Ilmu Ladunni: Antara Karunia Ilahi dan Klaim Menyesatkan

Oleh: Lukmanul Hakim

Pendahuluan

Dalam wacana keagamaan Islam, sering muncul istilah ilmu ladunni. Konsep ini menjadi populer terutama ketika ada individu yang mengklaim mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan tanpa melalui proses belajar formal. Tidak jarang, klaim tersebut menimbulkan kontroversi di masyarakat, bahkan berpotensi melahirkan sekte-sekte sempalan.

Lantas, apa sebenarnya ilmu ladunni? Apakah ia benar-benar ada dalam ajaran Islam? Bagaimana pandangan para ulama tentang konsep ini?

Definisi Ilmu Ladunni

Istilah ladunni berasal dari kata ladun (لَدُنْ) yang berarti “dari sisi” atau “langsung dari”. Jadi, ilmu ladunni berarti pengetahuan yang datang langsung dari sisi Allah.

Rujukan utama istilah ini adalah Al-Qur’an, tepatnya kisah Nabi Musa dengan seorang hamba Allah (disebut sebagai Khidir) dalam QS. Al-Kahfi: 65:

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan Kami ajarkan kepadanya ‘ilman ladunnā (ilmu dari sisi Kami).”

Ayat ini menjadi dasar bahwa ada pengetahuan khusus yang Allah anugerahkan kepada hamba pilihan-Nya tanpa proses belajar manusiawi.

Posisi Ulama Klasik

Para ulama berbeda pendapat tentang apa itu ilmu ladunni dan siapa yang berhak mendapatkannya.

  1. Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam Ihya’ Ulum al-Din menjelaskan bahwa ilmu ladunni adalah pengetahuan yang diperoleh melalui ilham ilahi ke dalam hati seorang hamba yang suci, tetapi ilham tidak boleh bertentangan dengan syariat. Jika bertentangan, maka ia tertolak.

    “Segala sesuatu yang menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah tidak boleh dianggap sebagai ilham dari Allah.” (Ihya’, Juz III, hlm. 18)

  2. Ibn Taymiyyah (w. 1328 M) menegaskan dalam Majmu‘ al-Fatawa bahwa meskipun Allah bisa memberikan pengetahuan khusus kepada hamba-Nya, tidak ada otoritas agama baru setelah Nabi Muhammad SAW. Segala klaim wahyu atau ajaran baru adalah bid‘ah.

    “Setiap orang yang mengaku mendapat wahyu setelah Nabi Muhammad adalah pendusta.” (Majmu‘ al-Fatawa, 10/311)

  3. Ibn ‘Arabi (w. 1240 M) dalam Futuhat al-Makkiyyah membahas ilmu ladunni sebagai bentuk pengetahuan batin yang dimiliki para wali, tetapi ia tetap menegaskan bahwa syariat menjadi ukuran sah tidaknya pengetahuan tersebut.

Posisi Ulama Kontemporer

  1. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menjelaskan bahwa ilmu ladunni adalah pengetahuan khusus yang Allah berikan kepada sebagian hamba, tetapi ia tidak bisa dijadikan dasar hukum agama.

    “Ilmu ladunni bersifat personal, tidak bisa diajarkan kepada orang lain, dan tidak dapat menggantikan otoritas Al-Qur’an dan Sunnah.” (Quraish Shihab, 2007, hlm. 243)

  2. Abdul Hakim Murad (Timothy Winter), cendekiawan Cambridge, menilai bahwa klaim ilmu ladunni yang berkembang di masyarakat Muslim sering kali bercampur dengan kultus individu. Ia mengingatkan pentingnya membedakan antara ilham personal dan ajaran normatif Islam.

Perbedaan Ilham, Wahyu, dan Bisikan

Para ulama menjelaskan bahwa penting membedakan tiga istilah berikut:

  1. Wahyu → khusus bagi para nabi, berisi syariat yang mengikat seluruh umat.
  2. Ilham → bisa diberikan kepada orang saleh, tetapi sifatnya personal dan tidak mengikat orang lain.
  3. Waswas (bisikan setan/nafsu) → sering menyerupai ilham, tetapi menyesatkan.

Imam al-Syathibi dalam al-I‘tiṣām menekankan bahwa jalan aman dalam agama adalah berpegang pada syariat, bukan pada klaim ilham yang sulit diverifikasi.

Potensi Penyalahgunaan

Fenomena ilmu ladunni rawan disalahgunakan, terutama ketika seseorang mengklaim otoritas spiritual di atas ulama atau bahkan menisbatkan dirinya sebagai imam atau khatmul auliya. Sejarah Islam mencatat banyak gerakan sempalan lahir dari klaim seperti ini.

Sosiolog Bryan Wilson (1990) menyebut fenomena ini sebagai new religious movement, yakni gerakan baru yang lahir dari krisis otoritas keagamaan. Biasanya, mereka menggunakan narasi “pengetahuan langsung dari Tuhan” untuk menarik pengikut.

Sikap yang Tepat

  1. Menghormati kemungkinan adanya ilham bagi orang saleh, tetapi menegaskan bahwa ia bersifat personal.
  2. Menolak segala klaim ilmu ladunni yang dijadikan dasar otoritas keagamaan baru.
  3. Menguatkan literasi agama masyarakat agar tidak mudah terjebak dalam kultus individu.
  4. Menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan konsensus ulama sebagai tolok ukur akhir.

Penutup

Ilmu ladunni adalah konsep yang nyata dalam Islam, tetapi sifatnya sangat terbatas. Ia adalah karunia khusus, bukan jalan pintas untuk mendirikan otoritas baru. Ulama klasik maupun kontemporer sepakat bahwa ilmu ladunni tidak boleh bertentangan dengan syariat.

Karena itu, setiap klaim ilmu ladunni harus ditanggapi dengan hati-hati, kritis, dan tabayyun. Tanpa itu, masyarakat akan mudah terjebak dalam kultus individu yang berpotensi merusak akidah dan persatuan umat.

Daftar Pustaka

  • Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005.
  • Ibn Taymiyyah. Majmu‘ al-Fatawa. Riyadh: Dar al-‘Alamiyyah, 1995.
  • Ibn ‘Arabi. Al-Futuhat al-Makkiyyah. Kairo: Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1911.
  • Al-Syathibi. Al-I‘tiṣām. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
  • Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
  • Bryan Wilson. The Social Dimensions of Sectarianism. Oxford: Clarendon Press, 1990.
  • Abdul Hakim Murad. Understanding the Four Madhhabs. Cambridge Muslim College, 2014.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak