Menjaga Kewaspadaan terhadap Ajaran yang Menyimpang: Sebuah Dialog antara Klaim dan Objektivitas
Oleh: Lukmanul Hakim
Perdebatan tentang ajaran yang dibawa oleh Lalu Dahlan di Kabupaten Lombok Tengah beberapa waktu lalu menggugah perhatian publik, terutama mengenai klaim-klaim keagamaan yang kontroversial. Sebuah pertemuan pada 29 Agustus 2025 yang dihadiri oleh berbagai pihak berwenang, seperti Kejaksaan Negeri, MUI, Kementerian Agama, FKUB, serta pihak keamanan, menyoroti ajaran-ajaran yang dianggap menyimpang. Namun, perdebatan ini tidak hanya mencakup soal klaim-klaim tersebut, tetapi juga mengarah pada pertanyaan lebih besar: Sejauh mana transparansi dan objektivitas dalam menanggapi suatu ajaran yang dianggap sesat?
Ajaran Lalu Dahlan: Klaim yang Menimbulkan Kontroversi
Lalu Dahlan, dalam pernyataannya, mengklaim telah menerima bisikan langsung dari Allah SWT mengenai ayat-ayat Al-Qur'an, memiliki sanad langsung dari Rasulullah SAW, serta mengaku sebagai penjelmaan rohani Nabi Muhammad SAW. Klaim-klaim ini memicu reaksi keras dari banyak kalangan, terutama para ulama dan organisasi keagamaan seperti MUI Kabupaten Lombok Tengah. Mereka menilai bahwa ajaran ini bertentangan dengan ajaran Islam yang sahih dan bisa menyesatkan umat.
Beberapa poin kontroversial yang dituduhkan antara lain adalah pengakuan atas pengalaman spiritual yang menyerupai Isra’ Mi'raj Nabi Muhammad, klaim penerimaan wahyu, serta penafsiran Al-Qur’an yang tidak sesuai dengan kaidah tafsir yang diakui. Tentu saja, klaim-klaim ini menimbulkan kekhawatiran, mengingat betapa pentingnya menjaga akidah umat agar tetap pada jalur yang benar.
Tanggapan MUI dan Pihak Berwenang
MUI Kabupaten Lombok Tengah, dalam pertemuan tersebut, menyatakan bahwa ajaran Lalu Dahlan menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dan berpotensi mengarah pada kesesatan. MUI pun merekomendasikan agar pemerintah mengambil langkah tegas untuk melarang ajaran ini, serta menyerukan umat Islam untuk tidak terpengaruh oleh ajaran tersebut.
Namun, langkah MUI ini mendapat reaksi dari pengikut Lalu Dahlan yang merasa proses klarifikasi yang dilakukan tidak transparan dan bias. Mereka menilai bahwa keputusan yang diambil oleh pihak berwenang bersifat sepihak, karena tidak melibatkan masyarakat luas dan tidak adanya dokumentasi serta observasi langsung terhadap kegiatan ajaran yang dimaksud.
Tanggapan Pengikut Lalu Dahlan: Menyandarkan Hidayah kepada Allah
Sebagai bentuk pembelaan, pengikut Lalu Dahlan menegaskan bahwa kredibilitas guru mereka tidak dapat diukur oleh lembaga atau stempel institusi, melainkan oleh ilmu dan hidayah yang diberikan langsung oleh Allah SWT. Mereka berargumen bahwa jika Allah yang memberikan hidayah, maka tidak ada seorang pun yang bisa membatasinya. Pernyataan ini mengandung nuansa keyakinan spiritual yang mendalam, namun juga menimbulkan pertanyaan terkait dengan proses verifikasi ajaran dan klaim yang dibawa oleh Lalu Dahlan.
Meskipun hidayah adalah pemberian dari Allah, kita sebagai umat Islam diajarkan untuk berhati-hati dalam menerima setiap ajaran. Ajaran yang menyimpang atau tidak sesuai dengan kaidah syar'i, meskipun datang dari seseorang yang dianggap guru atau pemimpin, tetap perlu dikaji secara objektif dan hati-hati. Keterbukaan untuk menguji kebenaran ajaran tersebut tidak hanya penting untuk individu yang terlibat, tetapi juga untuk menjaga keutuhan ajaran Islam yang hakiki.
Transparansi dan Objektivitas: Dua Hal yang Tidak Bisa Dikesampingkan
Salah satu poin penting yang muncul dari perdebatan ini adalah pentingnya transparansi dan objektivitas dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keagamaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa klaim keagamaan yang kontroversial seperti yang disampaikan oleh Lalu Dahlan memerlukan pembuktian yang jelas, berdasarkan bukti-bukti yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.
Proses yang dilakukan oleh MUI dan pihak berwenang memang sudah melibatkan banyak instansi terkait, namun banyak pihak yang meragukan objektivitasnya karena tidak adanya keterbukaan, dokumentasi, dan observasi langsung terhadap ajaran yang dimaksud. Pengikut Lalu Dahlan menilai bahwa tanpa proses yang transparan dan akuntabel, klaim objektivitas dalam penanganan kasus ini hanya menjadi retorika semata.
Dalam hal ini, bukan hanya MUI atau pemerintah yang perlu introspeksi, tetapi juga pengikut ajaran yang bersangkutan. Dengan keterbukaan dan verifikasi yang independen, umat Islam akan lebih mudah dalam menilai kebenaran ajaran yang disampaikan. Sebaliknya, penutupan ruang dialog publik berpotensi menciptakan kesalahpahaman yang lebih besar, bahkan fitnah yang lebih merugikan bagi seluruh umat.
Simpulan: Membuka Ruang Dialog untuk Kebenaran
Pada akhirnya, perdebatan ini menunjukkan bahwa dalam mengatasi masalah ajaran yang menyimpang, keterbukaan adalah kunci untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan umat. Proses klarifikasi yang objektif dan terbuka akan memberi umat kesempatan untuk menilai dengan bijak, apakah suatu ajaran sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang benar.
Kita harus menghindari klaim-klaim sepihak yang dapat merusak aqidah umat, sekaligus menjaga agar setiap proses pembahasan tetap mengedepankan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas. Hanya dengan cara ini, kita bisa menjaga umat dari penyimpangan, sekaligus melindungi keharmonisan dalam beragama.
Komentar
Posting Komentar