Mistisisme, Magis, dan Syariat: Mengurai Akar Penyimpangan dalam Tradisi Tasawuf
Oleh: Lukmanul Hakim
Tasawuf, dalam sejarah Islam, merupakan jalan penyucian jiwa yang tumbuh dari nilai-nilai spiritual Al-Qur’an dan Sunnah. Ia diwarisi secara turun-temurun oleh para ulama dan para wali yang menjalani kehidupan penuh zuhud, ikhlas, dan cinta kepada Allah. Namun, di tengah masyarakat yang terus berubah, tasawuf tak luput dari berbagai penyimpangan. Salah satu bentuk penyimpangan yang paling menonjol adalah percampuran antara mistisisme yang berlebihan, praktik magis yang bersumber dari budaya lokal, serta pengabaian terhadap nilai-nilai syariat. Artikel ini bertujuan mengurai akar penyimpangan tersebut dan menawarkan pendekatan yang sehat terhadap pemahaman tasawuf dalam kerangka Ahlussunnah wal Jamaah.
Mistisisme dalam Islam dikenal melalui istilah dzauq (rasa spiritual) atau kasyf (penyingkapan ruhani). Dalam batas tertentu, hal ini sah-sah saja sebagai bagian dari pengalaman ruhani seorang salik. Namun, penyimpangan terjadi saat mistisisme dijadikan pembenar untuk meninggalkan kewajiban syariat. Beberapa kelompok mengklaim telah mencapai maqam makrifat sehingga tak lagi wajib salat, puasa, atau mengikuti rukun-rukun Islam lainnya. Padahal, menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, tidak ada jalan menuju makrifat tanpa terlebih dahulu menegakkan syariat secara istiqamah. Ia bahkan memperingatkan bahwa setiap klaim makrifat yang memutus hubungan dengan syariat sejatinya adalah zindik, bukan sufi.
Dalam konteks lain, banyak pula orang yang mencampuradukkan antara karomah dan praktik magis. Karomah adalah kejadian luar biasa yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh. Karomah bukan sesuatu yang bisa diminta, dipamerkan, apalagi dijadikan alat pencitraan spiritual. Berbeda dengan karomah, praktik magis sering kali berakar dari kepercayaan animisme atau warisan budaya lokal yang tidak berdasar pada Islam. Contohnya adalah penggunaan azimat, rajah, minyak bertuah, atau ritual wirid yang ditujukan untuk pesugihan, pengasihan, bahkan kekuasaan. Jika tidak dilandasi ilmu yang benar, hal ini dapat menyerempet pada kesyirikan. Nabi Muhammad ﷺ sendiri bersabda bahwa siapa pun yang mendatangi dukun atau paranormal, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada beliau (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim).
Fenomena penyimpangan juga diperparah oleh pelestarian tradisi lokal yang tidak tersaring secara syar’i. Dalam banyak komunitas, praktik-praktik seperti nyadran dengan sesajen, mantra dalam zikir, atau glorifikasi tokoh tarekat secara berlebihan masih dilestarikan atas nama tasawuf. Padahal, tasawuf sejati justru membersihkan jiwa dari syirik, tahayul, dan bid’ah dolalah, bukan mengemasnya dalam jubah religius. Hal ini menegaskan perlunya membedakan antara kearifan lokal dan kejumudan spiritual yang menyesatkan.
Untuk menjaga kemurnian tasawuf, para ulama telah menekankan pentingnya berpegang pada tarekat-tarekat muktabarah, seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, dan lainnya. Ciri utama tarekat muktabarah adalah sanad keilmuan yang jelas, ketaatan terhadap syariat, mursyid yang berilmu dan berakhlak mulia, serta komitmen menolak semua bentuk penyimpangan akidah dan praktik sesat. Di Indonesia, peran lembaga seperti JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah) sangat penting dalam membina umat agar tidak terjebak dalam pseudo-tarekat atau spiritualitas palsu yang mengejar dunia dengan topeng agama.
Tasawuf bukanlah jalan pintas menuju kekayaan, kekuasaan, atau popularitas. Ia adalah jalan panjang penyucian batin, pendidikan akhlak, dan perwujudan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Penyimpangan dalam tasawuf terjadi ketika mistisisme tidak disertai ilmu, ketika magis menggeser maqam, dan ketika budaya dijadikan dalih menentang wahyu. Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam mengembalikan tasawuf ke pangkuan syariat, sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama besar: Imam Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, Syekh Ahmad Zarruq, hingga KH M. Hasyim Asy’ari.
KH Sahal Mahfudh pernah berpesan, “Tasawuf tanpa syariat adalah kesesatan, sementara syariat tanpa tasawuf adalah kekeringan.” Maka jalan yang paling selamat adalah memadukan keduanya: menjadikan syariat sebagai pagar dan tasawuf sebagai taman yang menyuburkan jiwa. Hanya dengan itu, tasawuf akan tetap menjadi cahaya, bukan kegelapan yang disangka terang.
Referensi:
- Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din
- Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah
- Abdul Qadir Isa, Haqaiq at-Tasawwuf
- KH Sahal Mahfudh, Tasawuf Sosial
- KH M. Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim
- Ahmad Zarruq, Qawa‘id at-Tashawwuf
- A. G. Muhaimin, Islamic Traditions in Indonesia: The Role of the Pesantren
- JATMAN NU, Pedoman Tarekat Mu’tabarah
Komentar
Posting Komentar