Merajut Kembali Makna Hijrah di Era Modern: Antara Spiritualitas dan Realitas

Oleh: Lukmanul Hakim

Istilah hijrah kini tak lagi asing di telinga masyarakat, khususnya generasi muda. Ia bergaung di media sosial, menjadi tema kajian, bahkan membentuk identitas kelompok tertentu. Namun, di tengah hiruk pikuk interpretasi yang berkembang, seringkali makna fundamental dari hijrah itu sendiri tereduksi, terperangkap antara idealisme spiritual yang tinggi dan realitas kehidupan modern yang kompleks. Lalu, bagaimana kita merajut kembali makna hijrah agar relevan dan aplikatif di tengah pusaran zaman ini?

Hijrah, dalam akar sejarahnya, adalah sebuah revolusi. Bukan hanya perpindahan fisik Nabi Muhammad ﷺ dari Mekah ke Madinah, melainkan sebuah totalitas perubahan: dari sistem jahiliah menuju masyarakat beradab, dari penyembahan berhala menuju tauhid murni. Sebagaimana dicatat dalam berbagai kitab sirah seperti Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam atau Ar-Rahiq Al-Makhtum oleh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfuri, hijrah adalah momentum krusial yang meletakkan fondasi peradaban Islam. Ini adalah hijrah yang memadukan dimensi spiritual (niat tulus karena Allah) dengan dimensi realitas (pembangunan tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang adil).

Di era modern, tantangan hijrah mengambil bentuk yang berbeda. Jika dahulu kaum Muslimin hijrah dari penindasan fisik, kini kita berhadapan dengan "penindasan" digital, hegemoni budaya, dan krisis identitas. Hijrah di sini bukan lagi sekadar mencari tempat yang lebih aman secara fisik, tetapi mencari "tempat" yang aman bagi jiwa dan pikiran dari pengaruh-pengaruh negatif. Spiritualitas hijrah menuntut kita untuk senantiasa menyucikan hati dari penyakit-penyakit modern seperti hedonisme, individualisme, dan konsumerisme, sebagaimana diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin tentang pentingnya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs).

Namun, spiritualitas belaka tanpa pijakan realitas akan mudah terombang-ambing. Hijrah tidak lantas berarti mengisolasi diri dari dunia. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk berinteraksi dengan realitas secara bijak. Ini adalah hijrah yang mendorong inovasi dalam bidang pendidikan, ekonomi syariah, teknologi yang bermanfaat, dan kontribusi nyata dalam penyelesaian masalah sosial. Mengutip pemikiran cendekiawan Muslim kontemporer seperti Tariq Ramadan yang menekankan pentingnya keterlibatan Muslim dalam masyarakat Barat sebagai "warga negara penuh" yang memberikan kontribusi positif, hijrah di era modern menuntut kita untuk menjadi agen perubahan yang solutif, bukan sekadar penonton atau pengkritik.

Maka, merajut kembali makna hijrah di era modern berarti menyelaraskan spiritualitas yang mendalam dengan realitas yang pragmatis dan konstruktif. Ini adalah hijrah yang tidak hanya berfokus pada perubahan individual, tetapi juga berorientasi pada kemaslahatan umat dan bangsa. Ini adalah hijrah yang mewujud dalam kesungguhan menjaga ibadah, sekaligus berkomitmen untuk menjadi profesional yang berintegritas, pemimpin yang amanah, atau warga negara yang peduli.

Singkatnya, hijrah di zaman ini adalah sebuah panggilan untuk menjadi pribadi yang utuh: shalih secara personal, namun juga memiliki dampak positif secara sosial. Ia adalah perjalanan berkelanjutan untuk menyelaraskan iman dengan amal, niat dengan tindakan, demi membangun peradaban yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, di tengah realitas modern yang terus bergerak.

Daftar Pustaka:
Al-Mubarakfuri, Shafiyyur Rahman. Ar-Rahiq Al-Makhtum. Riyadh: Darussalam Publishers.
 
Al-Ghazali, Imam. Ihya' Ulumiddin. 

Ibnu Hisyam. Sirah Nabawiyah. 

Ramadan, Tariq.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa