Mall Ramai, Tapi yang Belanja Rojali dan Rohana: Fenomena Konsumsi Gaya Baru

 

Oleh: Lukmanul Hakim

Ketika akhir pekan tiba, parkiran mall-mall besar di kota-kota Indonesia dipenuhi kendaraan. Di dalam, suasana lebih mirip festival daripada pusat belanja—ramai, penuh tawa, dan spot-spot foto yang tak pernah sepi. Tapi anehnya, sebagian besar toko justru sepi transaksi. Fenomena ini lalu melahirkan istilah jenaka: Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya). Ungkapan ini bukan hanya lucu, tapi juga menyimpan refleksi sosial yang dalam.

Mall hari ini telah bergeser fungsi. Ia bukan lagi sekadar tempat belanja, melainkan telah menjadi ruang publik baru—tempat orang datang untuk “healing”, bertemu teman, menghibur anak, atau sekadar menikmati udara sejuk dari pendingin ruangan. Di tengah minimnya taman kota yang layak dan ruang terbuka yang nyaman, mall menjadi destinasi yang terasa gratis, aman, dan tentu saja, instagramable.

Konsumen masa kini juga semakin kritis dan rasional. Mereka datang ke mall untuk melihat-lihat, membandingkan harga, mencoba produk, lalu mengecek marketplace online sebelum memutuskan beli. Tak jarang, mereka hanya “nanya-nanya” tanpa niat membeli. Maka wajar jika banyak tenant hanya jadi tempat transit bagi para Rohana, bukan tempat transaksi.

Namun, kita juga tak bisa menutup mata pada kenyataan ekonomi. Tidak semua pengunjung mall adalah kelas menengah ke atas. Banyak di antaranya datang untuk menikmati suasana dan mencicipi gaya hidup urban meski dengan anggaran terbatas. Maka, kehadiran mereka bukan bentuk kemewahan, melainkan bentuk adaptasi sosial: mereka ingin menjadi bagian dari modernitas, walau secara konsumsi tetap realistis.

Fenomena Rojali dan Rohana adalah gambaran kontras antara aspirasi dan kenyataan. Aspirasi untuk menjadi bagian dari masyarakat modern, yang diwakili oleh aktivitas nongkrong dan eksis di mall, berhadapan dengan realitas ekonomi yang tidak memungkinkan belanja impulsif. Tapi dari sana pula kita belajar, bahwa masyarakat kita sedang mengalami pergeseran budaya konsumsi—dari sekadar membeli barang menjadi membeli pengalaman dan citra diri.

Akhirnya, kita tidak bisa menyalahkan Rojali dan Rohana. Mereka hadir bukan karena malas belanja, tapi karena mall sudah berubah menjadi arena sosial. Bagi pengelola mall dan pelaku usaha, ini adalah tantangan sekaligus peluang: bagaimana mengemas pengalaman berbelanja agar tetap menarik bagi generasi yang lebih suka "nanya dulu, belanja belakangan" ini.

Mall memang tetap ramai. Tapi jangan berharap selalu untung. Karena di antara lautan pengunjung, bisa jadi yang benar-benar belanja cuma satu dua. Sisanya? Ya Rojali dan Rohana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa