Membongkar Klaim Kontradiksi dalam Al-Qur’an: Kajian Linguistik dan Historis

Oleh: Lukmanul Hakim

Tuduhan bahwa Al-Qur’an mengandung kontradiksi bukanlah hal baru. Sejak era klasik, terutama pada masa interaksi Islam dengan pemikir-pemikir non-Muslim, klaim semacam ini sering muncul. Namun, jika diteliti lebih dalam, banyak tuduhan kontradiksi tersebut lahir dari kesalahpahaman konteks, keterbatasan terjemahan, atau pembacaan yang terpotong dari keseluruhan teks. Artikel ini mencoba membongkar beberapa contoh klaim kontradiksi sekaligus menunjukkan bagaimana ulama klasik maupun sarjana modern menjawabnya.

1. Penciptaan Langit dan Bumi: Enam atau Delapan Hari?

Salah satu tuduhan kontradiksi adalah perbedaan jumlah hari penciptaan. Dalam Surah Al-A’raf (7:54) dan Surah Yunus (10:3) disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Namun dalam Surah Fussilat (41:9–12), jika dijumlah sekilas, tampak menjadi delapan hari.

Ulama tafsir, seperti al-Tabari (Jami‘ al-Bayan) dan al-Razi (Mafatih al-Ghayb), menegaskan bahwa pembacaan ayat Fussilat tidak boleh dijumlah secara matematis, sebab ada pengulangan keterangan, bukan penambahan hari. Dua hari pertama (ayat 9) adalah bagian dari empat hari berikutnya (ayat 10). Jadi totalnya tetap enam hari, bukan delapan. Ini membuktikan bahwa tuduhan kontradiksi lahir dari pembacaan literal tanpa memperhatikan struktur bahasa Arab klasik.

2. Minuman di Surga: Arak atau Bukan?

Ayat Surah Al-Saffat (37:45–47) dan Al-Insan (76:21) menyebutkan adanya minuman di surga yang “seperti arak” tetapi tidak memabukkan. Sementara Surah Al-Mutaffifin (83:25) juga menggambarkan minuman surga dari “rahiq murni”. Sebagian penafsir orientalis menganggap ini kontradiktif, karena arak di dunia dilarang keras.

Jawaban para mufasir, misalnya al-Qurtubi (Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an), sangat jelas: yang diharamkan adalah khamar duniawi yang memabukkan dan menutupi akal. Sementara minuman surga memiliki kemiripan dalam bentuk (cawan, gelas, kenikmatan), tapi tidak dalam substansi (tidak memabukkan, justru menyehatkan). Kontradiksi hanya tampak bila pembaca gagal membedakan antara perumpamaan simbolik dengan hakikat eskatologis.

3. Takdir dan Kebebasan Manusia

Beberapa ayat menegaskan bahwa semua kehendak ada pada Allah, seperti Surah Al-Saffat (37:96): “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.” Namun, ayat lain seperti Surah Al-Kahfi (18:29) menekankan kebebasan manusia: “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang mau beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang mau kafir biarlah ia kafir.”

Di sinilah peran teologi Islam masuk. Para ulama membedakan antara iradah kauniyyah (kehendak universal Allah yang mencakup segalanya) dan iradah syar’iyyah (kehendak syariat Allah yang memberi pilihan kepada manusia). Tidak ada kontradiksi, karena ayat-ayat tersebut berbicara pada level berbeda: Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai makhluk yang diberi tanggung jawab moral.

4. Siapa yang Membunuh Firaun?

Dalam Surah Al-Qashash (28:40), Firaun dan tentaranya dikatakan ditenggelamkan di laut. Tetapi dalam Surah Al-Isra (17:103), Allah disebut menenggelamkan Firaun bersama bala tentaranya. Klaim kontradiksi muncul karena perbedaan subjek yang dinisbatkan.

Penjelasan Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-‘Azim) menunjukkan tidak ada perbedaan substansi. Kedua ayat sama-sama menegaskan bahwa Allah yang menenggelamkan, hanya saja gaya bahasa Qur’an kadang menyebut Firaun sebagai pemimpin, kadang menyebut tentaranya untuk menekankan totalitas kehancuran. Perbedaan redaksi tidak sama dengan kontradiksi.

5. Sikap terhadap Ahli Kitab

Sebagian kritikus menganggap Al-Qur’an kontradiktif karena di satu sisi menyebut Ahli Kitab bisa masuk surga (Al-Baqarah 2:62), namun di sisi lain ada ayat yang menegaskan bahwa siapa pun yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad tidak akan diterima amalnya (Ali Imran 3:85).

Al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb menjelaskan bahwa ayat 2:62 berbicara tentang kondisi sebelum risalah Islam sempurna. Selama mereka mengikuti nabi masing-masing sesuai zamannya, mereka mendapat pahala. Tetapi setelah kerasulan Muhammad SAW diutus, standar keimanan adalah beriman kepada beliau. Jadi, ini bukan kontradiksi, melainkan perkembangan historis dalam syariat.

Penutup

Dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa tuduhan kontradiksi dalam Al-Qur’an lahir dari pembacaan parsial, tanpa memperhatikan konteks bahasa, tafsir klasik, dan sejarah pewahyuan. Kesalahpahaman ini bukan hanya sering dilakukan oleh para kritikus luar Islam, tetapi juga kadang muncul dari umat Muslim sendiri yang membaca ayat secara terpisah-pisah.

Dengan pendekatan linguistik dan historis, justru terlihat bahwa Al-Qur’an konsisten, tetapi fleksibel dalam gaya penyampaian. Sebagaimana ditegaskan oleh Fazlur Rahman (1982) dalam Islam and Modernity, pemahaman Qur’an harus holistik, bukan atomistik. Kritik yang tampak sebagai kontradiksi seringkali justru menjadi pintu untuk menggali kedalaman makna yang lebih luas.

Daftar Pustaka

  • Al-Tabari, Jami‘ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1954.
  • Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, 1981.
  • Al-Qurtubi, Al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an. Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1964.
  • Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim. Riyadh: Dar al-Tayyibah, 1999.
  • Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
  • Muhammad Asad, The Message of the Qur’an. Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980.
  • Mustansir Mir, Coherence in the Qur’an: A Study of Islahi’s Concept of Nazm in Tadabbur-i Qur’an. Indianapolis: American Trust Publications, 1986.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak