Kurban Kolektif, Umat Progresif: Saatnya Membangun Ulang Semangat Berbagi

Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah sudah di ambang pintu. Di Lombok dan seluruh penjuru Nusantara, geliat umat Islam mulai terasa: dari musala hingga masjid, dari kota sampai desa, semangat untuk berkurban kembali menghangat. Tapi di balik suasana khidmat ini, kita patut bertanya ulang: sudahkah semangat kurban benar-benar menyentuh makna terdalamnya?

Lebih dari Sekadar Sapi dan Kambing

Di banyak tempat, kurban kadang berubah jadi soal gengsi: siapa beli hewan paling besar, siapa paling cepat menyembelih, dan siapa paling banyak membagikan daging. Padahal, kisah Nabi Ibrahim dan Ismail tak bicara tentang besar-kecilnya hewan, tapi besar-kecilnya keikhlasan dan kepedulian sosial.

Dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, banyak masyarakat kecil yang justru hanya jadi penonton. Ada yang ingin berkurban tapi tak mampu. Ada yang tak pernah kebagian daging karena distribusi tak merata. Di sinilah kita butuh pendekatan baru: kurban kolektif sebagai wujud gotong royong umat.

Kurban Kolektif: Jalan Tengah yang Solutif

Kurban kolektif bukan hal baru, tapi belum semua menjadikannya kebiasaan. Melalui patungan atau program bersama, satu ekor sapi bisa menjadi ibadah tujuh orang. Bahkan, lembaga-lembaga zakat atau masjid di Lombok mulai menjangkau wilayah terpencil yang selama ini jarang tersentuh daging kurban.

Di sinilah peran masyarakat dan tokoh lokal penting: menggerakkan semangat berbagi dengan cara yang strategis. Tidak hanya mengalirkan daging, tetapi juga membangun kesadaran sosial. Dengan kurban kolektif, kurban bisa menjangkau panti asuhan, desa miskin, bahkan korban bencana di wilayah NTB.

Umat Progresif: Dari Ritual ke Gerakan Sosial

Umat progresif bukan berarti umat yang meninggalkan tradisi, tapi umat yang menyalakan ulang api semangatnya. Idul Adha bukan hanya soal menyembelih hewan, tapi menyembelih egoisme dan memperkuat kolaborasi.

Bayangkan jika kurban tidak hanya setahun sekali, tapi menjadi awal dari gerakan ekonomi umat: pelatihan peternak lokal, tabungan kurban berbasis masjid, hingga pengolahan daging kurban menjadi produk olahan jangka panjang. Ini bukan mimpi. Ini peluang.

Penutup: Idul Adha, Momentum Menguatkan Tali Sosial

Idul Adha tahun ini mari kita jadikan momentum bersama untuk bertransformasi. Dari seremoni ke solusi. Dari ibadah individual ke gerakan kolektif. Dari kebiasaan tahunan ke kesadaran berkelanjutan.

Di bumi seribu masjid ini, semangat berbagi sudah mengakar. Tinggal kita siram lagi dengan visi yang lebih luas. Karena sejatinya, yang paling berharga dari kurban bukan daging atau darahnya, tapi ruh pengorbanan dan cinta kasih yang mengalir darinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Adat dan Tradisi Perkawinan Suku Sasak

Mengaku Wali, Membawa Panji, dan Menyesatkan Umat? Sebuah Refleksi Kritis atas Klaim Spiritual di Era Kontemporer

Hari Santri Nasional: Merajut Tradisi, Mengokohkan Identitas Bangsa