Mengapa Babi Haram? Kajian dari Perspektif Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan, dan Etika Islam

Lukmanul Hakim

Badan Riset dan Inovasi Nasional

Abstrak

Artikel ini mengkaji keharaman daging babi dalam Islam dari tiga pendekatan utama: wahyu (dalil Al-Qur’an dan hadis), sains (kajian ilmiah terkait kesehatan), dan etika (nilai-nilai moral dan spiritual). Keharaman babi merupakan bagian dari sistem etika dan hukum Islam yang bukan hanya berbasis pada aspek empiris, tetapi juga dimensi transendental. Tulisan ini bertujuan menjelaskan bahwa larangan konsumsi babi tidak dapat dilepaskan dari nilai tauhid dan ketaatan kepada Allah SWT, sekaligus mengungkap adanya hikmah ilmiah dan moral di balik larangan tersebut.
Kata kunci: keharaman babi, halal-haram, Al-Qur’an, sains, etika Islam

Pendahuluan
Dalam Islam, konsep halal dan haram merupakan bagian integral dari sistem hukum dan etika yang mengatur kehidupan individu Muslim. Salah satu larangan yang paling dikenal adalah keharaman daging babi. Meskipun larangan ini telah disebutkan secara eksplisit dalam beberapa ayat Al-Qur’an, tantangan modern seperti globalisasi makanan, teknologi pemrosesan pangan, dan pandangan sekuler terhadap moralitas memunculkan pertanyaan ulang mengenai relevansi dan alasan di balik keharaman tersebut. Artikel ini bertujuan untuk meninjau larangan konsumsi daging babi dari tiga aspek utama: teks keagamaan, temuan ilmiah, dan dimensi etika.

1. Perspektif Wahyu: Al-Qur’an dan Hadis
Larangan konsumsi daging babi ditegaskan dalam Al-Qur’an dalam beberapa ayat, antara lain:
"Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah."
(QS. Al-Baqarah: 173; lihat juga QS. Al-Ma'idah: 3, Al-An‘am: 145, dan An-Nahl: 115)
Dalam ayat QS. Al-An‘am: 145, Allah menyebut daging babi sebagai rijs (najis). Tafsir Al-Qurthubi menafsirkan istilah tersebut sebagai sesuatu yang tidak hanya kotor secara fisik, tetapi juga menjijikkan secara syar‘i dan fitri (Al-Qurthubi, Tafsir al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an).
Dari sisi hadis, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah melarang jual beli khamr, bangkai, babi, dan patung.”
(HR. Bukhari no. 2236; Muslim no. 1581)
Dengan demikian, keharaman babi merupakan keputusan syariat yang bersifat qath‘i (pasti), tidak dapat ditakwil atau diubah karena perkembangan zaman.

2. Perspektif Ilmiah: Risiko Kesehatan Konsumsi Babi
Dari perspektif ilmiah, konsumsi daging babi dikaitkan dengan sejumlah risiko kesehatan:
• Taenia solium (cacing pita babi), penyebab penyakit neurocysticercosis yang dapat menyerang otak manusia. (WHO, 2020)
• Trichinella spiralis, parasit penyebab trikinosis yang menyerang otot dan sistem saraf. (CDC, 2021)
• Risiko zoonosis dari virus seperti Influenza A (H1N1) yang berasal dari babi dan dapat bermutasi, menyebabkan pandemi. (Journal of Virology, 2009)
Meski teknologi pangan modern telah mampu mengurangi risiko ini, Islam tidak mendasarkan keharaman hanya pada potensi bahaya empiris, tetapi pada prinsip ketaatan terhadap wahyu. Temuan sains berfungsi sebagai hikmah (kebijaksanaan tambahan), bukan dasar hukum.

3. Perspektif Etika Islam: Taat, Bersih, dan Terhormat
Dalam etika Islam, makanan tidak hanya dipandang dari nilai gizi, tetapi juga berdampak pada ruhani dan akhlak manusia. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebut bahwa makanan haram dapat menggelapkan hati dan melemahkan nilai spiritual seseorang.
Lebih jauh, dalam konteks sosial kontemporer, menjauhi babi adalah bagian dari menjaga identitas religius seorang Muslim. Keteguhan mematuhi larangan ini merupakan wujud dari taqwa dan istikamah di tengah masyarakat pluralistik.

Simpulan
Keharaman babi dalam Islam memiliki landasan yang kuat dalam wahyu, diperkuat oleh temuan ilmiah, serta memiliki dampak signifikan dalam pembentukan etika dan identitas Muslim. Oleh karena itu, konsumsi daging babi bukan hanya pelanggaran terhadap hukum syariat, tetapi juga pengabaian terhadap prinsip moral dan spiritual dalam Islam. Dalam menghadapi arus globalisasi yang semakin kabur batas moralnya, mempertahankan prinsip ini adalah bentuk aktualisasi nilai tauhid dan ketundukan kepada kehendak ilahi.

Daftar Pustaka
• Al-Qur’an al-Karim
• Al-Qurthubi. Tafsir al-Jami‘ li Ahkam al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr.
• Bukhari, Muhammad bin Ismail. Sahih al-Bukhari, Hadis no. 2236.
• Muslim, Muslim bin Hajjaj. Sahih Muslim, Hadis no. 1581.
• Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya’ ‘Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Minhaj.
• World Health Organization. (2020). Fact Sheet on Taeniasis/Cysticercosis.
• Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021). Trichinellosis Fact Sheet.
• Journal of Virology. (2009). “Triple Reassortant Swine Influenza A Viruses.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa