Bukan Antisemit, Hanya Anti-Penjajahan: Mengapa Kritik terhadap Zionisme Sah

Oleh: Lukmanul Hakim

Isu Palestina–Israel selalu menjadi salah satu topik paling sensitif di ruang publik internasional. Banyak aktivis, akademisi, bahkan tokoh agama yang mengkritik kebijakan Israel di Palestina kerap dicap sebagai “antisemit” — sebuah tuduhan yang tidak ringan, karena mengisyaratkan kebencian terhadap orang Yahudi secara keseluruhan. Padahal, kritik terhadap Zionisme dan kebijakan negara Israel sama sekali tidak identik dengan kebencian terhadap Yahudi sebagai identitas etnis atau agama[1].

Di sinilah letak masalahnya: narasi publik sering kali menyamakan tiga hal yang berbeda — Yahudi (sebagai identitas etnis dan agama), Israel (sebagai entitas negara modern), dan Zionisme (sebagai ideologi politik). Padahal ketiganya memiliki sejarah, ruang lingkup, dan makna yang berbeda[2].

Yahudi, Israel, dan Zionisme: Tiga Entitas yang Berbeda

Secara historis, Yahudi adalah kelompok etno-religius yang tersebar di berbagai belahan dunia. Identitas mereka terbentuk dari ajaran Yudaisme, tradisi leluhur, dan pengalaman diaspora selama ribuan tahun[3]. Israel, di sisi lain, adalah negara bangsa modern yang berdiri pada 1948 di wilayah yang sebelumnya dikenal sebagai Palestina Mandat Inggris[4].

Sementara itu, Zionisme adalah gerakan politik yang lahir di akhir abad ke-19, dipelopori oleh tokoh seperti Theodor Herzl, dengan tujuan membentuk “tanah air” bagi orang Yahudi[5]. Zionisme awalnya mendapat dukungan sebagian komunitas Yahudi, namun tidak semua Yahudi menjadi penganutnya. Hingga hari ini, ada komunitas Yahudi — seperti kelompok Neturei Karta — yang secara teologis menolak pendirian negara Israel dengan alasan keyakinan agama[6].

Kritik terhadap Zionisme Bukan Kebencian terhadap Yahudi

Ketika masyarakat internasional mengkritik Zionisme, fokusnya adalah pada praktik kolonialisme, apartheid, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara Israel atas nama ideologi tersebut. Laporan Human Rights Watch (2021) dan Amnesty International (2022) secara eksplisit menyebut kebijakan Israel terhadap Palestina sebagai “apartheid” — sebuah sistem penindasan berbasis etnis yang melanggar hukum internasional[7][8].

Kritik ini sama sekali tidak menolak hak hidup orang Yahudi, apalagi membenarkan diskriminasi terhadap mereka. Kritik terhadap Zionisme justru sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang melarang pendudukan dan perampasan tanah rakyat Palestina[9].

Mengapa Narasi “Kritik = Antisemit” Berbahaya

Menyamakan kritik terhadap Zionisme dengan antisemitisme adalah strategi retoris yang berbahaya. Pertama, hal ini membungkam diskusi kritis tentang kebijakan Israel, karena setiap suara yang berbeda akan segera dicap rasis. Kedua, narasi ini merugikan komunitas Yahudi sendiri, karena mengaburkan perbedaan antara identitas mereka dan agenda politik Zionis[10].

Bahkan di dunia Barat, ada gerakan seperti Jewish Voice for Peace di Amerika Serikat yang beranggotakan orang-orang Yahudi yang menolak pendudukan Israel atas Palestina. Mereka dengan tegas menyatakan: “Antisemitisme adalah kebencian terhadap Yahudi. Kritik terhadap Israel adalah kebencian terhadap ketidakadilan.”[11]

Simpulan

Kritik terhadap Zionisme adalah kritik terhadap sebuah ideologi politik dan praktik negara, bukan terhadap agama atau etnis tertentu. Masyarakat dunia perlu memahami perbedaan antara Yahudi, Israel, dan Zionisme, agar solidaritas terhadap Palestina tidak terjebak dalam tuduhan palsu antisemitisme.

Pada akhirnya, menolak pendudukan dan apartheid adalah bagian dari komitmen universal terhadap kemanusiaan. Dalam konteks ini, mengatakan “Bukan antisemit, hanya anti-penjajahan” bukanlah slogan kosong, melainkan prinsip moral yang harus dipegang teguh.

Daftar Pustaka

[1]: Finkelstein, N. (2005). Beyond Chutzpah: On the Misuse of Anti-Semitism and the Abuse of History. University of California Press.
[2]: Chomsky, N. (1999). Fateful Triangle: The United States, Israel, and the Palestinians. South End Press.
[3]: Johnson, P. (1987). A History of the Jews. Harper & Row.
[4]: Pappé, I. (2006). The Ethnic Cleansing of Palestine. Oneworld Publications.
[5]: Herzl, T. (1896). Der Judenstaat. Leipzig & Vienna: M. Breitenstein's Verlags-Buchhandlung.
[6]: Shlaim, A. (2014). Israel and Palestine: Reappraisals, Revisions, Refutations. Verso.
[7]: Human Rights Watch. (2021). A Threshold Crossed: Israeli Authorities and the Crimes of Apartheid and Persecution.
[8]: Amnesty International. (2022). Israel’s Apartheid Against Palestinians: Cruel System of Domination and Crime Against Humanity.
[9]: United Nations General Assembly. (1973). International Convention on the Suppression and Punishment of the Crime of Apartheid.
[10]: Butler, J. (2012). Parting Ways: Jewishness and the Critique of Zionism. Columbia University Press.
[11]: Jewish Voice for Peace. (2018). Our Mission and Principles.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa