Bahasa Manusia dan Komunikasi Binatang: Menjaga Batas Konseptual Ilmiah
Oleh: Lukmanul Hakim
Di antara banyak keistimewaan manusia dibanding makhluk lain di bumi ini, kemampuan berbahasa menjadi salah satu yang paling menentukan peradaban. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat berpikir, membangun makna, dan mentransmisikan budaya secara lintas generasi. Namun, apakah makhluk lain, seperti binatang, juga memiliki "bahasa"?
Pertanyaan ini sering muncul dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam ruang-ruang akademik. Kita kerap menyaksikan hewan—terutama yang hidup dekat manusia seperti kucing, anjing, atau burung—mengeluarkan suara dengan intonasi berbeda bergantung pada situasi. Mereka tampaknya "menyapa", "meminta", bahkan "marah". Lalu muncul pertanyaan: bukankah itu juga bentuk bahasa?
Untuk menjawabnya, kita perlu membedakan antara komunikasi dan bahasa dalam pengertian ilmiah.
Bahasa: Simbolik, Produktif, dan Khas Manusia
Bahasa bukan hanya sekumpulan bunyi. Ia adalah sistem simbol arbitrer yang dipakai untuk menyampaikan makna, berpikir, dan membentuk realitas. Edward Sapir pernah menyatakan bahwa bahasa adalah "metode non-instingtif dan khas manusia untuk menyampaikan ide, emosi, dan keinginan melalui simbol-simbol yang diproduksi secara sukarela."
Dalam linguistik modern, ciri-ciri khas bahasa manusia telah dirumuskan oleh Charles Hockett lewat konsep design features of language, di antaranya:
- Produktivitas: manusia bisa menciptakan kalimat baru tanpa batas, bahkan yang belum pernah diucapkan sebelumnya.
- Daya rujuk tak langsung (displacement): bahasa bisa merujuk pada hal yang tidak hadir, bahkan yang tidak nyata.
- Kebermaknaan arbitrer: tidak ada hubungan langsung antara bunyi dan makna (misalnya, “kucing” dalam bahasa Indonesia berbeda dengan “cat” dalam bahasa Inggris).
- Dualitas struktur: kombinasi bunyi membentuk kata, kata membentuk kalimat.
- Transmisi budaya: bahasa dipelajari, bukan diturunkan secara biologis.
Kelima ciri utama ini membuat bahasa manusia sangat fleksibel, kompleks, dan terbuka terhadap kemungkinan tak terbatas.
Komunikasi Binatang: Terbatas dan Stimulus-Spesifik
Sebaliknya, komunikasi binatang bersifat terbatas, stimulus-driven, dan umumnya instingtif. Seekor kucing bisa mengeong untuk meminta makan, marah, atau mencari perhatian. Tapi suara itu selalu terkait langsung dengan situasi tertentu. Tidak ada bukti bahwa seekor kucing bisa secara bebas menggabungkan unsur bunyi membentuk makna baru. Begitu pula dengan nyanyian burung, dengusan gajah, atau sinyal lebah: semuanya bersifat tetap, kontekstual, dan tidak kreatif dalam arti linguistik.
Para ahli lebih memilih menyebut fenomena itu sebagai “animal communication system” atau “signaling system”, bukan bahasa. Dengan begitu, kita tidak mengabaikan kecerdasan hewan, tapi tetap menjaga batas konseptual dan metodologis yang memisahkan antara sistem komunikasi hewan dan bahasa manusia.
Mengapa Hanya Manusia yang Memiliki Bahasa?
Pernyataan “hanya manusia yang memiliki bahasa” bukanlah bentuk arogansi spesies. Pernyataan ini ditarik dari kerangka definisi yang ketat. Jika kita longgarkan definisi bahasa sekadar menjadi “alat komunikasi,” maka semua makhluk hidup bisa dikatakan punya bahasa—dari lebah hingga lumut. Tapi itu akan mengaburkan makna bahasa sebagai sistem simbol yang produktif dan reflektif yang hanya ditemukan pada manusia.
Kekhasan bahasa manusia terletak pada kemampuannya untuk menyusun makna, merepresentasikan masa lalu, menyusun rencana masa depan, membangun narasi, hingga menciptakan dunia fiksi dan hukum. Bahasa adalah tempat berpikir dan tempat makna tinggal.
Penutup: Bahasa sebagai Jejak Kemanusiaan
Kajian tentang perbedaan antara bahasa dan sistem komunikasi makhluk lain mengingatkan kita pada pentingnya presisi dalam ilmu pengetahuan. Menyamakan sistem bunyi pada binatang dengan bahasa manusia adalah bentuk kekuranghati-hatian akademik. Kita boleh dan bahkan harus mengakui kompleksitas komunikasi binatang, tetapi tidak bisa serta-merta menyebutnya sebagai "bahasa" dalam pengertian ilmiah.
Bahasa manusia bukan hanya alat bicara. Ia adalah jejak kemanusiaan, penanda kebudayaan, dan jembatan antara pikiran dan peradaban. Di dalam bahasa, manusia menegaskan kemanusiaannya.
Referensi:
- Hockett, Charles F. (1960). The Origin of Speech. Scientific American.
- Sapir, Edward. (1921). Language: An Introduction to the Study of Speech. Harcourt.
- Crystal, David. (2003). The Cambridge Encyclopedia of Language. Cambridge University Press.
- Hauser, M.D., Chomsky, N., & Fitch, W.T. (2002). The Faculty of Language: What Is It, Who Has It, and How Did It Evolve? Science, 298(5598), 1569–1579.
Komentar
Posting Komentar