Ijazah Bukan Sekadar Kertas: Semiologi Ilmu, Identitas, dan Kapital Sosial
Oleh: Lukmanul Hakim
Mengapa orang tua rela berutang demi biaya kuliah anaknya? Mengapa ijazah sering lebih dihargai ketimbang keterampilan nyata yang dimiliki seseorang? Pertanyaan ini sering kali muncul dalam percakapan sehari-hari, terutama ketika kita melihat fenomena di dunia kerja: banyak lowongan yang masih menempatkan ijazah sebagai syarat utama, seolah-olah selembar kertas lebih menentukan nasib seseorang daripada kompetensi yang dimilikinya.
Kita hidup di masyarakat yang masih memuja ijazah. Ia dianggap sebagai tiket menuju status sosial, mobilitas ekonomi, bahkan pengakuan kultural. Namun, jika ditelisik lebih dalam, ijazah bukan hanya kertas bertinta, melainkan sebuah simbol penuh makna yang mengandung dimensi semiotika: tanda, makna, dan kuasa.
Ijazah sebagai Identitas Akademik
Secara sederhana, ijazah adalah dokumen resmi yang menyatakan bahwa seseorang telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Ia menjadi identitas akademik, semacam stempel sah bahwa seseorang memenuhi standar keilmuan pada level tertentu (Tilaar, 2000).
Dalam konteks ini, ijazah berfungsi sebagai “tanda legitimasi.” Ia bukan hanya catatan administratif, melainkan juga simbol yang menghubungkan individu dengan institusi pendidikan. Ketika seseorang memegang ijazah, ia membawa identitas baru: sarjana, master, atau doktor.
Namun, masalah muncul ketika identitas akademik itu lebih dihargai daripada kualitas nyata. Banyak orang menganggap bahwa gelar adalah ukuran tunggal kecerdasan, padahal realitas sering kali membantahnya. Bukankah kita sering menjumpai orang yang sangat pintar, kritis, dan terampil, meski tanpa gelar formal?
Ijazah sebagai Kapital Sosial
Sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa dalam masyarakat terdapat berbagai bentuk modal (capital): ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik (Bourdieu, 1986). Ijazah adalah salah satu bentuk cultural capital yang dapat diubah menjadi social capital bahkan economic capital.
Contohnya jelas: lulusan universitas ternama sering lebih mudah mendapat pekerjaan, bukan semata karena kompetensi, melainkan karena “nama besar” lembaga yang melekat pada ijazahnya (Brown, 2013). Ijazah dari kampus prestisius ibarat kartu akses yang membuka jaringan sosial baru.
Dengan demikian, ijazah adalah tanda yang memproduksi hierarki sosial. Ia menjadi simbol kelas, membedakan siapa yang dianggap berkompeten dan siapa yang tidak. Padahal, substansi pendidikan seharusnya lebih menekankan kemampuan, etika, dan integritas, bukan sekadar label formal.
Budaya Sosial di Indonesia: Kultus Ijazah
Di Indonesia, ijazah sering kali ditempatkan pada posisi sakral. Masyarakat masih melihat ijazah sebagai simbol status: tanpa ijazah seseorang dianggap “kurang berpendidikan,” meskipun keterampilan dan pengetahuannya tinggi (Naim, 2011).
Fenomena ini bisa kita lihat dalam berbagai momen sosial: orang tua dengan bangga memamerkan foto wisuda anaknya, bukan hanya sebagai pencapaian pribadi, tapi juga sebagai pengangkat martabat keluarga. Di sisi lain, pekerja terampil yang tidak memiliki ijazah seringkali dianggap “kelas dua,” meski keahliannya sangat dibutuhkan pasar (ILO, 2020).
Ironinya, banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur karena keterampilan mereka tidak sesuai kebutuhan industri. Sementara itu, pekerja informal tanpa ijazah justru bisa sukses karena menguasai keahlian praktis. Di sinilah letak paradoks: kita terjebak dalam kultus ijazah, tapi sering abai pada substansi ilmu.
Ijazah dalam Perspektif Semiotika
Teori semiotika Roland Barthes menyatakan bahwa tanda tidak pernah netral; ia selalu membawa makna yang diproduksi oleh budaya (Barthes, 1972). Jika kita melihat dari perspektif ini, ijazah bukan hanya “tanda kelulusan,” tapi juga narasi sosial tentang siapa yang dianggap sahih, pintar, dan layak diberi kesempatan.
Ijazah menjadi bahasa simbol yang meneguhkan struktur sosial: ia membedakan mana yang disebut “sarjana” dan mana yang bukan. Lebih jauh, ijazah bisa menjadi alat legitimasi kekuasaan, baik di dunia kerja maupun politik. Tak jarang, seseorang lebih dipercaya memimpin hanya karena memiliki gelar panjang, meski kualitas kepemimpinannya masih dipertanyakan.
Refleksi: Antara Simbol dan Substansi
Apakah ini berarti ijazah tidak penting? Tentu tidak. Ijazah tetap memiliki fungsi penting sebagai dokumen resmi, identitas akademik, dan alat administratif. Namun, kita perlu menyadari bahwa ijazah hanyalah simbol—sebuah tanda yang bisa menipu bila dipisahkan dari substansi pendidikan.
Substansi sejati pendidikan adalah membentuk manusia yang berilmu, kritis, berakhlak, dan bermanfaat bagi masyarakat (Tilaar, 2000; Freire, 1970). Jika ijazah dijadikan tujuan akhir, kita berisiko melahirkan generasi yang mengejar gelar tanpa menekuni makna ilmu itu sendiri.
Pada akhirnya, ijazah memang penting, tetapi ilmu, integritas, dan akhlaklah yang menjadi identitas sejati kita. Masyarakat harus berani keluar dari jebakan kultus ijazah, dan mulai menghargai kompetensi serta kontribusi nyata.
✍️ Penutup reflektif:
“Ijazah adalah tanda, bukan tujuan. Kertas bisa pudar, tanda tangan bisa hilang, tapi ilmu yang bermanfaat akan tetap hidup dalam diri dan karya kita.”
Referensi
- Barthes, R. (1972). Mythologies. New York: Hill and Wang.
- Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241–258). New York: Greenwood.
- Brown, P. (2013). Education, Opportunity and the Prospects for Social Mobility. British Journal of Sociology of Education, 34(5–6), 678–700.
- Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
- ILO. (2020). Indonesia’s Skills Development for Youth Employment. Geneva: International Labour Organization.
- Naim, N. (2011). Karakteristik Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
- Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Komentar
Posting Komentar