Ketika Wali Allah Tak Lagi Berjubah: Menemukan Kesucian di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Oleh: Lukmanul Hakim
Di benak banyak orang, waliyullah atau kekasih Allah sering dibayangkan sebagai sosok bersorban putih, hidup menyendiri di puncak gunung, atau ahli ibadah yang tak tersentuh hiruk pikuk dunia. Gambaran ini memang terbentuk dari kisah-kisah karomah dan keteladanan spiritual masa lalu. Namun, apakah di era digital dan urban seperti sekarang, wali Allah masih ada? Jika ada, seperti apa wajah mereka?Pertanyaan ini bukan untuk meragukan keberadaan para wali, tapi untuk merefleksikan ulang bagaimana kita memahami kesalehan dan kedekatan dengan Tuhan. Barangkali, dalam kehidupan kita sehari-hari, kita telah bersinggungan dengan para wali tanpa pernah menyadarinya—karena mereka tidak lagi tampil "berjubah".
Kesucian yang Membumi
Tradisi Islam, terutama dalam khazanah tasawuf, menekankan bahwa wilayah (kewalian) adalah buah dari keikhlasan, ketulusan hati, dan ketaatan sejati kepada Allah. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa wali tidak selalu dikenali dari penampilan, melainkan dari hatinya yang penuh cinta kepada Allah dan manusia. Wali bisa jadi pedagang yang jujur, guru yang sabar, atau bahkan sopir ojek daring yang bekerja dengan ikhlas demi anak-anaknya.
Dunia modern mungkin telah meredam simbol-simbol kesalehan, tapi tidak mematikan ruhnya. Justru, di tengah tekanan ekonomi, krisis moral, dan keterasingan spiritual, kesalehan yang tersembunyi menjadi makin berarti. Para waliyullah hari ini mungkin adalah mereka yang menolak korupsi meski ditawari kekayaan, yang memilih memaafkan daripada membalas dendam, atau yang diam-diam menangis dalam doa untuk keselamatan orang lain.
Melepas Romantisme, Merangkul Spiritualitas
Kita perlu berhenti meromantisasi wali hanya dalam narasi masa lalu. Mengagumi Sunan Kalijaga, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, atau Rabiah al-Adawiyah tentu sah-sah saja. Tapi yang lebih penting adalah menjadikan semangat mereka hidup dalam tindakan kita sekarang. Kewalian bukan gelar istimewa yang turun dari langit, melainkan hasil dari proses panjang perjuangan batin.
Mereka yang menjaga integritas dalam profesi, tetap jujur saat tak ada yang mengawasi, dan memilih cinta dalam dunia yang penuh kebencian—bisa jadi telah berada di jalur para kekasih Tuhan.
Mengubah Cara Pandang
Melihat wali dengan kacamata zaman sekarang bukan berarti melucuti nilai-nilai tradisional, tapi menyegarkan kembali makna spiritualitas agar relevan dengan konteks kita. Dunia tak sedang kekurangan ustaz, tapi mungkin sedang krisis teladan. Kita butuh sosok yang tidak hanya pintar bicara, tapi juga hidup dalam kebaikan sunyi. Mungkin wali Allah hari ini tak mengangkat tongkat atau berkelana ke hutan, tapi diam-diam membayar utang temannya yang kesulitan, atau memeluk anak jalanan yang dirundung dingin.
Penutup: Wali di Antara Kita
Jika waliyullah adalah mereka yang dekat dengan Allah dan membawa manfaat bagi sesama, maka mungkin mereka ada di sekitar kita—tetangga, rekan kerja, bahkan orang tua kita sendiri. Tak perlu melihat jubah dan sorban; lihatlah hati, akhlak, dan ketulusan mereka.
Di tengah dunia yang gaduh dan cepat menilai dari tampilan, semoga kita tak buta pada cahaya yang tersembunyi. Karena boleh jadi, para wali Allah memang tak lagi berjubah—tapi tetap membawa kehadiran Ilahi dalam kehidupan sehari-hari.
Komentar
Posting Komentar