Membaca Hadis Perpecahan Umat dalam Perspektif Sejarah dan Ilmu Hadis

Oleh: Lukmanul Hakim


Hadis Perpecahan yang Sering Disalahgunakan

Hadis yang menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang selamat, adalah salah satu hadis yang paling populer namun juga paling rentan disalahpahami:

“Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka kecuali satu.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah, dan lainnya)

Sabda ini kerap dijadikan dalih oleh sebagian kelompok untuk mengklaim kebenaran sepihak. Seolah-olah hanya mereka yang berhak masuk surga, sementara kelompok lain dicap sebagai ahli bid’ah, sesat, atau bahkan kafir.

Namun, untuk memahami pesan Nabi secara utuh, kita perlu mendekatinya bukan sekadar dari teks (lafaz), tapi juga dari konteks sejarah, ilmu sanad, serta maqasid syariah (tujuan syariat).


1. Status Hadis dalam Literatur Hadis

Secara sanad, hadis ini memiliki beberapa versi dengan tingkat kekuatan yang berbeda-beda. Sebagian ulama menilainya hasan, sebagian lagi menyebutnya lemah dalam beberapa jalur, namun maknanya didukung oleh kenyataan sejarah bahwa umat memang mengalami perpecahan ideologis sejak awal.

Imam al-Suyuthi dalam al-Jami’ al-Shaghir mencantumkan hadis ini dengan tambahan redaksi:

“Yang selamat adalah mereka yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.”
Sebagian ulama hadis menegaskan bahwa ini adalah tafsir moral, bukan klaim eksklusif suatu mazhab tertentu.


2. Konteks Sejarah: Dari Khawarij ke Kelompok Modern

Sejak masa sahabat, perbedaan pemahaman terhadap ajaran Islam telah melahirkan banyak aliran: Khawarij, Murji’ah, Syiah, Qadariyah, Jabariyah, hingga Ahli Hadis dan Ahlul Ra’yi. Masing-masing punya latar sosiopolitik dan pendekatan intelektual tersendiri.

Namun yang patut dicatat, tidak semua perbedaan dianggap sebagai “perpecahan” yang tercela. Imam al-Ghazali bahkan mengklasifikasikan perbedaan menjadi:

  • Ikhtilaf yang rahmat (dalam fiqh, ijtihad),
  • dan ikhtilaf yang memecah (dalam akidah pokok dan adab beragama).

Sayangnya, semangat "golongan yang selamat" sering dibajak oleh kelompok radikal modern yang gemar mengkafirkan sesama Muslim — padahal mereka sendiri kerap mengabaikan nilai adab, ilmu, dan keragaman pandangan dalam Islam.


3. Siapa Golongan yang Selamat?

Imam al-Tahawi dalam Aqidah Thahawiyah menjelaskan bahwa keselamatan bukan tergantung kelompok atau nama, tetapi pada kemantapan akidah dan akhlak. Demikian pula al-Syatibi dalam al-I’tisham menyatakan bahwa “al-firqah an-najiyah” adalah umat yang berpegang pada jalan Nabi dan para sahabat, bukan sekadar menamakan diri "ahlus sunnah".

Artinya, tidak cukup hanya menyebut nama kelompok, tapi harus diwujudkan dalam cara berislam yang inklusif, bijaksana, dan menghargai perbedaan.


4. Hadis Ini Mengajak Bersatu, Bukan Memecah

Sebagian mufasir dan ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi, Wahbah az-Zuhaili, dan al-Buti menekankan bahwa hadis ini adalah peringatan, bukan "surat izin" untuk menyesatkan umat. Justru ini menjadi alarm spiritual agar kita tidak mengulang kesalahan umat-umat terdahulu yang tercerai-berai karena fanatisme.

Allah SWT sendiri mengingatkan:

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolongan-golongan…”
(QS. Ar-Rum: 32)


Penutup: Merawat Perbedaan, Menjaga Persatuan

Hadis tentang perpecahan umat adalah potret keprihatinan Rasulullah ﷺ terhadap masa depan umatnya. Namun, hadis ini juga mengandung pesan harapan — bahwa akan selalu ada umat yang tetap teguh di jalan kebenaran.

Maka tugas kita bukan mengklaim golongan selamat, tapi berjuang menjadi bagian darinya melalui ilmu, akhlak, dan ukhuwah.

Karena yang selamat bukan yang merasa paling benar, melainkan yang tetap rendah hati dalam perbedaan.


Referensi:

  • Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir
  • Al-Ghazali, al-Iqtisad fi al-I’tiqad
  • Al-Syatibi, al-I’tisham
  • Yusuf al-Qaradawi, al-Sahwah al-Islamiyyah baina al-Ikhtilaf al-Masyru’ wa al-Tafarruq al-Madzmum
  • Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Hadithiyyah
  • Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa