Moderasi Bukan Kompromi, Tapi Komitmen pada Keseimbangan
Oleh: Lukmanul Hakim
Istilah moderasi beragama dalam beberapa tahun terakhir sering menjadi bahan diskusi dan perdebatan. Sayangnya, masih banyak yang menyalahpahami istilah ini. Sebagian kalangan mengira bahwa menjadi moderat berarti mencairkan prinsip, menoleransi penyimpangan, atau menyamakan semua agama. Padahal, moderasi dalam Islam bukanlah bentuk kompromi nilai, tetapi komitmen pada prinsip keadilan, proporsionalitas, dan keseimbangan.
Wasathiyah: Nilai Asli Islam, Bukan Impor Barat
Al-Qur’an menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan):
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) sebagai umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.”
(QS. Al-Baqarah: 143)
Kata wasath dalam bahasa Arab memiliki makna tengah, adil, dan terbaik. Tafsir al-Thabari menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah umat yang bersikap adil dalam iman, ibadah, dan muamalah. Dalam Fiqh al-Wasathiyah al-Islamiyyah, Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa moderasi adalah karakter dasar umat Islam yang menolak ekstrimitas—baik dalam bentuk ghuluw (berlebihan) maupun tafrith (mengabaikan kewajiban) (al-Qaradawi, 2010).
Dengan demikian, moderasi bukan agenda barat, melainkan nilai Islam itu sendiri yang telah tertanam dalam Al-Qur’an dan dijalankan oleh Nabi Muhammad ﷺ serta generasi awal umat ini.
Moderasi Itu Tegas, Bukan Loyo
Moderasi sering disalahartikan sebagai sikap lunak yang tidak punya pendirian. Padahal, sikap moderat justru menuntut keteguhan prinsip dan kelapangan jiwa dalam menyikapi perbedaan serta godaan ekstremisme. Rasulullah ﷺ sendiri adalah contoh moderasi sejati: beliau tegas melawan penindasan Quraisy, tetapi tetap pemaaf terhadap pribadi yang menyakitinya.
Dalam Wawasan al-Qur’an, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan yang diajarkan Islam mencakup dimensi akidah, akhlak, hukum, dan sosial. Islam tidak membenarkan kekerasan atas nama agama, juga tidak membenarkan relativisme yang menghapus batas antara kebenaran dan kebatilan (Shihab, 2000).
Moderasi sebagai Warisan Keilmuan Ulama
Ulama klasik telah menanamkan nilai moderasi sejak lama. Al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulum al-Din, sering memperingatkan agar umat tidak terjebak pada dua kutub ekstrem: terlalu keras hingga mematikan hati, atau terlalu longgar hingga mengabaikan syariat. Ia berkata, “Jalan lurus adalah jalan tengah antara dua kecenderungan yang merusak” (al-Ghazali, Ihya’, Jilid 3).
Begitu pula al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, menekankan bahwa semua hukum syariat sejatinya bertujuan menjaga lima hal pokok (maqashid al-syari’ah): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Maka, ijtihad dan hukum Islam harus berjalan seimbang antara teks dan konteks, antara keadilan dan kemaslahatan (al-Syatibi, Al-Muwafaqat, 2004).
Moderasi Bukan Netralitas, Tapi Keadilan
Sikap moderat bukan berarti bersikap netral terhadap kebenaran dan kebatilan. Moderasi bukan relativisme. Dalam Agama Masa Depan, Komaruddin Hidayat menyebut bahwa sikap moderat lahir dari kesadaran transendental dan tanggung jawab moral untuk memperjuangkan kebenaran dengan cara yang etis, bukan dengan kekerasan atau hujatan (Hidayat, 2007).
Itulah mengapa dalam dakwah, Rasulullah ﷺ mengajarkan prinsip bil hikmah wa al-mau’izhah al-hasanah—menggunakan kebijaksanaan dan nasihat yang baik (QS. An-Nahl: 125). Moderasi adalah sikap intelektual dan spiritual yang menempatkan dakwah bukan pada kemarahan, tetapi pada kasih sayang dan argumentasi yang terang.
Menjaga Persatuan, Menolak Ekstremisme
Sejarah Islam mencatat, perpecahan dan kehancuran umat bukan disebabkan oleh ajaran Islam itu sendiri, melainkan oleh penyimpangan sikap para pengikutnya: fanatisme, takfiri, klaim kebenaran tunggal, dan pemaksaan kehendak. Di sinilah pentingnya moderasi sebagai perekat ukhuwah dan penyeimbang dinamika sosial keagamaan.
Ibn Taymiyyah, tokoh yang sering dikutip oleh berbagai kalangan, dalam banyak fatwanya justru mengecam keras perilaku berlebihan dalam agama. Ia menulis: “Orang yang melampaui batas dalam agama justru keluar dari jalan Nabi” (Majmu’ al-Fatawa, Jilid 10).
Penutup: Menjadi Muslim Moderat adalah Pilihan Ilmiah dan Imaniah
Menjadi moderat bukan berarti ragu-ragu atau abu-abu dalam prinsip. Sebaliknya, itu adalah pilihan sadar dan matang, lahir dari kedalaman ilmu dan kekuatan iman. Moderasi adalah jalan panjang para ulama pewaris nabi, bukan jalan pintas para pencari popularitas.
Dengan moderasi, umat Islam tidak kehilangan identitas, tetapi justru makin menunjukkan kedewasaan. Sebab, moderasi adalah komitmen terhadap keseimbangan, bukan kompromi terhadap kebenaran.
Daftar Referensi:
- Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah: 143 dan An-Nahl: 125
- Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Dar al-Ma’rifah, Beirut
- Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Dar Ibn ‘Affan, 2004
- Yusuf al-Qaradawi, Fiqh al-Wasathiyah al-Islamiyyah, Maktabah Wahbah, 2010
- M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Mizan, 2000
- Komaruddin Hidayat, Agama Masa Depan: Perspektif Transendentalisme Kritis, Gramedia, 2007
- Ibn Taymiyyah, Majmu’ al-Fatawa, Dar al-Wafa’, 2005
Komentar
Posting Komentar