Siapa Waliyullah Zaman Sekarang? Membedah Mitos dan Realita
Oleh: Lukmanul Hakim
Penulis adalah pegiat kajian tasawuf dan sosial-keagamaan
Dalam tradisi Islam, sebutan waliyullah—kekasih Allah—merupakan gelar spiritual yang sangat agung. Ia merujuk pada orang-orang yang dekat dengan Allah SWT karena ketakwaan, keikhlasan, dan kesalehan hidupnya. Masyarakat Muslim kerap menggambarkan para wali sebagai tokoh bertabur karomah, ahli ibadah yang zuhud, dan memiliki kedudukan spiritual yang tinggi.
Namun, di tengah dunia modern yang sarat dinamika dan pencitraan, muncul pertanyaan mendasar: siapakah waliyullah di zaman sekarang? Apakah mereka masih ada? Ataukah mereka hanya tinggal dalam cerita masa silam?
Antara Imajinasi dan Realitas
Pandangan masyarakat awam tentang wali cenderung terbentuk dari kisah-kisah menakjubkan yang diwariskan secara turun-temurun. Wali dianggap mampu menyembuhkan penyakit secara ajaib, membaca isi hati orang, atau bahkan mengetahui hal-hal gaib. Dalam cerita-cerita lokal, sosok seperti Sunan Kalijaga, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, atau Syekh Siti Jenar menjadi tokoh sentral yang dikelilingi mitos spiritual.
Padahal, para ulama sufi klasik menekankan bahwa karomah bukanlah syarat utama kewalian. Dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah, Imam al-Qusyairi menyebutkan bahwa wali Allah adalah mereka yang menjaga keikhlasan dalam amal, lurus dalam perilaku, dan menjauh dari sifat riya dan cinta dunia. Artinya, seseorang bisa saja menjadi wali tanpa pernah menampakkan satu pun keajaiban.
Kesalehan batin, kelurusan akhlak, dan keteguhan hati dalam menjalankan syariat adalah parameter utama. Wali sejati hadir bukan untuk mengundang decak kagum, tetapi menjadi perpanjangan kasih sayang Allah bagi sesama.
Wali dalam Realitas Sosial Kita
Di era sekarang, para waliyullah mungkin tidak lagi tampak dalam wujud berjubah panjang atau menyendiri di balik tembok pesantren. Mereka bisa saja adalah guru yang dengan sabar membina anak-anak di daerah terpencil, dokter yang merawat pasien miskin tanpa pamrih, atau petani yang terus bersyukur meski hasil panen tak seberapa.
Mereka menjalani hidup dengan ketulusan dan keikhlasan, menjaga integritas di tengah godaan, dan tetap istiqamah dalam ibadah meski tak terlihat oleh banyak mata. Mereka tidak viral, tidak menuntut penghormatan, bahkan tak mengenakan simbol-simbol kesalehan. Tetapi justru dari kesederhanaan itulah terpancar ruh kewalian yang sesungguhnya.
Menjaga Objektivitas dan Menghindari Kultus
Sayangnya, tak sedikit masyarakat yang mudah memberi gelar "wali" hanya karena seseorang memiliki kemampuan luar biasa atau aura kharismatik. Dalam beberapa kasus, kultus terhadap figur yang dianggap wali bisa berujung pada pengkultusan dan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid. Kita perlu lebih bijak dan kritis dalam menilai, dengan tetap menjunjung adab dan etika.
Kesalehan tidak diukur dari kemampuan mencitrakan diri, tetapi dari ketulusan dalam mencintai Allah dan makhluk-Nya. Waliyullah bukan profesi atau jabatan sosial, melainkan hasil dari perjalanan spiritual yang sunyi dan panjang.
Akhirnya, Wali Ada di Sekitar Kita
Kita tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk mencari wali Allah. Barangkali, mereka ada di sekitar kita—dalam figur orang tua yang setia membimbing keluarga, tetangga yang dermawan, atau teman yang senantiasa mendoakan dalam diam.
Waliyullah zaman sekarang tetap ada, meski tanpa sorban dan tongkat. Mereka hadir dalam bentuk-bentuk sederhana, membumi, dan nyata. Dalam dunia yang gaduh dan penuh pencitraan, para wali sejati memilih jalan sepi: jalan cinta dan pengabdian kepada Tuhan dan kemanusiaan.
Komentar
Posting Komentar