Jangan Remehkan Rasa Perih di Anus: Cermin Pola Hidup Kita

Oleh: Lukmanul Hakim

Bagi sebagian orang, buang air besar hanyalah rutinitas harian. Namun, ketika kotoran yang keluar keras dan menimbulkan rasa perih di anus, banyak yang memilih menahan diri, mengabaikan, atau sekadar mencari pereda sesaat. Padahal, masalah yang tampak sepele ini bisa menjadi cermin penting dari pola hidup kita.

Secara medis, rasa perih setelah buang air besar keras kerap disebabkan oleh fisura ani, yaitu luka atau robekan kecil pada dinding anus akibat gesekan tinja yang keras dan kering. Menurut American Society of Colon and Rectal Surgeons (ASCRS, 2023), fisura ani adalah salah satu keluhan anorektal yang paling umum terjadi, dengan gejala utama berupa nyeri dan perdarahan ringan setelah buang air besar. Kondisi ini sering disalahartikan sebagai wasir, padahal penanganannya berbeda.

Sayangnya, di masyarakat kita, masalah kesehatan semacam ini sering dianggap tabu untuk dibicarakan. Banyak orang merasa malu mengeluhkan nyeri di area anus, sehingga memilih diam sampai kondisinya parah. Studi yang dilakukan oleh World Journal of Gastroenterology (Sonnenberg & Everhart, 1996) menunjukkan bahwa sebagian besar pasien dengan keluhan anorektal menunda pemeriksaan medis karena faktor rasa malu dan stigma sosial. Akibatnya, keluhan sederhana bisa berkembang menjadi komplikasi yang lebih serius.

Sesungguhnya, rasa perih di anus adalah alarm tubuh. Ia mengingatkan kita bahwa pola makan rendah serat, kebiasaan kurang minum air, dan gaya hidup sedentari sedang menagih akibatnya. Menurut Harvard T.H. Chan School of Public Health (2021), asupan serat harian yang dianjurkan adalah 25–30 gram, tetapi rata-rata konsumsi serat masyarakat modern jauh di bawah angka tersebut. Tidak heran, buang air besar menjadi keras, menyakitkan, dan berpotensi melukai anus.

Lebih jauh, persoalan ini juga terkait dengan kesadaran kesehatan masyarakat. Kita masih sering menyepelekan tanda-tanda kecil dari tubuh. Padahal, kesehatan bukan hanya soal mencegah penyakit besar seperti jantung atau diabetes, tetapi juga memperhatikan hal-hal sederhana yang berhubungan dengan kualitas hidup sehari-hari.

Oleh karena itu, ada dua langkah penting yang bisa kita ambil. Pertama, ubah pola hidup dengan memperbanyak konsumsi serat dari sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian, memperbanyak asupan cairan, serta rutin berolahraga. Studi yang dipublikasikan dalam The Lancet (Reynolds et al., 2019) menunjukkan bahwa diet tinggi serat dapat mengurangi risiko konstipasi hingga 31 persen dan menurunkan kemungkinan terjadinya komplikasi anorektal. Kedua, hilangkan rasa tabu untuk berkonsultasi dengan tenaga medis. Mengeluhkan rasa sakit di anus bukanlah aib, melainkan wujud kepedulian terhadap tubuh sendiri.

Sepele bukan berarti boleh diabaikan. Perih di anus setelah BAB keras adalah pesan bahwa tubuh membutuhkan perhatian lebih. Mari belajar mendengar tubuh kita, mulai dari sinyal-sinyal kecil yang sering kita abaikan. Dengan begitu, kita tidak hanya menjaga kesehatan, tetapi juga merawat kualitas hidup kita sehari-hari.

Referensi:

  • American Society of Colon and Rectal Surgeons (ASCRS). (2023). Anal Fissure.
  • Sonnenberg, A., & Everhart, J. E. (1996). The prevalence of self-reported anal fissure in the United States. World Journal of Gastroenterology.
  • Harvard T.H. Chan School of Public Health. (2021). Fiber: An essential part of a healthy diet.
  • Reynolds, A., et al. (2019). Carbohydrate quality and human health: a series of systematic reviews and meta-analyses. The Lancet, 393(10170), 434–445.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa