Menghadirkan Rahmat: Bagaimana Sains Islam Membangun Peradaban Unggul Masa Depan

Oleh: Lukmanul Hakim

Peradaban Islam di masa lampau pernah menjadi mercusuar ilmu pengetahuan, menerangi dunia ketika Eropa masih dalam kegelapan Abad Pertengahan. Dari Baghdad hingga Kordoba, para ilmuwan Muslim tidak hanya menerjemahkan dan melestarikan warisan Yunani dan Romawi, tetapi juga mengembangkannya secara revolusioner, meletakkan fondasi bagi banyak disiplin ilmu modern. Kini, di tengah kompleksitas dan tantangan global abad ke-21, pertanyaan krusial muncul: bagaimana sains Islam dapat kembali menghadirkan rahmat dan membangun peradaban unggul di masa depan?

Kunci utamanya terletak pada pemahaman integrasi ilmu naqli (wahyu) dan aqli (akal). Berbeda dengan pandangan dikotomis yang sering memisahkan agama dan sains, seperti yang dibahas oleh Pervez Amirali Hoodbhoy dalam Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality, Islam memandang keduanya sebagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Al-Qur'an dan Sunnah bukan hanya sumber petunjuk spiritual, tetapi juga mendorong observasi, refleksi, dan penelitian. Ayat-ayat seperti "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal" (QS. Ali Imran: 190) secara eksplisit menyeru manusia untuk meneliti alam semesta. Seyyed Hossein Nasr, dalam karyanya Science and Civilization in Islam, secara mendalam menguraikan bagaimana peradaban Islam berhasil mengintegrasikan keduanya, menghasilkan kemajuan ilmiah yang luar biasa. Ibnu Sina, misalnya, bukan hanya seorang dokter dan filsuf, tetapi juga seorang teolog yang memahami bahwa penemuan ilmiah adalah bagian dari upaya memahami kebesaran Sang Pencipta. Karyanya yang monumental, The Canon of Medicine (lihat Strohmaier, Avicenna), menjadi rujukan medis selama berabad-abad, membuktikan bagaimana keyakinan tidak menghalangi, melainkan justru memicu penemuan ilmiah.

Lebih jauh, semangat sains Islam klasik didasari oleh etika keilmuan yang luhur. Para ilmuwan Muslim mengutamakan kejujuran intelektual, objektivitas, dan dedikasi pada kebenaran, bukan semata-mata pengakuan atau keuntungan pribadi. Mereka menyadari bahwa ilmu adalah amanah dari Allah. Al-Biruni, seorang polimatik terkemuka, dikenal karena metodologi ilmiahnya yang ketat dan kritisisme terhadap kesalahan, bahkan pada karya-karya sebelumnya (lihat "Al-Biruni," Stanford Encyclopedia of Philosophy). Semangat ini kontras dengan beberapa tendensi modern di mana kepentingan komersial atau politik dapat mengaburkan integritas ilmiah. Jika kita ingin membangun peradaban unggul, kita harus mengembalikan etika keilmuan ini sebagai fondasi setiap riset dan inovasi.

Masa depan sains Islam bukan tentang mengulang kejayaan masa lalu secara harfiah, tetapi tentang menarik inspirasi dari prinsip-prinsip dasarnya untuk menghadapi tantangan kontemporer. Ziauddin Sardar, dalam Desperately Seeking Paradise: Journeys of a Sceptical Muslim, mengkritisi stagnasi sains di dunia Muslim kontemporer sambil tetap optimis tentang potensi masa depan jika prinsip-prinsip Islam yang progresif dihidupkan kembali. Misalnya, dalam menghadapi krisis iklim global, prinsip istiqamah (keteguhan) dan mizan (keseimbangan) dalam Islam dapat memandu pengembangan teknologi berkelanjutan dan praktik ramah lingkungan. Konsep maslahah (kemaslahatan umum) dan rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) harus menjadi kompas dalam setiap inovasi, memastikan bahwa teknologi yang dikembangkan membawa manfaat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta, bukan hanya segelintir kelompok.

Peran universitas dan lembaga riset Muslim menjadi sangat krusial. Mereka tidak hanya harus menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, tetapi juga harus mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kurikulum dan budaya risetnya. Program studi interdisipliner yang menggabungkan sains, teknologi, dan studi Islam perlu diperbanyak untuk melahirkan ilmuwan yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga kokoh secara spiritual dan etis. Kolaborasi antarnegara Muslim dalam bidang riset dan pengembangan juga perlu diperkuat untuk menciptakan sinergi dan mempercepat kemajuan.

Dengan kembali kepada akar-akar intelektual yang kaya dan prinsip-prinsip etis yang kokoh, sains Islam memiliki potensi besar untuk tidak hanya berkontribusi pada kemajuan ilmiah global, tetapi juga untuk menghadirkan model peradaban yang seimbang, adil, dan berkelanjutan. Ini adalah jalan menuju masa depan di mana ilmu pengetahuan bukan hanya alat untuk kemajuan materi, tetapi juga sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan mewujudkan rahmat-Nya di muka bumi.

Daftar Pustaka:

Al-Qur'an dan Terjemahannya, Surah Ali Imran ayat 190.

Hoodbhoy, Pervez Amirali. Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality. Zed Books, 1991.

Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Kazi Publications, 2003.

Sardar, Ziauddin. Desperately Seeking Paradise: Journeys of a Sceptical Muslim. Granta Books, 2004.

Strohmaier, Gotthard. Avicenna. Georgetown University Press, 2018.

"Al-Biruni." Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses pada 20 Juni 2025.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa