Menimbang Kembali “Setiap Bid’ah adalah Kesesatan” dalam Kaca Mata Maqashid Syariah

Oleh: Lukmanul Hakim


Kepastian dalam Sabda, Kearifan dalam Pemahaman

Salah satu hadis yang paling sering dikutip dalam perdebatan keagamaan—terutama seputar tradisi keislaman yang berkembang di tengah masyarakat—adalah sabda Nabi Muhammad ﷺ:

“Kullu bid‘atin ḍalālah, wa kullu ḍalālatin fī an-nār”
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. Muslim)

Di tangan sebagian pihak, sabda ini telah dijadikan alat ukur tunggal untuk memvonis berbagai praktik keagamaan yang dinilai tak pernah dilakukan Rasulullah ﷺ. Mulai dari maulid, tahlilan, qunut subuh, hingga penggunaan pengeras suara di masjid—semuanya dianggap bid’ah yang sesat, tanpa ampun. Tapi benarkah pemahaman seperti itu sejalan dengan tradisi intelektual Islam yang kaya dan kontekstual?


Bid’ah: Definisi Bahasa dan Terminologi Syariat

Secara bahasa, bid‘ah berasal dari kata bada‘a (بدع) yang berarti "mengadakan sesuatu yang belum ada sebelumnya." Sementara dalam istilah syar’i, pengertiannya lebih kompleks: mengadakan perkara baru dalam urusan agama tanpa landasan dalil yang sahih.

Namun, tidak semua hal yang baru dalam agama otomatis dianggap sesat. Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan Imam al-‘Izz ibn ‘Abdis Salam dalam Qawā‘id al-Ahkām bahkan membagi bid’ah ke dalam lima kategori hukum: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram—bergantung pada tujuan, manfaat, dan kesesuaiannya dengan maqashid syariah.


Sejarah Inovasi Para Sahabat

Dalam sejarah Islam sendiri, kita menemukan berbagai inovasi yang dilakukan para sahabat Nabi—bahkan dalam perkara agama:

  • Kodifikasi Al-Qur’an di masa Abu Bakar ra., padahal di masa Nabi, Al-Qur’an belum pernah dibukukan dalam satu mushaf.
  • Adzan kedua untuk shalat Jumat di masa Khalifah Utsman bin Affan ra., sebagai respons terhadap membesarnya jumlah jamaah.
  • Shalat tarawih berjamaah yang dihidupkan Umar bin Khattab ra. dengan kalimat “ni‘matul bid‘atu hādzihi” (sebaik-baik bid’ah adalah ini).

Semua itu adalah bentuk respons kreatif yang tidak dianggap sebagai kesesatan, karena mendukung kemaslahatan umat dan tetap berada dalam koridor syariat.


Maqashid Syariah: Melihat Substansi, Bukan Sekadar Bentuk

Pendekatan maqashid syariah mengajarkan bahwa hukum Islam tidak semata ditentukan oleh bentuk luar suatu praktik, melainkan oleh tujuan (maqashid) yang dikandungnya: menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan.

Dalam konteks ini, banyak hal yang dianggap "bid’ah" sebenarnya justru mendukung tujuan syariat:

  • Perayaan Maulid Nabi bertujuan menumbuhkan cinta pada Rasul ﷺ.
  • Tahlilan mempererat ikatan sosial dan spiritual pasca-kematian.
  • Qunut Subuh diamalkan sebagian ulama berdasarkan riwayat yang sahih.
  • Mimbar, pengeras suara, jam digital masjid, semua adalah hasil inovasi yang memudahkan pelaksanaan syariat.

Kritik terhadap Pendekatan Tekstual-Literal

Pendekatan literal terhadap hadis ini sering kali berujung pada penghakiman sepihak terhadap sesama Muslim yang berbeda praktik ibadah. Lebih dari itu, ia dapat memicu konflik horisontal dan merusak ukhuwah.

Ulama besar seperti Imam al-Ghazali, al-Suyuthi, hingga ulama kontemporer seperti Syekh Yusuf al-Qaradawi mengingatkan pentingnya membedakan antara bid’ah dalam ibadah mahdhah dan bid’ah dalam urusan keduniaan atau wasilah ibadah.


Simpulan: Jalan Tengah antara Teks dan Konteks

Sabda Nabi ﷺ tentang bid’ah adalah peringatan penting agar umat tidak menyimpang dari ajaran pokok Islam. Namun, memahami hadis tersebut secara tekstual tanpa melihat konteks, maqashid, dan praktik ulama salafus shalih akan melahirkan sikap kaku, eksklusif, bahkan mudah menyalahkan.

Kita perlu membaca ulang sabda-sabda Nabi dengan semangat keilmuan, keluasan hati, dan kecintaan terhadap umat. Karena, seperti kata Imam Malik:

“Apa yang tidak dilakukan di masa Nabi bukan berarti otomatis haram. Bisa jadi karena ada hal baru yang belum muncul saat itu.”

Maka, dalam semangat Islam rahmatan lil ‘alamin, mari kita renungkan: apakah kita lebih sibuk membid’ahkan sesama Muslim, atau lebih bersemangat memperluas makna rahmat dan maslahat?


Referensi:

  • Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim
  • Imam al-‘Izz ibn ‘Abdis Salam, Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam
  • Yusuf al-Qaradawi, al-Bid‘ah fi al-Islam
  • Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa