Dari Masjid ke Masyarakat: Menjadikan Masjid sebagai Sentral Edukasi dan Empati Sosial

Oleh: Lukmanul Hakim

Masjid sebagai Titik Nol Peradaban Islam

Dalam sejarah Islam, masjid lebih dari sekadar tempat beribadah. Ia adalah pusat spiritual sekaligus pusat sosial, tempat Rasulullah ﷺ membina umat, menyebarkan ilmu, menumbuhkan solidaritas, dan menyatukan kekuatan umat dalam satu peradaban.

Ketika Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, bangunan pertama yang beliau dirikan bukanlah istana atau benteng, melainkan Masjid Quba dan kemudian Masjid Nabawi. Dari situlah arah baru peradaban Islam dimulai.

Masjid Nabawi kala itu berfungsi sebagai:

  • tempat salat berjamaah,
  • pusat pendidikan (seperti halaqah dan halaqah Ashab al-Shuffah),
  • tempat musyawarah umat,
  • ruang peradilan sederhana,
  • tempat menyambut tamu dan delegasi,
  • hingga lumbung penyaluran zakat dan santunan fakir miskin.

Dengan kata lain, masjid adalah multifungsi dan multidimensi. Bahkan dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, disebutkan bahwa “mosques were not only religious centers but also community hubs that linked spiritual duties with public welfare” (Esposito, 2004).

Al-Qur’an dan Sunnah: Masjid Adalah Titik Transformasi Umat

Al-Qur’an menyebut masjid sebagai tempat yang agung dan terhormat:

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا ٱسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِٱلْغُدُوِّ وَٱلْآصَالِ ۝
“Di rumah-rumah (masjid) yang telah diizinkan Allah untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
(QS. An-Nur [24]: 36)

Dalam tafsir al-Baghawi, ayat ini menunjukkan bahwa masjid bukan hanya tempat zikir, tetapi rumah Allah yang fungsinya diperluas sebagai tempat syiar kebaikan.

Hadis Nabi ﷺ juga menegaskan pentingnya masjid sebagai tempat pendidikan dan interaksi sosial:

"من غدا إلى المسجد لا يريد إلا أن يتعلم خيرا أو يعلمه، كان له أجر حاج تاما حجته."
“Barangsiapa pergi ke masjid tidak lain hanya ingin belajar kebaikan atau mengajarkannya, maka ia mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya.”
(HR. Thabrani, Hasan)

Masjid Sebagai Pusat Edukasi: Inspirasi dari Ashab al-Shuffah

Salah satu contoh nyata adalah Ashab al-Shuffah, sekelompok sahabat yang tinggal di serambi masjid dan dididik langsung oleh Nabi ﷺ. Mereka tidak hanya belajar Al-Qur’an, tetapi juga ilmu-ilmu kehidupan: akhlak, strategi dakwah, bahkan diplomasi.

Menurut al-Mubarakfuri dalam Rahiqul Makhtum, para Ashab al-Shuffah ini kemudian menjadi duta-duta ilmu ke berbagai wilayah. Ini menunjukkan bahwa masjid adalah titik lahirnya kader-kader peradaban.

Jika diterapkan di era sekarang, masjid dapat:

  • menjadi ruang literasi Islam dan moderasi beragama,
  • menyelenggarakan kelas parenting dan pendidikan karakter anak,
  • mengembangkan pelatihan skill digital atau UMKM syariah,
  • menyediakan pembinaan pranikah, rumah tangga Islami, dan konseling psikososial.

Masjid Sebagai Pusat Empati Sosial: Memutus Sekat Kaya dan Miskin

Al-Qur’an menegaskan bahwa fungsi ibadah bukan hanya vertikal, tapi juga horizontal:

إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.”
(QS. Al-Hujurat [49]: 10)

Dalam Sahih Muslim, diceritakan bahwa Rasulullah ﷺ begitu cepat merespons kelaparan atau musibah masyarakat dari masjid. Para sahabat pun berinovasi: Umar bin Khattab mengembangkan baitul mal, yang kantornya berdampingan dengan masjid.

Di masa kini, masjid bisa menjadi:

  • pusat pengumpulan dan penyaluran zakat secara profesional (bekerja sama dengan BAZNAS atau LAZ),
  • penyelenggara dapur umum saat bencana,
  • tempat penitipan anak untuk ibu pekerja,
  • hingga rumah perlindungan darurat bagi dhuafa.

Tantangan dan Harapan: Menghidupkan Kembali Ruh Masjid

Tantangan utama adalah revitalisasi manajemen masjid. Banyak takmir yang belum terlatih, minim kaderisasi, atau eksklusif dalam orientasi kelompok. Untuk itu, dibutuhkan:

  1. Takmir profesional berbasis kompetensi dan akhlak,
  2. Pelibatan pemuda sebagai motor inovasi kegiatan,
  3. Jaringan kemitraan dengan lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial,
  4. Digitalisasi kegiatan masjid (misalnya streaming kajian, jadwal online, QR zakat, dll.)

Inisiatif seperti Masjid Ramah Anak, Masjid Literasi, atau Masjid Inklusif perlu diperbanyak, karena inilah ruh Islam: memanusiakan manusia lewat institusi rumah Tuhan.

Penutup: Dari Masjid Kita Memulai Peradaban

Masjid bukan sekadar simbol agama, melainkan agen perubahan. Ia harus mampu mengalirkan nilai-nilai Islam ke tengah masyarakat: cinta ilmu, solidaritas sosial, akhlak mulia, dan keadilan. Saat masjid kembali hidup, maka kehidupan umat akan kembali bercahaya.

Wallāhu a‘lam bi al-shawāb.

Referensi:

  • Al-Qur’an dan Terjemahannya, Kemenag RI
  • Sahih Muslim, Sunan Tirmidzi, al-Mu'jam al-Kabir
  • Esposito, J.L. (2004). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World
  • al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum
  • Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi
  • BAZNAS RI, Panduan Masjid dan Pengelolaan Zakat Produktif


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak