Adab Berbeda Pendapat: Merajut Ukhuwah di Tengah Pluralitas

Oleh: Lukmanul Hakim (Pemerhati dan Penulis Budaya, Sosial, dan Isu-isu Keislaman Kontemporer)

Indonesia, dengan segala keberagamannya, adalah mozaik indah yang dihuni oleh jutaan jiwa dengan latar belakang, suku, budaya, dan pemahaman yang berbeda-beda. Dalam konteks keislaman, perbedaan pandangan dan mazhab adalah keniscayaan sejarah yang telah ada sejak masa awal. Namun, di era digital yang serba cepat ini, perbedaan pendapat, terutama dalam isu-isu agama, seringkali berubah menjadi medan perpecahan, bahkan permusuhan. Di sinilah adab berbeda pendapat menjadi sangat krusial, bukan hanya untuk menjaga ukhuwah Islamiyah, tetapi juga untuk merajut tenun kebangsaan di tengah pluralitas.

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah sunnatullah, sebuah keniscayaan. Bahkan di kalangan para sahabat Nabi SAW, terdapat perbedaan interpretasi dan pandangan tentang berbagai masalah fikih dan muamalah. Imam Asy-Syafi'i, salah satu imam mazhab terbesar, pernah berkata, "Pendapatku benar, tetapi ada kemungkinan salah. Pendapat selainku salah, tetapi ada kemungkinan benar." Ungkapan ini, yang dinukil dalam banyak literatur fikih, adalah fondasi adab dalam berilmu dan berdiskusi. Ia menunjukkan kerendahan hati intelektual dan pengakuan terhadap kemungkinan adanya kebenesan pada pandangan orang lain.

Sayangnya, di era media sosial, adab ini seringkali tergerus. Ruang-ruang diskusi virtual, yang seharusnya menjadi forum pencerahan, kerap berubah menjadi arena caci-maki dan saling menjatuhkan. Fatwa pribadi seolah menjadi dogma yang tak terbantahkan, dan mereka yang berbeda pandangan langsung dicap sesat, bahkan kafir. Fenomena ini, yang sering diamati oleh para sosiolog dan pengamat komunikasi seperti Manuel Castells dalam karyanya Communication Power (2009) tentang bagaimana ruang digital memengaruhi interaksi sosial, menunjukkan betapa rentannya ukhuwah jika adab diabaikan.

Lantas, bagaimana merajut ukhuwah di tengah badai perbedaan pendapat?

1. Niat yang Lurus: Mencari Kebenaran, Bukan Kemenangan

Prioritas utama dalam berdiskusi atau mengutarakan pendapat adalah mencari kebenaran, bukan semata-mata untuk mengalahkan lawan bicara atau memaksakan kehendak. Ketika niat sudah tercemari oleh ego dan ambisi, diskusi akan kehilangan ruhnya dan berubah menjadi ajang permusuhan. Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin sangat menekankan pentingnya niat tulus dalam setiap amal, termasuk dalam berilmu dan berdebat.

2. Berpegang pada Ilmu dan Dalil, Bukan Emosi

Pendapat haruslah dilandasi oleh ilmu dan dalil yang kuat, bukan sekadar emosi atau prasangka. Mengutip dalil harus dilakukan secara utuh dan kontekstual, bukan parsial atau sepotong-sepotong demi mendukung argumen pribadi. Ini sejalan dengan prinsip istinbath (pengambilan hukum) dalam ushul fikih yang menuntut penalaran sistematis dan komprehensif.

3. Bertutur Kata yang Baik (Qaulan Layyinan)

Al-Qur'an mengajarkan kita untuk bertutur kata yang lembut, bahkan kepada Firaun sekalipun, seperti firman Allah dalam Surah Thaha ayat 44: "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." Jika kepada Firaun saja dianjurkan kelembutan, apalagi kepada sesama Muslim. Penggunaan kata-kata yang kasar, merendahkan, atau menuduh hanya akan memperkeruh suasana dan merusak ukhuwah.

4. Menghargai Perbedaan (Tasamuh) dan Mengedepankan Husnuzan

Menghargai bahwa ada beragam tafsir dan pemahaman adalah kunci. Tidak semua perbedaan adalah bid'ah atau kesesatan; sebagian besar adalah khilafiyah yang mu'tabar (diakui dalam khazanah keilmuan Islam). Yusuf Al-Qaradawi dalam banyak karyanya menyerukan pentingnya tasamuh (toleransi) dalam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, selama masih dalam koridor syariat yang jelas. Mengedepankan prasangka baik (husnuzan) kepada saudara seiman, bahwa mereka pun memiliki dalil atau ijtihad yang mendasari pandangan mereka, adalah sikap yang mendewasakan.

5. Membangun Jembatan, Bukan Tembok

Tujuan akhir dari setiap diskusi seharusnya adalah membangun pemahaman bersama atau setidaknya mempersempit jurang perbedaan, bukan justru menciptakan tembok-tembok baru. Dalam konteks Indonesia, adab berbeda pendapat ini juga berarti menjaga harmoni antar-umat beragama dan komponen bangsa lainnya. Semangat persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) yang sering disampaikan oleh para ulama dan tokoh nasional seperti KH. Abdurrahman Wahid, adalah pilar utama yang harus kita pegang teguh.

Di era pluralitas yang kian kompleks, adab berbeda pendapat bukan lagi sekadar etika, melainkan sebuah kebutuhan mendesak. Ia adalah kunci untuk menjaga persatuan umat, merawat kerukunan sosial, dan memastikan bahwa perbedaan yang ada menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Mari kita jadikan ruang-ruang diskusi, baik di dunia nyata maupun maya, sebagai arena adu argumen yang sehat dan beradab, bukan medan pertempuran yang merusak ukhuwah.

Daftar Pustaka:

Al-Ghazali, Imam. Ihya' Ulumuddin. 

Castells, Manuel. Communication Power. Oxford: Oxford University Press, 2009.

Al-Qaradawi, Yusuf. (Berbagai karya yang membahas tentang tasamuh dan ikhtilaf).

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak