Makna “Bersaksi” dalam Syahadat: Kesaksian Batin yang Membangun Komitmen Iman

Oleh: Lukmanul Hakim

Syahadat adalah fondasi utama dalam bangunan keimanan Islam. Setiap Muslim memulai langkahnya dalam Islam dengan melafalkan dua kalimat syahadat:

“Asyhadu an lā ilāha illā Allāh wa asyhadu anna Muḥammadan rasūlullāh”
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”

Namun, muncul pertanyaan mendasar dan filosofis: bagaimana seseorang bisa “bersaksi” terhadap sesuatu yang tidak disaksikannya secara langsung? Bukankah dalam makna umum, bersaksi berarti melihat atau mengalami sesuatu secara nyata?

Pertanyaan ini bukan sekadar semantik, tetapi menyentuh inti makna keimanan Islam itu sendiri. Tulisan ini mencoba menjelaskan bahwa “bersaksi” dalam konteks syahadat bukanlah klaim pengalaman empiris, melainkan pengakuan sadar, rasional, dan spiritual yang dibangun atas dasar ilmu, keyakinan, dan komitmen eksistensial.

Arti Kata “Syahadat”: Menyaksikan atau Meyakini?

Secara bahasa, kata “syahada” (شَهِدَ) dalam bahasa Arab berasal dari akar kata yang berarti “menyaksikan”, “mengakui”, atau “memberi pernyataan yang disaksikan”. Dalam Lisān al-‘Arab, Ibn Manzhūr menjelaskan bahwa syahida berarti ‘ilmun bi al-syay’ ‘ala mā huwa bihī — mengetahui sesuatu sesuai dengan realitasnya (Lisān al-‘Arab, entri “syahida”).

Namun, dalam istilah keislaman, syahadat berarti pernyataan keimanan yang disampaikan dengan penuh keyakinan, baik secara lisan, batin, maupun amaliah, tanpa harus melihat objeknya secara langsung.

Al-Qur’an: Kesaksian Tanpa Penglihatan Indrawi

Al-Qur’an sendiri menggunakan kata syahida dalam pengertian kesaksian batin dan intelektual, bukan semata-mata visual. Perhatikan ayat berikut:

“Syahida Allāhu annahu lā ilāha illā huwa wal-malā’ikatu wa ulūl-‘ilmi qā’iman bil-qisṭ”
(“Allah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan...”)
(QS. Ali Imran [3]: 18)

Para mufasir seperti Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa dalam ayat ini, kesaksian Allah adalah pernyataan keesaan-Nya sebagai fakta mutlak, sedangkan kesaksian para malaikat dan orang berilmu bersumber dari pemahaman yang meyakinkan dan mendalam, bukan karena melihat Allah secara langsung (Tafsir al-Kabir, Juz 8, hlm. 20).

Syahadat dalam Hadis: Antara Lisan dan Keyakinan

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang mati dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka ia akan masuk surga.”
(HR. Muslim, No. 26)

Kata kunci dari hadis ini adalah ya‘lamu (mengetahui), bukan yarā (melihat). Ini menunjukkan bahwa yang menjadi dasar keselamatan adalah ilmu dan keyakinan, bukan pengalaman langsung.

Hal ini juga ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, bahwa makna syahadat adalah ‘iqrār bi al-lisān wa taṣdīq bi al-janān — pengakuan lisan yang dibarengi pembenaran hati.

Pandangan Ulama: Syahadat sebagai “Musyahadah Batiniah”

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din menjelaskan bahwa banyak orang mengucapkan syahadat, namun belum menyaksikan kebenarannya dalam batin mereka. Bagi al-Ghazali, syahadat sejati terjadi ketika ilmu tentang Allah dan kerasulan Muhammad menyatu dalam hati hingga menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan.

Lebih dalam lagi, tokoh sufi besar Ibn ‘Arabi memahami syahadat sebagai bagian dari proses musyāhadah — penyaksian ruhani. Dalam Futūḥāt al-Makkiyyah, ia menulis bahwa syahadat merupakan tahapan awal bagi ruh manusia dalam perjalanan menyingkap tabir kehadiran Ilahi (Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, Vol. 1, hlm. 92–94).

Kesaksian yang Membentuk Komitmen Hidup

Syahadat bukan hanya kalimat, tapi kontrak eksistensial. Saat seseorang bersyahadat, ia sedang:

  1. Mengafirmasi kebenaran teologis: bahwa hanya Allah yang patut disembah, dan Muhammad adalah utusan-Nya.

  2. Menegaskan identitas spiritual: ia menjadi bagian dari komunitas Muslim.

  3. Menyatakan komitmen moral dan sosial: hidupnya akan menjadi saksi atas nilai-nilai keislaman — kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan pengabdian.

Oleh karena itu, bersyahadat berarti menjadikan hidup sebagai kesaksian aktif terhadap kebenaran Islam. Seorang Muslim menjadi syāhid (saksi) atas risalah Islam, sebagaimana Allah berfirman:

“Dan demikianlah Kami menjadikan kamu sebagai umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas manusia, dan Rasul menjadi saksi atas kamu.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Refleksi Penutup: Dari Kalimat ke Realitas

Dalam dunia yang semakin dipenuhi klaim-klaim kosong dan simbol-simbol tanpa makna, syahadat menuntut lebih dari sekadar pengucapan. Ia adalah janji ruhani yang harus ditunaikan dengan pengenalan, penghayatan, dan perwujudan.

Bersaksi dalam Islam bukan berarti melihat Allah atau Rasul secara langsung, tapi melihat tanda-tanda-Nya dalam ciptaan, memahami ajaran-Nya dengan akal dan hati, dan menjalankannya dalam amal nyata. Dalam bahasa para arif, "syahadat adalah ketika hati menyaksikan kebenaran yang tak terlihat oleh mata."

Daftar Referensi

  1. Al-Qur’an, QS. Ali Imran [3]: 18 dan QS. Al-Baqarah [2]: 143

  2. HR. Muslim No. 26

  3. Ibn Manzhūr, Lisān al-‘Arab, entri “syahida”

  4. Al-Razi, Tafsir al-Kabir, Juz 8

  5. Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Kitab Qawa‘id al-‘Aqaid

  6. Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim

  7. Ibn ‘Arabi, Futūḥāt al-Makkiyyah, Vol. 1

Apabila ruang opini ini bisa menjadi medium refleksi kolektif, maka biarlah syahadat tidak hanya terdengar dari lidah kita, tetapi juga terlihat dalam cara hidup kita: menjadi saksi hidup dari cahaya tauhid dan rahmat kenabian.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa