Yahudi dan Israel: Menjernihkan Kekeliruan Istilah dan Persepsi
Oleh: Lukmanul Hakim
Dalam diskursus keagamaan maupun wacana politik global, istilah "Yahudi" dan "Israel" kerap kali digunakan secara tumpang tindih, bahkan dianggap sinonim. Padahal, secara konseptual, historis, dan teologis, keduanya memiliki makna dan cakupan yang sangat berbeda. Kekeliruan dalam penggunaan istilah ini tidak sekadar persoalan linguistik, tetapi dapat berdampak pada pembentukan opini publik yang bias, stigma kolektif, bahkan munculnya kebencian yang tidak adil terhadap kelompok tertentu. Oleh karena itu, membedakan antara “Yahudi” sebagai identitas agama dan etnis, serta “Israel” sebagai entitas negara dan politik, menjadi penting demi menjaga nalar yang adil dan proporsional dalam menyikapi isu-isu kemanusiaan dan konflik geopolitik.
Secara historis dan teologis, istilah Yahudi (Jew/Jewish) merujuk pada dua kategori besar: pertama, mereka yang menganut agama Yudaisme, dan kedua, mereka yang secara etnis merupakan keturunan dari Bani Israil, yakni anak-cucu dari Nabi Ya’qub (Israel). Dalam bukunya A History of the Jews (HarperCollins, 1987), sejarawan Paul Johnson menegaskan bahwa menjadi Yahudi bukan hanya soal keyakinan, melainkan juga ikatan sejarah, budaya, dan garis keturunan. Oleh karena itu, seseorang dapat tetap menyebut dirinya Yahudi meskipun telah meninggalkan ajaran agama Yudaisme, sebagaimana banyak Yahudi sekuler yang tersebar di berbagai belahan dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, atau Prancis. Ini menjelaskan bahwa Yahudi tidak selalu identik dengan agama semata, tetapi juga mencakup unsur identitas kultural dan etnisitas historis.
Di sisi lain, Israel adalah negara modern yang berdiri pada 14 Mei 1948, hasil dari proyek politik Zionisme, yakni gerakan nasionalisme sekuler Yahudi yang dirintis pada akhir abad ke-19 oleh tokoh-tokoh seperti Theodor Herzl. Zionisme sendiri awalnya mendapat penolakan dari banyak kalangan Yahudi Ortodoks, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Taurat. Zionisme meyakini bahwa orang-orang Yahudi perlu memiliki negara sendiri di tanah Palestina untuk mengakhiri penindasan diaspora. Adapun deklarasi pendirian Israel yang disponsori melalui Deklarasi Balfour 1917 dan diresmikan melalui Resolusi PBB 181 pada tahun 1947, justru menjadi pemicu eksodus dan penderitaan panjang bagi rakyat Palestina yang telah lebih dahulu mendiami wilayah tersebut.
Meskipun Israel menyebut dirinya sebagai “Negara Yahudi”, namun komposisi penduduknya cukup majemuk. Berdasarkan laporan Israel Central Bureau of Statistics tahun 2024, sekitar 21 persen penduduk Israel bukanlah orang Yahudi, melainkan Arab-Muslim, Arab-Kristen, dan komunitas Druze. Artinya, tidak semua warga Israel beragama Yahudi. Sebaliknya, banyak orang Yahudi di dunia tidak tinggal di Israel, dan bahkan tidak mendukung keberadaan negara tersebut. Salah satu contoh nyata adalah komunitas Neturei Karta, sebuah kelompok Yahudi Ortodoks anti-Zionis, yang menolak legitimasi negara Israel atas dasar teologi. Dalam pernyataan resminya, mereka menegaskan: “Judaism is a religion, not a political movement. We are not anti-Semitic, we are anti-Zionist.” (Neturei Karta International, 2021). Pandangan ini menunjukkan bahwa tidak semua Yahudi bersikap pro-Israel, sebagaimana tidak semua warga Israel adalah Yahudi.
Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an menyebut Bani Israil sebagai umat yang diberi banyak keistimewaan oleh Allah, namun juga sering kali melanggar perintah dan amanah-Nya. Ayat seperti “Wahai Bani Israil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepada kalian…” (QS. Al-Baqarah [2]: 47) menjadi salah satu cerminan posisi mereka dalam sejarah kenabian. Para mufassir klasik seperti Imam Al-Qurthubi dan Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa ayat-ayat tentang Bani Israil tidak ditujukan kepada negara Israel modern, melainkan kepada komunitas Yahudi pada masa lampau yang hidup bersama para nabi. Maka, menyamakan antara istilah "Bani Israil" dalam Al-Qur’an dengan entitas politik Israel masa kini adalah kekeliruan metodologis yang harus diluruskan.
Kekeliruan dalam membedakan antara Yahudi dan Israel inilah yang sering menimbulkan sikap anti-Yahudi atau antisemitisme yang tidak berdasar. Dalam banyak kasus, kritik terhadap kebijakan negara Israel—seperti penjajahan wilayah Palestina, pembangunan pemukiman ilegal, dan kekerasan terhadap warga sipil—kemudian dibelokkan menjadi sikap membenci seluruh orang Yahudi. Ini jelas tidak adil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Islam tidak pernah mengajarkan untuk membenci suatu kelompok berdasarkan ras atau agama. Bahkan Nabi Muhammad SAW menjalin hubungan damai dan adil dengan komunitas Yahudi di Madinah, selama mereka tidak berkhianat terhadap konstitusi bersama.
Karena itu, penting untuk terus menegaskan bahwa kritik terhadap Israel adalah kritik terhadap kebijakan negara, bukan terhadap agama Yahudi. Kritik terhadap Zionisme bukan berarti memusuhi orang Yahudi. Para cendekiawan dan aktivis kemanusiaan global pun membedakan secara jelas antara kritik politik dan kebencian berbasis identitas. Karen Armstrong dalam A History of Jerusalem (1997) mengingatkan bahwa agama kerap dijadikan justifikasi untuk ambisi politik, dan penting bagi kita untuk tidak terjebak dalam manipulasi tersebut.
Dengan memahami perbedaan antara Yahudi dan Israel secara tepat, kita bisa bersikap adil dan bijak dalam menyikapi konflik yang melibatkan keduanya. Kita dapat menolak penjajahan, mendukung kemerdekaan Palestina, tanpa harus terjatuh dalam lubang kebencian etnis atau agama yang tidak dibenarkan. Ini adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual kita sebagai Muslim, sekaligus sebagai manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan universal.
Referensi:
- Paul Johnson, A History of the Jews, HarperCollins, 1987.
- Karen Armstrong, A History of Jerusalem, Ballantine Books, 1997.
- Israel Central Bureau of Statistics, “Statistical Abstract of Israel 2024.”
- Neturei Karta International, www.nkusa.org
- Tafsir Al-Qurthubi dan Fakhruddin al-Razi, QS. Al-Baqarah:47
Komentar
Posting Komentar