliki spektrum makna yang kaya, yaitu "perjuangan" atau "usaha keras" dalam meniti jalan Allah. Al-Ghazali, ulama besar abad ke-11, mempopulerkan dikotomi antara jihad al-akbar (perjuangan terbesar) —yaitu perang melawan hawa nafsu dan keburukan diri sendiri—dan jihad al-asghar (perjuangan kecil) —pertahanan diri dalam peperangan. Namun, di era modern ini, para cendekiawan Muslim kontemporer seperti Fazlun M. Khalid, pendiri Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences (IFEES), dan Mawil Izzi Dien melalui karyanya The Environmental Dimensions of Islam, makin gencar menyerukan dimensi ketiga: jihad sebagai upaya kolektif untuk menegakkan keadilan sosial dan, tentu saja, keadilan lingkungan. Dalam konteks inilah Jihad Ekologis hadir sebagai manifestasi perjuangan untuk melindungi bumi dan segala sumber daya di dalamnya.

Fondasi Al-Qur'an dan Sunnah: Mandat Suci Penjaga Alam

Landasan Jihad Ekologis tertanam kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Rum (30:41), "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." Ayat ini adalah peringatan tegas dan gamblang. Ia bukan hanya mengaitkan kerusakan lingkungan dengan ulah tangan manusia, melainkan juga menekankan akuntabilitas kita di hadapan Sang Pencipta. Kerusakan alam bukan takdir ilahi semata, melainkan konsekuensi logis dari pilihan dan tindakan kita.

Prinsip fundamental tauhid, keesaan Tuhan, juga mengukuhkan hubungan intim antara manusia dan alam. Seluruh ciptaan, dari mikroba terkecil hingga galaksi terjauh, adalah manifestasi dari kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Merusak ciptaan-Nya, dengan demikian, adalah tindakan yang bertentangan dengan pengakuan akan keesaan-Nya. Manusia dianugerahi peran sebagai khalifah atau wakil Allah di bumi, sebuah amanah luhur yang menuntut kita untuk menjadi penjaga yang bertanggung jawab atas setiap inci alam semesta.

Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan paripurna dalam kepedulian lingkungan. Beliau melarang penebangan pohon tanpa alasan yang syar'i, menganjurkan penanaman pohon—bahkan sebagai bentuk sedekah yang pahalanya terus mengalir—dan menekankan pentingnya menjaga kesucian air. Salah satu sabdanya yang masyhur menyatakan, "Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu burung atau manusia atau binatang memakannya, melainkan baginya pahala sedekah." (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menegaskan bahwa setiap upaya pelestarian lingkungan, sekecil apa pun, bernilai ibadah dan berbuah kebaikan yang tak terputus.

Implementasi Nyata: Dari Mimbar ke Komunitas

Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, potensi Jihad Ekologis sangatlah besar dan urgen. Gerakan-gerakan berbasis masjid dan komunitas dapat menjadi motor penggerak inisiatif penghijauan, pengelolaan sampah yang berkelanjutan, hingga kampanye edukasi lingkungan. Imagine, jika setiap masjid di seluruh penjuru negeri menjadikan isu lingkungan sebagai salah satu prioritas, betapa dahsyat dampaknya! Para dai dan ulama memiliki peran strategis untuk mengintegrasikan pesan-pesan lingkungan ke dalam khotbah Jumat dan majelis taklim, menginspirasi jutaan jamaah untuk bertransformasi menjadi agen perubahan lingkungan.

Penerapan jihad ekologis di era modern juga bisa termanifestasi dalam tindakan-tindakan sehari-hari: mengurangi jejak karbon pribadi dengan beralih ke transportasi publik atau bersepeda, mendukung energi terbarukan, praktik daur ulang yang konsisten, hingga mengadvokasi kebijakan lingkungan yang lebih berpihak pada keberlanjutan. Ini adalah perjuangan tanpa senjata, namun dengan dampak yang jauh lebih besar.

Tentu, tantangan terbesar adalah meluruskan pemahaman tentang jihad yang telah disalahgunakan oleh kelompok-kelompok ekstremis untuk membenarkan kekerasan. Jihad Ekologis justru menegaskan esensi sejati perjuangan umat Islam: menciptakan harmoni, keadilan, dan keseimbangan, baik bagi manusia maupun bagi alam semesta. Dengan merangkul dan mengamalkan konsep Jihad Ekologis, umat Muslim tidak hanya memenuhi tanggung jawab keagamaan mereka sebagai khalifah di bumi, tetapi juga memberikan kontribusi monumental terhadap upaya global untuk menyelamatkan planet ini. Ini adalah bukti nyata bahwa iman dan tindakan nyata dapat bersinergi untuk masa depan yang lebih hijau, adil, dan berkelanjutan bagi seluruh makhluk.

Referensi:

  • Al-Qur'an, Surah Ar-Rum (30:41).
  • Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim.
  • Izzi Dien, Mawil. (2000). The Environmental Dimensions of Islam. Lutterworth Press.
  • Khalid, Fazlun M. (2019). Islam and Ecology. Oxford University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa