Lebih dari Sekadar Daging: Makna Sosial di Balik Kurban
Oleh: Lukmanul Hakim
Setiap tanggal 10 Zulhijah, umat Islam di seluruh dunia merayakan Iduladha dengan menyembelih hewan kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, jika kita hanya memaknai kurban sebatas ritual penyembelihan dan pembagian daging, maka kita kehilangan inti dari pesan spiritual dan sosial yang lebih dalam. Kurban adalah simbol solidaritas, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama manusia.
Ibadah kurban sejatinya merupakan jembatan sosial antara mereka yang berkecukupan dan yang hidup dalam kekurangan. Dalam masyarakat yang masih diliputi ketimpangan ekonomi, kurban menjadi momentum berbagi yang menghadirkan keadilan dan keberkahan. Daging—yang bagi sebagian orang adalah barang mewah—pada hari itu menjadi simbol keberpihakan terhadap kaum dhuafa. Ketika hewan kurban disembelih, yang tersebar bukan hanya dagingnya, tetapi juga nilai kemanusiaan, kepedulian, dan empati sosial.
Namun, dalam praktiknya, semangat sosial ini tidak selalu terwujud dengan maksimal. Di beberapa wilayah, distribusi daging kurban dilakukan secara formal dan kurang menyentuh kebutuhan riil masyarakat. Bahkan tak jarang, warga yang seharusnya menjadi prioritas penerima justru terpinggirkan karena kurangnya sistem distribusi yang berpihak pada yang lemah. Di sisi lain, tren pamer hewan kurban di media sosial justru memperlihatkan bagaimana ibadah ini kerap terjebak dalam nuansa prestise dan simbolisme semata.
Padahal, kurban dapat menjadi titik tolak untuk memperbaiki relasi sosial kita. Pertanyaan yang patut direnungkan: apakah kita benar-benar peduli kepada mereka yang tinggal di daerah terpencil, di kolong jembatan, atau di tempat pengungsian? Sudahkah daging kurban kita menjangkau mereka yang paling membutuhkan? Kurban bukan hanya tentang menyembelih, melainkan tentang memperjuangkan keadilan dan pemerataan.
Di tengah situasi ekonomi yang masih penuh ketidakpastian, serta dampak dari berbagai bencana alam dan konflik sosial, semangat kurban perlu diperluas. Ibadah ini harus dimaknai sebagai bentuk pengorbanan yang lebih luas—mengikis egoisme, mengurangi kesenjangan, dan menumbuhkan kepedulian kolektif. Di sinilah pentingnya kolaborasi antara masyarakat dan lembaga sosial, agar distribusi kurban menjadi lebih tepat sasaran, adil, dan merata.
Islam tidak sekadar menekankan aspek ritual dalam ibadah kurban, tetapi lebih dari itu, menekankan aspek ketakwaan dan kemanfaatan sosial. Dalam Surah Al-Hajj ayat 37, Allah SWT berfirman: "Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya." Ayat ini menegaskan bahwa esensi kurban bukan pada bentuk lahiriahnya, melainkan pada kualitas keikhlasan dan dampak sosialnya.
Akhirnya, mari kita maknai Iduladha tidak hanya sebagai hari raya ritual, tetapi juga sebagai perayaan nilai-nilai kemanusiaan. Karena sejatinya, yang terpenting dari kurban bukanlah besarnya hewan yang disembelih, tetapi besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat luas. Mari jadikan kurban sebagai bahasa kasih sayang yang universal, yang melintasi batas agama, status sosial, dan geografi.
Penulis adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional
Komentar
Posting Komentar