Merajut Kembali Benang Emas: Peran Peradaban Islam dalam Solusi Krisis Global Abad ke-21

Oleh: Lukmanul Hakim

Dunia kini sedang dihadapkan pada serangkaian krisis yang kompleks dan saling terkait: perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan hidup, ketimpangan ekonomi yang kian melebar, konflik geopolitik yang tak berkesudahan, hingga krisis moral dan spiritual yang mengikis sendi-sendi kemanusiaan. Di tengah pusaran tantangan ini, pencarian solusi tak jarang hanya berputar pada paradigma yang sama. Padahal, ada "benang emas" yang tersembunyi dalam sejarah peradaban manusia, yaitu peradaban Islam, yang dapat menawarkan inspirasi dan kerangka berpikir baru.

Selama berabad-abad, dari abad ke-8 hingga ke-14, dunia Islam adalah mercusuar ilmu pengetahuan, inovasi, dan keadilan. Bukan sekadar klaim historis, fakta ini diakui oleh banyak sejarawan Barat sekalipun. Sebagai contoh, George Sarton dalam karyanya, Introduction to the History of Science, menyebut periode ini sebagai "golden age" Islam, di mana banyak penemuan fundamental dalam astronomi, matematika, kedokteran, dan filsafat lahir dan kemudian menjadi fondasi bagi Renaisans di Eropa (Sarton, 1927). Lantas, bagaimana relevansi "benang emas" ini dengan krisis global abad ke-21?

Prinsip Keseimbangan dan Keberlanjutan Lingkungan

Salah satu krisis paling mendesak adalah perubahan iklim. Ironisnya, ajaran Islam sejak awal telah menekankan prinsip keseimbangan (mizan) dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah fil ardh (wakil di muka bumi). Al-Qur'an secara eksplisit menyebutkan, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya..." (QS. Al-A'raf: 56).

Prinsip ini termanifestasi dalam praktik pengelolaan sumber daya alam yang bijak di masa lalu. Ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni mempelajari geologi dan hidrologi dengan presisi, sementara sistem irigasi canggih di Andalusia (Spanyol Islam) menunjukkan pemahaman mendalam tentang konservasi air (Landau, 2017). Dalam konteks saat ini, peradaban Islam menawarkan etika lingkungan yang kuat, bukan sekadar solusi teknologi, melainkan perubahan paradigma dari eksploitasi menuju pelestarian, dari konsumsi berlebihan menuju keberlanjutan. Ini adalah fondasi spiritual dan etis yang sangat dibutuhkan untuk menghadapi krisis iklim.

Keadilan Ekonomi dan Distribusi Kekayaan

Ketimpangan ekonomi menjadi ancaman serius bagi stabilitas global. Peradaban Islam menawarkan konsep keadilan distributif yang kokoh melalui instrumen zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Zakat, sebagai pilar ketiga Islam, bukan sekadar amal, melainkan hak fakir miskin atas sebagian harta orang kaya, yang secara efektif berfungsi sebagai sistem jaring pengaman sosial dan redistribusi kekayaan.

Sejarah mencatat, di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz misalnya, kemiskinan berhasil dientaskan hingga sulit ditemukan penerima zakat. Model ekonomi Islam yang menekankan pelarangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (judi) juga bertujuan untuk menciptakan sistem ekonomi yang adil dan berkeadilan sosial (Chapra, 2000). Mengembangkan dan menerapkan kembali prinsip-prinsip ekonomi syariah dengan inovasi kontemporer dapat menjadi alternatif untuk mengatasi jurang kesenjangan ekonomi yang menganga.

Toleransi dan Koeksistensi Multikultural

Konflik dan intoleransi, baik berbasis agama, etnis, maupun ideologi, terus mengoyak tatanan dunia. Peradaban Islam, terutama di masa keemasan, adalah potret keberagaman dan koeksistensi harmonis. Di Baghdad, Damaskus, Kordoba, dan Kairo, para ilmuwan, filsuf, dan seniman dari berbagai latar belakang agama dan etnis bekerja sama, bertukar ide, dan berkontribusi pada kemajuan peradaban.

Piagam Madinah, yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, adalah konstitusi multikultural pertama di dunia yang menjamin hak-hak dan kebebasan beragama bagi semua komunitas, termasuk Yahudi dan Kristen (Reid, 2011). Semangat ini, yang mengedepankan dialog, saling menghormati, dan pengakuan akan martabat manusia, adalah antidot paling ampuh terhadap gelombang ekstremisme dan islamofobia yang marak saat ini. Merajut kembali semangat toleransi ala peradaban Islam menjadi krusial untuk membangun kembali jembatan perdamaian.

Pentingnya Ilmu Pengetahuan dan Inovasi

Krisis global menuntut solusi berbasis ilmu pengetahuan dan inovasi. Peradaban Islam adalah pembela teguh pencarian ilmu. Ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah "Bacalah!" (QS. Al-Alaq: 1), yang menjadi pemicu revolusi intelektual. Lembaga seperti Baitul Hikmah (House of Wisdom) di Baghdad bukan hanya perpustakaan, tetapi juga pusat penerjemahan, penelitian, dan observatorium, yang mengumpulkan dan mengembangkan pengetahuan dari Yunani, Persia, India, dan peradaban lainnya (Lyons, 2009).

Dorongan untuk mencari ilmu, baik ilmu naqli (agama) maupun aqli (umum), menciptakan lingkungan yang subur bagi penemuan-penemuan transformatif. Dalam menghadapi tantangan modern seperti pandemi, krisis energi, atau kekurangan pangan, semangat keilmuan peradaban Islam dapat mendorong kita untuk terus berinvestasi dalam riset, mengembangkan teknologi yang etis, dan mempromosikan literasi ilmiah sebagai landasan kemajuan.

Penutup

Memang, kembali ke masa lalu bukanlah solusi instan. Namun, "benang emas" peradaban Islam bukanlah nostalgia hampa. Ia adalah gudang kebijaksanaan, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang terbukti kokoh dan relevan. Dengan menggali kembali warisan intelektual dan moral peradaban Islam, kita dapat menemukan inspirasi baru untuk merumuskan solusi terhadap krisis global abad ke-21. Ini bukan tentang mengulang sejarah, melainkan tentang belajar darinya, mengambil esensinya, dan mengadaptasikannya untuk membangun masa depan yang lebih adil, lestari, dan harmonis bagi seluruh umat manusia. Republika, sebagai media yang senantiasa mengangkat isu-isu keislaman dan kebangsaan, memiliki peran penting dalam menyuarakan refleksi ini.

Daftar Pustaka:

 Chapra, M. U. (2000). The Future of Economics: An Islamic Perspective. Islamic Foundation.

 Landau, S. (2017). Islamic Gardens: History and Design. Princeton University Press.

 Lyons, J. (2009). The House of Wisdom: How Arabic Science Saved Ancient Knowledge and Gave Us the Renaissance. Bloomsbury Publishing.

 Reid, A. (2011). A Concise History of Indonesia. Cambridge University Press. 

 Sarton, G. (1927). Introduction to the History of Science (Vol. I: From Homer to Omar Khayyam). Williams & Wilkins.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tanggapan MUI Kabupaten Lombok Tengah terhadap Ajaran Lalu Dahlan: Sebuah Klarifikasi dan Tindakan Tegas

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak