Bersyahadat, Berislam, dan Berkeadaban: Menyikapi Tantangan Zaman
Oleh: Lukmanul Hakim
Syahadat adalah inti ajaran Islam, pintu masuk menuju keimanan sekaligus fondasi seluruh amal ibadah. Dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, seorang Muslim menyatakan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Namun, syahadat bukanlah sekadar rangkaian kata yang terucap di lisan. Ia adalah deklarasi eksistensial, kontrak spiritual, sekaligus komitmen sosial yang membawa konsekuensi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Qur’an menegaskan hal ini dengan sangat jelas. Allah berfirman: “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah mendapat kemenangan yang besar” (QS. Al-Ahzab: 71). Kesaksian syahadat harus diwujudkan dalam bentuk ketaatan, bukan berhenti pada pengakuan formal. Rasulullah SAW bersabda: “Iman adalah keyakinan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan perbuatan” (HR. Ahmad). Dengan demikian, syahadat menuntut keterpaduan antara iman, ucapan, dan tindakan.
Syahadat sebagai Fondasi Peradaban
Dalam sejarah Islam, syahadat tidak hanya menjadi pintu masuk ke dalam agama, tetapi juga fondasi bagi terbentuknya masyarakat beradab. Ketika umat Islam berpegang teguh pada makna syahadat, mereka berhasil membangun peradaban yang berkeadilan, berilmu, dan berkeindahan. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah menekankan bahwa kekuatan umat lahir dari keterikatan spiritual dan moral yang berakar pada iman. Tauhid, yang menjadi inti syahadat, menyatukan umat dalam kesadaran bahwa segala bentuk otoritas tertinggi hanya milik Allah.
Tauhid membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan modern: penyembahan terhadap materi, jabatan, maupun hawa nafsu. Inilah mengapa syahadat sejatinya tidak hanya pernyataan teologis, melainkan juga pernyataan etis dan politis. Ia mengingatkan bahwa manusia tidak boleh tunduk kepada kekuasaan yang zalim, tidak boleh menjadikan uang sebagai berhala, dan tidak boleh membiarkan hawa nafsu menjadi penguasa.
Tantangan Modern: Reduksi Syahadat
Sayangnya, di era modern syahadat sering direduksi menjadi identitas formal belaka. Banyak orang mengucapkan syahadat, tetapi perilakunya justru bertentangan dengan nilai yang terkandung di dalamnya. Korupsi, intoleransi, ujaran kebencian, hingga kekerasan atas nama agama menjadi bukti bahwa syahadat belum sepenuhnya dihidupi.
Padahal, Rasulullah SAW menegaskan bahwa misi utama kenabiannya adalah menyempurnakan akhlak: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Malik). Dengan demikian, syahadat bukan hanya deklarasi iman, melainkan pula janji untuk menjalani hidup dengan akhlak mulia—jujur, adil, penuh kasih, dan menghargai sesama.
Syahadat sebagai Etika Publik
Di tengah dunia yang semakin plural dan global, syahadat dapat dimaknai kembali sebagai dasar etika publik. Bersyahadat berarti mengakui bahwa hanya Allah yang layak disembah, sehingga tidak ada alasan untuk menuhankan etnis, kelompok, atau kepentingan politik. Bersyahadat juga berarti meneladani Rasulullah SAW yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya: 107). Spirit rahmatan lil ‘alamin inilah yang menjadikan syahadat relevan dalam membangun toleransi, solidaritas, dan perdamaian global.
Pemikir kontemporer seperti Syed Hossein Nasr dalam Islam and the Plight of Modern Man menegaskan bahwa krisis modernitas lahir dari keterputusan manusia dengan nilai-nilai spiritual. Syahadat, bila dipahami secara mendalam, dapat menjadi jembatan untuk mengembalikan manusia pada poros ketuhanan dan sekaligus membangun tata dunia yang lebih manusiawi.
Bersyahadat, Berislam, dan Berkeadaban
Maka, bersyahadat, berislam, dan berkeadaban adalah tiga hal yang tidak terpisahkan. Syahadat yang hanya diucapkan tanpa penghayatan akan melahirkan kemunafikan. Islam yang dijalankan tanpa keadaban akan melahirkan kekerasan. Sebaliknya, syahadat yang dihidupi secara utuh akan melahirkan pribadi Muslim yang beriman, beramal saleh, dan membawa rahmat bagi sesama.
Umat Islam Indonesia, yang hidup dalam keragaman budaya, agama, dan etnis, ditantang untuk menjadikan syahadat bukan hanya simbol religius, tetapi juga dasar membangun masyarakat yang damai, adil, dan berkeadaban. Dengan cara inilah syahadat akan benar-benar menjadi pintu lahirnya peradaban Islam yang mencerahkan.
📚 Referensi
- Al-Qur’an (QS. Al-Ahzab: 71; QS. Al-Anbiya: 107).
- HR. Ahmad; HR. Malik.
- Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah.
- Muhammad Asad, The Message of the Qur’an.
- Syed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man.
Komentar
Posting Komentar