Takwa dan Keadilan Sosial: Jalan Spiritual Menuju Masyarakat Beradab

Oleh: Lukmanul Hakim

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat [49]:13)

Takwa Tak Pernah Netral

Kata “takwa” sering dipahami sebagai hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan—urusan batiniah, individual, dan spiritual. Namun jika ditelusuri lebih jauh dalam Al-Qur’an, takwa justru berhubungan erat dengan tatanan sosial, ekonomi, dan keadilan dalam kehidupan masyarakat.

Dengan kata lain, takwa sejati tidak berhenti di sajadah, melainkan melangkah ke jalan-jalan sunyi perjuangan sosial: mengangkat kaum tertindas, menolak kezaliman, dan membela yang lemah.

Takwa dalam Dimensi Sosial

Dalam Al-Qur’an, orang bertakwa digambarkan sebagai mereka yang:

  • Menunaikan zakat dan menafkahkan hartanya (QS. Al-Baqarah [2]:2–3)
  • Menahan amarah dan memaafkan orang lain (QS. Ali ‘Imran [3]:134)
  • Menegakkan keadilan, bahkan terhadap diri sendiri atau keluarga (QS. An-Nisa [4]:135)

Tiga aspek ini memperlihatkan bahwa takwa adalah akhlak sosial, bukan hanya ketundukan ritual. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Muhammad Abduh, takwa dalam masyarakat yang adil adalah pilar utama reformasi umat. Baginya, masyarakat yang tidak adil adalah tanda lemahnya kesadaran takwa.

Keadilan Sosial: Buah dari Takwa

Keadilan sosial bukan ide sekuler yang bertentangan dengan agama. Justru dalam Islam, ia merupakan buah dari pohon takwa. Rasulullah SAW adalah contoh nyata: bukan hanya mengajarkan salat dan puasa, tapi juga membebaskan budak, menghapus riba, memperjuangkan hak-hak perempuan dan kaum miskin.

Dalam khutbah terakhirnya, beliau berkata:

“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhanmu satu dan ayahmu satu. Tidak ada kelebihan Arab atas non-Arab, atau putih atas hitam, kecuali dengan takwa.”
(HR. Ahmad dan al-Baihaqi)

Kata “kecuali dengan takwa” bukan dimaksudkan untuk mengembalikan manusia ke perlombaan religius semu, melainkan untuk menegaskan bahwa kesetaraan dan keadilan adalah asas spiritual tertinggi dalam Islam.

Imam Ali dan Takwa Sosial

Imam Ali bin Abi Thalib, dalam suratnya kepada gubernur Mesir Malik al-Ashtar, menekankan bahwa pemimpin yang bertakwa adalah yang memperhatikan:

  • Kaum fakir miskin
  • Orang-orang tertindas
  • Keadilan dalam distribusi kekayaan
  • Transparansi dan akuntabilitas pemerintahan

Surat ini, yang tercantum dalam Nahjul Balaghah, memperlihatkan bahwa takwa dalam konteks kepemimpinan adalah keberpihakan kepada keadilan sosial, bukan sekadar kesalehan personal.


Menghindari Takwa Kosmetik

Hari ini, umat Islam menghadapi tantangan besar: takwa telah direduksi menjadi identitas simbolik—busana, jargon, dan gelar. Padahal, masyarakat kita masih dihantui ketimpangan, kemiskinan struktural, diskriminasi kelas, dan ketidakadilan hukum.

Takwa yang sejati menolak semua itu. Ia menuntut kita untuk tidak hanya menjadi saleh secara pribadi, tapi juga menjadi kekuatan sosial yang membebaskan. Seperti ditegaskan oleh Prof. M. Amin Abdullah (2020), spiritualitas yang tidak mendorong perubahan sosial akan mandek menjadi ritualisme dan kehilangan daya transformasi.

Penutup: Takwa dan Peradaban

Peradaban besar tidak lahir dari doa yang panjang saja, tetapi dari takwa yang membumi—yang menginspirasi kejujuran, solidaritas, kesetaraan, dan keberpihakan terhadap yang lemah. Islam datang tidak hanya membawa pesan tauhid, tetapi juga keadilan (‘adl) dan kasih sayang (rahmah).

Mari kita kembalikan makna takwa sebagai jalan menuju masyarakat yang adil dan beradab. Karena di situlah letak kemuliaan sejati—bukan pada simbol, tapi pada keberpihakan yang nyata.

Referensi:

  • Al-Qur’an al-Karim: QS. Al-Hujurat [49]:13, QS. Al-Baqarah [2]:2–3, QS. An-Nisa [4]:135, QS. Ali ‘Imran [3]:134.
  • Tafsir al-Mishbah, M. Quraish Shihab, Lentera Hati.
  • Nahjul Balaghah, edisi terjemahan, bagian surat-surat Imam Ali.
  • Amin Abdullah, “Agama dan Realitas Sosial”, dalam Islam Nusantara dan Tantangan Zaman, Yogyakarta: SUKA Press, 2020.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa